Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab I

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 1 , La Galigo, Novel La Galigo, Idwar Anwar, Sirtjo Koolhof, Nurhayati Rahman, Muhammad Salim, Muh. Salim, Penerjemahan La Galigo, Sureq Galigo, Kitab Galigo, I La Galigo, Roger Tol, Warisan La Galigo, Boting Langiq, Dunia Atas, Dunia Bawah, Dunia Tengah, Luwuq, Luwu, Ale Luwuq,

Bab I

Turunnya Manusia Pertama ke Alé Lino

Boting Langiq menebar kisah. Menyemainya dalam alam kesadaran manusia….

Di Boting Langiq, fajar hadir penuh gairah. Matahari yang dibawanya mulai merekah di ujung batas pandang, mengusir malam dengan kepekatannya yang telah melelapkan. Angin berlomba-lomba menggiring sejuknya pagi, menelusuri riangnya pohon-pohon petir dan halilintar yang menggelayut. Tangkai-tangkai pelangi bergesekan, melantunkan irama kerinduan. Bunga-bunga awan menggeliat, saling mencecah. Senrijawa mulai benderang. Sinarnya pun memendar di Rualletté, menyelusup di istana Sao Kuta Pareppaqé, tempat Patotoqé bertahta.

Saat cahaya pagi yang masih muda memendar, penguasa Boting Langiq itu bangun. Dikuakkannya kelambu keemasan yang berbalut sinar petir. Perlahan ia membuka kunci bilik guntur, lalu beranjak meninggalkan biliknya yang benderang. Kesegaran pagi membopong aroma bunga-bunga langit. Melayang, bermain di setiap titik-titik angin yang mengantarnya menelusuri kesadaran semua penghuni Boting Langiq.

Masih berselimutkan sarung yang tepinya bersuji benang cahaya petir, Patotoqé terus mengayunkan langkahnya yang nampak lelah. Dilangkahinya sekat guntur, lalu perlahan menyeruak pintu halilintar dan berjongkok di bangku kilat.

Sambil bersimpuh pada bantal padma tanra tellu, Patotoqé membasuh wajahnya pada mangkuk kilat. Kesegaran mulai nampak memendar di wajahnya yang terlihat pula dari pantulan cermin kemilau di hadapannya. Tempat sirih keemasan persembahan orang Senrijawa yang tergeletak tak jauh dari cermin, diraihnya. Ia pun menyirih menenangkan perasaan. Aroma pagi yang garing memenuhi rongga dadanya.

Saat menikmati sirih, Patotoqé terkesiap mende-ngar suara bising di luar istana. Perlahan ia berpaling ke jendela dan cepat-cepat menegakkan tubuhnya beranjak menuju jendela. Dibukanya jendela kemilau itu perlahan. Kibasan angin menerpa cepat. Pandangannya menyeruak ke halaman istana. Di bawah pohon asam tanra tellu tampak La Tau Pancéq dan La Tau Buleng sedang latihan perang-perangan.

Pandangannya terus menjelajah mencari para penjaga ayam utamanya. Namun tak satu pun yang tampak. Merasa penasaran, sebab tak seperti biasanya, Patotoqé bergegas bangkit diikuti beberapa orang yang bertugas membawa cerana guntur tempat sirihnya. Demikian pula pengusung ketur peludahan petir, tempat membuang sepah sirihnya dan penjinjing cerek halilintar tempat air minumnya. Patotoqé melangkah menuju pohon asam tanra tellu, lalu berdiri di gelanggang halilintar tempat ratusan penjaga ayamnya berkumpul.

Tatapannya yang teduh, namun penuh wibawa berlompatan dari satu wajah yang cemas ke wajah lain. Setelah terdiam sejenak, Patotoqé dengan lembut, berkata:

“Mengapa Rukelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq tak menampakkan wajahnya di bawah pohon asam ini? Bukankah ia kuperintahkan untuk menjaga ayam kesayanganku?”

Dengan muka cemas dan suara bergetar, seorang di antara mereka berusaha menjawab. Seraya sujud menyembah, kalimatnya mengalir perlahan, terputus-putus akibat rasa takut yang menggerayanginya batinnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar berucap:

Bersambung.... La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 1 - Idwar Anwar (idwaranwar777.blogspot.com)