Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 1

Sekejap saja mereka telah tiba di Toddang Toja. Istana Sao Selliq[1] yang gemerlap samar-samar telah terlihat di depan mereka. Ketika sampai, Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq segera naik ke istana, menginjakkan kaki pada tangga halilintar sembari memegang susuran kilat. Perlahan mereka melangkahi ambang petir, menelusuri lantai kemilau. Meski sedikit ragu, mereka melangkah terus ke dalam menuju singgasana Sinauq Toja dan Guru ri Selleq.

Kebetulan sekali keduanya sedang duduk berdampingan di atas singgasana. Segera saja Rukkelleng Mpoba bersaudara bersujud menyembah lalu duduk di depan Sinauq Toja dan Guru ri Selleq.

Dengan pandangan sedikit heran dan penuh tanda tanya, Sinauq Toja dan suaminya menyambut kedatangan Rukkelleng Mpoba bersaudara.

“Angin apa yang bertiup dan membawa kalian hingga terdampar di PĂ©rĂ©tiwi? Berita apa gerangan yang kalian bawa dari saudaraku di Boting Langiq? Apakah Datu Patotoq telah ingin mencarikan jodoh bagi Batara Guru perempuan yang berasal dari luar langit?”

Mendengar pertanyaan Sinauq Toja yang diiyakan oleh Guru ri Selleq, segera saja Rukkelleng Mpoba bersaudara sujud menyembah. Terbata-bata Rukkelleng Mpoba berkata:

“Kutadahkan kedua telapak tanganku, memohon ampunan, sebab tenggorokanku hanyalah setipis kulit bawang yang begitu mudah melencengkan kata-kata. Semoga tak kualat hamba menjawab pertanyaan Puang. Saat ini Datu Patotoq, menghendaki kiranya Puangku berdua yang berkuasa di PĂ©rĂ©tiwi naik ke Boting Langiq. Karenanya, kumpulkan pula seluruh penguasa berdarah murni di daerah taklukan Puang yang ada di Toddang Toja, bangsawan mulia para pengapit di Uriq Liu dan di seluruh PĂ©rĂ©tiwi ini. Datu Patotoq ingin meminta pandangan, sebab ia bermaksud menempatkan tunas di AlĂ© Lino, mematangkan kayu sengkonang atas nama dewata.”

Mendengar penjelasan Rukkelleng Mpoba, serta-merta kedua penguasa Pérétiwi, pemilik istana Sao Selliq itu sedikit tersentak.

“Sekiranya PatotoqĂ© menganggap baik maksudnya tersebut, siapakah gerangan yang berani membantahnya?” tanya Sinauq Toja yang diiyakan suaminya.

Rukkelleng Mpoba bersaudara hanya terdiam. Tak ada yang menjawab pertanyaan penguasa Pérétiwi itu.

“Tapi baiklah, kami akan berangkat ke istana Sao Kuta PareppaqĂ© sesegera mungkin,” kata Sinauq Toja segera memecah kebisuan.

Rukkelleng Mpoba tergeragap setelah menyadari kekeliruannya yang hanya terdiam mendengar pertanyaan penguasa Pérétiwi itu. Demikian pula dengan ketiga saudaranya. Ia pun segera menyembah diikuti Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq.

“Terima kasih. Namun, Datu Patotoq juga berpesan hendaknya untuk datang ke Sao Kuta PareppaqĂ©, tepat delapan malam terbitnya bulan dan pada hari pasar di Boting Langiq.”

“Baiklah. Sebaiknya berangkatlah kalian lebih dahulu. Nantilah kami berangkat ke Boting Langiq jika waktu yang ditentukan telah tiba,” jawab Guru ri Selleq.

Setelah menyembah tiga kali, utusan Patotoqé itu memohon pamit untuk segera kembali ke Boting Langiq. Guru ri Selleq dan Sinauq Toja mempersilakan keempatnya meninggalkan Pérétiwi.

Beberapa saat kemudian, berangkatlah utusan Patotoqé tersebut diantar oleh guntur, diiringi kilat dan petir. Hanya sekejap saja, mereka telah tiba kembali di Boting Langiq dan terus naik di istana Sao Kuta Pareppaqé. Matahari pada saat itu masih belum bergeser dari tempatnya.

Sujud menyembah keempatnya, lalu duduk di hadapan Patotoqé. Belum sempat mengatur nafas dengan baik, Patotoqé menghujani mereka dengan pertanyaan.


[1] Sejenis istana yang berada di Selliq, sebuah negeri di Pérétiwi.