Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengantar Novel La Galigo; Turunnya Manusia Pertama


La Galigo merupakan sebuah kitab yang dianggap suci oleh masyarakat Bugis pada masa lampau. Bahkan kesakralannya hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat. La Galigo atau biasa juga disebut Sureq Selléang, Sureq Galigo, atau Bicaranna (Pau-Paunna) Sawérigading, menceritakan tentang awal mula diturunkannya manusia pertama (mula tau) dalam mitologi masyarakat Bugis, sepak-terjang manusia keturunan dewata di Alé Lino (Dunia Tengah), hingga berakhir saat ditutupnya pintu Langit. Dengan ditutupnya pintu langit, maka penghuni di Boting Langiq (Dunia Atas) dan Pérétiwi (Dunia Bawah) tidak leluasa lagi pulang pergi ke Alé Lino atau Kawaq. 

Naskah Galigo ini pada awalnya merupakan tradisi lisan yang kemudian dituliskan. Dan dalam perjalanan waktu, naskah-naskah ini kemudian dikumpulkan oleh Retna Kencana, Colliq Pujié, Arung Pancana Toa, Mationroé ri Tucué atas permintaan Benjamin Frederik Matthes, seorang misionaris Belanda yang dikirim untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bugis dan Makassar. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) 188.

Dalam episode Turunnya Manusia Pertama ini, bercerita tentang awal mula diturunkannya manusia pertama, yakni putra penguasa langit, Patotoqé (Penentu Nasib) yang bernama La Togeq Langiq atau Batara Guru. Selain itu, diceritakan pula tentang diciptakannya tumbuhan, hewan, gunung-gunung dan hampir semua isi bumi…

“Tenangkan hatimu, anakku La Togeq Langiq.... Turunlah ke bumi dengan hati yang lapang. Bawalah taletting mperreq, siri atakka, telleq araso, wempong mani, wennoq rakkileq orang Léténg Nriuq, dan cacubanna dari Sawang Kuttu ini. Jika nanti engkau dalam perjalanan turun ke bumi, lemparkanlah taletting mperreq, agar menjadi tanah dan meluaskannya, mendirikan kampung, mengonggokkan gunung, menebar pebukitan, menghamparkan laut, menyematkan danau, melekukkan alur sungai, menggurat muara, dan menjuntaikan serasah dari balik-balik lembah, gunung dan bukit. Lemparkan pula siri atakka di sebelah kananmu dan telleq araso di sebelah kirimu. Itulah yang nantinya akan menjadi hutan belantara. Dan jika engkau sudah mendekat ke bumi, lemparkanlah wempong mani. Itulah yang akan menjadi ular dan margasatwa beraneka jenis. Dan jangan lupa untuk menaburkan bertih kilat Léténg Nriuq dan beras berwarna dari Sawang Kuttu. Sebab itulah yang akan menjadi burung-burung yang beraneka macam.”

Novel ini merupakan episode awal (Jilid 1) dari 12 Jilid naskah yang dikumpulkan Colliq Pujié (NBG 188). Naskah yang berjumlah 12 jilid ini mengandung + 300.000 bait syair yang menurut pengumpulnya diperkirakan baru sepertiga dari seluruh cerita. Jauh berbeda dengan epos India, Mahabarata atau Ramayana yang jumlah barisnya antara 160.000 dan 200.000.

Disadari bahwa La Galigo, sebagai sebuah naskah kuno, sampai saat ini memang masih lebih banyak dibaca oleh para peneliti maupun akademisi yang bergerak di bidang kebudayaan, khususnya Sulawesi Selatan (Bugis). Apalagi, dengan bentuk puisi prosa dan jalinan kisah yang berbelit-belit, membuat naskah ini menjadi cukup membosankan untuk dibaca, utamanya oleh kalangan remaja.

Karenanya, berbagai upaya terus dilakukan untuk lebih memperkenalkan dan mendekatkan warisan sastra dunia ini kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membuat Epos La Galigo ini dalam bentuk novel, seperti yang ada di tengah pembaca saat ini.

Penulisan ulang dalam bentuk Novel yang dilakukan oleh Idwar Anwar ini merupakan hal yang pertama kali dilakukan, karenanya sangat patut dihargai. Apalagi bila mengingat bahwa naskah asli La Galigo ini, secara fisik (naskah asli tulisan Arung Pancana Toa), cukup sulit ditemukan. Keberadaan naskah ini lebih banyak ditemukan di luar negeri, utamanya Belanda.

Cerita La Galigo dalam buku ini dikemas dengan gaya tutur yang ringan dan mengalir. Meski telah dilakukan berbagai penambahan cerita, namun alur cerita masih tetap dipertahankan. Karakter tokoh juga semakin kuat. Dengan gaya penulisannya, Idwar Anwar mampu bermain di antara dua model pengungkapan/penulisan; klasik (gaya penulisan Lontaraq Galigo) dan populer. Inilah yang membuat cerita dalam buku ini lebih hidup dan berkarakter.

Dengan munculnya La Galigo dalam bentuk novel, diharapkan gairah masyarakat, utamanya kalangan remaja untuk lebih mengetahui warisan budayanya sendiri semakin bertambah. Buku ini merupakan jawaban dari kegelisahan masyarakat selama ini akan hilangnya roh masa lalu dari diri mereka. Buku ini wajib dibaca, utamanya bagi mereka yang ingin lebih mengenal masyarakat Sulawesi Selatan pada masa lampau, baik mengenai kehidupannya, maupun pemahamannya tentang dunia makro dan mikrokosmos.

Semoga buku ini bermanfaat.


Penerbit