Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 10

 

  Bab X

Upacara Pijak Tanah Batara Lattuq

 

 Hari terus berlalu, memberi jejak pada siang dan malam. Pintu-pintu cakrawala berawan dan nadi-nadi cahaya di Alé Luwu, memberi warna pada hari-hari yang terus berlompatan meninggalkan hitungan detak jantung. Setiap ombak yang bertarung dalam dubur waktu membentuk karakter, sebuah generasi penerus lahir dan tumbuh menjalar.

BATARA LATTUQ setelah tiga tahun berlalu. Lela-ki itu telah pandai berjalan, walau masih dibimbing ibu susunya. Seiring dengan itu, bertambah besar pula anak-anak Batara Guru lainnya. Hampir setiap hari, yang dilakukan La Pangoriseng bersaudara hanyalah menyabung, memperdengarkan teriakan dan kepak sayap ayam sabungan yang tiada henti-hentinya menggema di gelanggang, hingga terde-ngar oleh Batara Lattuq di balairung istana.

Melihat saudara-saudaranya asyik bermain di gelanggang, muncul pula keinginan I La Tiuleng ke-luar bermain dan bersenda gurau bersama saudara-saudaranya dan para pengasuh segaharanya. Kepada inang pengasuhnya, Batara Lattuq kerap merengek untuk dibawa ke luar bermain.

Hingga suatu hari….

“Aku ingin keluar bermain, inangda. Melihat penjudi dan menonton para penyabung mengadu ayam andalannya.”

Karena terus mendesak, akhirnya para inang pengasuhnya mengizinkan. Bangkitlah  para ibu su-su menggendong Batara Lattuq, kemudian memba-wanya keluar. Kepergiannya didahului pembesar negeri yang memeliharanya, diapit pula para ibu susu, dan dihamburi puja-pujaan oleh saudara sesu-suan segaharanya. Upacara kedewaan dari Rual-letté juga digelar. Suara bising penyeru semangat kekahyangannya membahana menyeruak di antara keramaian gelanggang. Lantai yang dilalui para juak bergelang yang mengiringi I La Tiuleng bagai angin ribut yang menderu menggoyangkan istana.

Rombongan I La Tiuleng terus berjalan ke depan istana dan langsung duduk di ruang tamu. Bergegas putra mahkota itu dibukakan jendela kemilau, lalu menjenguk. Di luar dilihatnya orang-orang sedang berjudi, para penyabung yang sedang bersorak melihat ayam andalannya bertarung. Disaksikannya pula La Pangoriseng sedang asyik bermain logo emas, La Tammallureng tak bosan-bosannya berlatih menggunakan panah bermata emas, La Ellung Mpongeng memutar gasing berbalut emas, dan Datu La Émpeng bermain-main dengan kera. Berseri-seri wajah Batara Lattuq menyaksikan saudara-saudaranya bergembira, bermain-main, tak kenal waktu. Bahkan untuk pulang makan di istana pun mereka tak sempat lagi.

 Tak kuasa menahan keinginannya, Batara Lattuq kembali merengek. Ia meminta untuk dapat juga memainkan semua yang dimainkan saudara-saudaranya. Kebetulan sekali Manurungngé men-dengar rengekan anaknya. Sungguh senang hati Batara Guru mendengar berkeinginan anaknya untuk bermain. Namun untuk turun ke gelanggang di luar istana, Batara Lattuq belum diperbolehkan. Karenanya, segera saja ia berpaling dan berkata pada tukang yang cekatan untuk membuatkan Batara Lattuq ribuan logo, panah, dan gasing, kemiri dan mencarikan kera yang dapat ditemaninya bermain-main.

Sebentar saja, semua permainan yang diperintah-kan telah selesai. Karena belum bisa turun dari ista-na, sebelum dilakukan upacara pijak tanah, maka dipanggillah para anak bangsawan sebayanya untuk bermain bersama Batara Lattuq di istana. Datang pula La Pangoriseng bersaudara mengadu gasing emas. Semuanya bermain dengan gembira menghibur adinda putra mahkota. Ruangan istana yang ditempati Batara Lattuq pun seketika ramai. Sorak-sorai anak-anak terdengar menggema ke seluruh istana.