Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Petta Pao

Petta Pao, Idwar Anwar, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Palopo, Tana Luwu, Kedatuan Luwu, Kerajaan Luwu, Datuk Patimang, Raja Luwu, Datu Luwu, Luwu, Kabupaten Luwu, Kerajaan Luwu, Kedatuan Luwu, La Galigo, Kitab Galigo, Sureq Galigo, Andi Maradang Makkulau, La Maradang Mackulau, Datu Luwu, 23 Januari 1946 Perlawanan Rakyat Luwu, Masamba Affair, Idwar Anwar, Novel La Galigo, Belanda, Matthes, Sirtjo Koolhof, Luwu Regency, Afdeeling Luwu, Afdeling Luwu, Istana Luwu, Langkanae, Tari Luwu, Tari Pajaga, Suku di Luwu, Wotu, Mengkoka, Bugis, Limolang, Bare'e, Rongkong, Bua, Ponrang, Masamba, Bunga-bunganna Masamba, Tomakaka, Arung, Makole Baebunta, Kecamatan di Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, Simpurusiang, Islamisasi di Luwu, Masuknya Islam di Luwu, Kapan Luwu Terbentuk, Tana Luwu, Wanua Mappatuo Naewai Alena, Maccae ri Luwu, To Ciung, Andi Jemma, Andi Djemma, Terjemahan La Galigo, Transkrip La Galigo, Sejarah Kedatuan Luwu, Sejarah Luwu, Budata Luwu, Bahasa di Luwu, Asal usul nama Kerajaan Luwu, Luwu Kerajaan Tertua, Mesjid Tua Palopo, Mesjid Jami Palopo, Silsilah Raja Luwu, Daftar raja Luwu, Luwu suku apa?, luwu dalam revolusi, potensi tana luwu, kerukunan keluarga luwu raya,

Oleh Idwar Anwar

Pada masa lampau Luwu merupakan kedatuan (kerajaan) yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Di beberapa wilayah kerajaan, khususnya di Sulawesi Selatan, Kedatuan Luwu dianggap sebagai cikal bakal raja-raja mereka. Bahkan kebudayaan Luwu menjadi akar kebudayaan, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan.

Karena kebesaran namanya itu pulalah yang membuat penyebar agama Islam yang datang ke jazirah Sulawesi bertekad untuk terlebih dahulu memasukkan Datu (raja) Luwu ke dalam agama Islam, sebelum menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Sulawesi. Dan terbukti, hanya dalam waktu beberapa lama, akhirnya pada masa pemerintahan Pajung1/Datu Luwu XV, La Pattiware Daeng Parabung (Patiarase), agama Islam pun masuk ke Luwu dan dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.

La Patiware menjadi raja pertama di jazirah Sulawesi yang memeluk agama Islam pada tahun 1603. Ia di-Islamkan oleh Khatib Sulaiman yang kemudian dikenal dengan nama Datok Pattimang. Setelah memeluk agama Islam La Patiware lantas menggunakan gelar Islam dengan nama Sultan Muhammad.

La Patiware memerintah mulai tahun 1587-1615. Pada masa itu, pusat pemerintahan Kedatuan Luwu (Ware’) berkedudukan di Malangke, Pattimang. Pada masa pemerintahan Pattiware, Kedatuan Luwu banyak menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan. Apalagi Luwu sejak lama memang telah dikenal sebagai penghasil besi yang menjadi bahan utama pembuatan senjata pusaka di beberapa kerajaan di Nusantara. Karenanya, daerah Luwu banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah di nusantara.

Patiarase adalah putra baginda Wé Tenrirawé. Patiarase menikah dengan seorang putri yang cantik dari kerajaan Gowa bernama Karaengnge ri Balla Bugisi. Dari permaisurinya, lahir tiga orang anak yakni Patiaraja bergelar Somba Opu (anak pertama), Patipasaung (anak kedua) dan Wé Tenri Somba Baine (anak ketiga).

Pada masa pemerintahannya, Kedatuan Luwu mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama setelah dijadikannya Islam sebagai agama resmi kerajaan. Sebelum masuknya Islam di Kedatuan Luwu, sebagian besar masyarakat Luwu masih berpaham animisme2 dan dinamisme3. Meski mereka juga telah mengenal adanya kekuatan yang esa yang sering kali disebut sebagai Dewata Sewuae (Puang Palanro, Datu Sanra Langi’ yang berarti Tuhan Pencipta, Menguasai Seluruh Alam). Ketika itu, masyarakat Luwu sebagian besar belum mengetahui adanya agama Samawi, seperti Islam, Kristen, dll. Apalagi menjadi pemeluk agama-agama tersebut.

Ketika baru menerima agama Islam, Datu Luwu merasa sangat senang. Ia merasa telah menemukan kebenaran yang selama ini dicarinya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Patiarase menghimbau pula kepada seluruh keluarganya dan aparat kerajaan untuk memeluk agama Islam. Dan dengan kesadaran penuh, mereka lantas memeluk agama Islam.

Setelah sebagian besar keluarga dan aparat kerajaan telah memeluk agama Islam, Datu Pattiware lantas mengadakan pertemuan dengan ade’ seppulodua (Adat 12) membahas keberadaan agama Islam untuk dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Dengan segala mufakat, akhirnya Islam ditetapkan sebagai agama resmi Kedatuan Luwu.

Segera setelah Islam diresmikan sebagai agama kerajaan, Datu Luwu kemudian memerintahkan agar secepatnya mengumumkan peristiwa menggembirakan tersebut kepada seluruh rakyat Luwu. Berbagai pengumuman disebar di berbagai pelosok dalam wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu. Para petugas kedatuan diperintahkan pula untuk menyebarkan berita secara lisan kepada masyarakat mengenai masuknya Datu Luwu Pattiware ke dalam agama Islam dan dijadikannya Islam sebagai agama resmi kedatuan.

Pengumuman ini dilakukan dengan harapan supaya seluruh rakyat Luwu kiranya dengan penuh keikhlasan dapat mengikuti jejak dan langkah yang telah diambil rajanya yang telah memeluk agama Islam; agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Sejak saat itu pula berbondong-bondonglah rakyat Luwu datang ke istana untuk menyatakan kesediaannya memeluk agama Islam. Istana kemudian dijadikan pusat penyebaran dan tempat dakwah ajaran Islam. Mereka yang ingin mengetahui agama Islam sebelum benar-benar menjadikannya agama pilihan, bisa datang ke istana untuk mendapatkan berbagai keterangan tentang Islam.

Selain masyarakat umum, seluruh keluarga raja juga terus diminta keikhlasannya untuk memeluk agama Islam. Memang hampir tak ada hambatan bagi keluarga raja untuk memeluk agama Islam. Mereka sangat mempercayai keputusan Patiarase yang selama ini dianggap sebagai datu yang bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi.

Meskipun demikian ada juga beberapa di antara mereka yang masih meminta waktu untuk mempelajari agama baru tersebut sebelum benar-benar memeluknya secara kaffah. Datu Luwu tidak memaksakan kehendak. Mereka diberi keleluasaan untuk memeluk agama Islam atau tidak. Datu Luwu memang menganjurkan agar sebaiknya mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum menjadikannya penuntun dan pegangan dalam mengarungi hidup. Karena itu, mereka dihadirkan di Istana untuk mendengar ceramah Datok Sulaiman yang merupakan pembawa agama Islam di Luwu dan beberapa penyebar Islam lainnya.

Di antara mereka yang selalu meminta waktu sebelum memeluk agama Islam, terdapat beberapa orang dari kalangan keluarga dekat Datu Luwu Patiarase. Tersebutlah salah seorang saudara datu bernama Patiparessa Manjawari yang bergelar Petta Pao.

Semenjak ditetapkannya Islam sebagai agama resmi kerajaan, Petta Pao telah berkali-kali meminta prioritas waktu sebelum memeluk agama Islam. Namun alasannya sangat berbeda dengan beberapa keluarga datu lainnya. Sebab sebelum Petta Pao memeluk agama Islam, ia meminta waktu untuk menghabiskan dendeng babinya terlebih dahulu. Sebab daging babi memang dilarang dalam Islam. Setelah habis, barulah ia bersedia memeluk agama Islam.

“Aku meminta waktu beberapa lama. Nanti setelah dendeng babiku habis, dengan segala keikhlasan aku akan memeluk agama Islam,” katanya suatu hari saat utusan raja datang meminta kesediaannya untuk datang ke istana mendengar penjelasan tentang agama Islam dari Datok Sulaiman.

“Datu hanya meminta puang untuk datang ke Istana mendengar ceramah Datok Sulaiman dan beberapa pemuka agama Islam lainnya tentang agama Islam. Bukan menyuruh untuk segera memeluk agama Islam. Saudara dan keluarga puang saat ini sedang berkumpul di Istana,” jawab utusan Datu Luwu.

“Iya, aku tahu. Tapi nantilah. Saat ini aku belum siap. Apalagi dendeng babiku juga belum habis. Bukankah dalam Islam dilarang makan daging babi?” ucapnya berusaha mengelak.

“Baiklah. Kalau begitu kami pamit dulu. Semua alasan puang akan kami sampaikan kepada Datu,” ujar salah seorang utusan. Mereka lantas bergegas menuju istana.

Setibanya di istana, mereka melaporkan semua yang mereka lihat dan dengar kepada Patiarase.

Mendengar alasan yang dikemukakan oleh Petta Pao, Patiarase cukup paham dengan kebiasaan saudaranya itu yang memang sangat menyukai daging babi. Meski demikian, ia juga sempat jengkel, sebab alasan yang dikemukakan tersebut selalu berulang.

Selain alasan yang berulang-ulang, alasan itu juga telah lama dikemukakan, sehingga timbul kecurigaan bahwa Petta Pao memang tidak ingin memeluk agama Islam.

“Jangan-jangan Petta Pao hanya menjadikan daging babi sebagai alasan untuk tidak masuk Islam. Ia hanya mempermainkan Islam dengan berpura-pura ingin masuk Islam. Tapi kenapa dia tidak mau berterus terang,” katanya membatin, suatu hari.

Namun demikian, Datu Luwu menyadari, Islam bukanlah agama yang harus disebarkan dengan kekerasan. Islam adalah agama yang cinta damai dan harus disebarkan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Walau begitu, bagi siapa saja yang melecehkan agama Islam, maka pemeluknya harus bertanggung-jawab untuk membelanya.


***


Hari terus berlalu dan bulan berganti bulan, satu demi satu keluarga datu telah memeluk agama Islam. Dengan segala ketekunan Patiarase dan kesabaran Datok Sulaiman dalam menyebarkan dan mengajarkan Islam, akhirnya semakin banyak keluarga raja yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh. Bahkan hampir setiap hari mereka datang ke Istana mendengar ceramah-ceramah Datok Sulaiman dan berusaha untuk melaksanakan ajaran Islam dengan baik.

Demikian pula dengan masyarakat Luwu pada umumnya. Rakyat Luwu sebagian besar telah memeluk agama Islam. Ada yang langsung memeluknya karena memang telah yakin dan percaya bahwa apapun keputusan Datu Patiarase pasti akan membawa berkah bagi mereka. Ada yang menerima agama Islam setelah mendapat penjelasan dari berbagai ceramah-ceramah Datok Sulaiman. Mereka ini hampir setiap hari ramai-ramai datang ke istana untuk menimba pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam. Ada juga yang memeluk agama Islam, meski masih penuh keraguan. Mereka ini adalah orang-orang yang masih berat meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Kendati agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan dan sebagian besar rakyat Luwu menerimanya, namun salah seorang saudara Patiarase sendiri belum juga memeluk agama Islam. Meskipun telah berkali-kali utusan Datu Luwu datang menagih janji Petta Pao untuk masuk Islam setelah dendengnya habis, tapi ia tetap berkelit dengan alasan yang sama. Bahkan kepada Patiarase, saudaranya sendiri, Petta Pao beralasan demikian.

Dengan sabar Datu Luwu masih menerima alasan saudaranya, meski menurutnya Petta Pao telah membohonginya dan berkali-kali mengingkari janjinya. Sebab tidak mungkin dendeng babinya tidak habis dalam jangka waktu yang begitu lama, kecuali kalau persediaan dendeng tersebut selalu ditambah atau tidak dimakan.


***


Suatu hari Patiarase kembali datang menemui saudaranya untuk meminta kesediaan Petta Pao memeluk agama Islam, seperti yang ia janjikan. Kedatangan Patiarase untuk kesekian kalinya itu kembali mendapat sambutan yang kurang menyenangkan dari Petta Pao.

“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Selamat pagi saudaraku Petta Pao,” ucap Patiarase.

“Selamat pagi Opu4. Silahkan masuk!” balas Petta Pao sedikit tergeragap, walaupun sebelumnya ia telah tahu bahwa kakaknya akan datang menemuinya.

“Bagaimana keadaanmu. Semoga baik-baik saja,” tanya Patiarase sembari pandanganya mengembara ke seluruh ruangan.

“Baik Opu. Aku dalam keadaan sehat.”

“Alhamdulillah. Kalau begitu Allah masih memberikan karuniaNya kepadamu.”

Mendengar ucapan-ucapan Patiarase yang banyak menggunakan kata-kata yang asing di telinganya, Petta Pao agak kebingungan.

“Kelihatannya kamu kebingungan, adikku?” tanya Patiarase ketika melihat gelagat adiknya.

“Iya..... iya. Aku tidak tahu siapa itu Allah yang Opu sebut telah memberikan karunianya kepadaku.”

Patiarase hanya tersenyum. Ia begitu tahu pengetahuan saudaranya itu tentang Islam. Namun inilah tanggung-jawab yang ia harus laksanakan. Ia harus memberikan pengetahuan tentang Islam sedikit demi sedikit kepada saudaranya itu. Patiarase berharap kelak Petta Pao dapat menyadari kekeliruannya selama ini.

“Allah adalah nama Tuhan dalam bahasa Arab. Allah adalah pencipta alam semesta Yang Maha Sempurna; Tuhan Yang Maha Esa yang disembah oleh orang-orang yang beriman. Mungkin hampir sama dengan istilah Puang Palanro, Datu Sanra Langi’ dalam pemahaman pengetahuan kita selama ini.”

Dengan penuh kesabaran, Patiarase memberikan penjelasan kepada saudaranya tentang Allah dan berbagai hal tentang Islam yang ia ketahui.

Petta Pao hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Patiarase. Meskipun demikian pikirannya lebih sering melayang tak tentu arah. Ia malah teringat terus pada dendeng babinya dan bagaimana cara mendapatkan kembali babi yang merupakan makanan kegemarannya itu.

Menyadari hal tersebut, Patiarase dengan sabar terus menjelaskan tentang Islam dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki. Ia tahu kelakuan saudaranya itu. Namun, ia hanya berharap semoga apa yang ia jelaskan ada sedikit yang masuk ke dalam hati dan pikiran Petta Pao.

Setelah memberikan penjelasan tentang Islam panjang lebar, Patiarase kembali meminta ketegasan Petta Pao untuk memeluk Islam atau tidak.

“Maaf adikku jika aku kembali datang untuk menagih janji yang pernah kau ucapkan,” ucap Patiarase.

Petta Pao kembali terkesiap. Kendati ia telah menduga apa yang akan diucapkan oleh kakaknya, namun Petta Pao masih berharap kalimat itu tidak dikeluarkannya pada saat ini.

Melihat tingkah adiknya, Patiarase kembali berkata, “Aku tahu ini sangat berat bagimu. Apalagi untuk meninggalkan kebiasaanmu memakan daging babi. Memang daging babi dilarang dalam agama Islam untuk dimakan. Namun aku sangat berharap, kamu dapat menjadi seorang yang ksatria. Seorang bangsawan Luwu yang teguh pada janji yang telah diucapkannya.”

Sejenak Patiarase terdiam. Ia menarik nafas panjang. Ditatapnya Petta Pao yang duduk di depannya. Lelaki bertubuh tegap itu hanya tertunduk mendapat tatapan tajam dari kakaknya. Wajahnya menampakkan guratan-guratan kebingungan. Hatinya terasa gundah. Ia diperhadapkan pada situasi yang sangat sulit. Berkali-kali ia menarik nafas panjang.

Di luar rumah angin berhembus kencang. Suara derit pohon-pohon sangat jelas terdengar di dalam rumah. Daun-daun yang kering banyak berguguran di halaman rumah. Sesekali Patiarase berdeham. Suara batuknya cukup terdengar.

Melihat keadaan adiknya, Patiarase kembali berkata, “Adikku, aku tahu ini sangat sulit bagimu. Tapi apalah arti semua kesenangan duniawi bila dibandingkan dengan kesenangan di akhirat nanti....”

Sejenak kalimanya terhenti. Ditatapnya kembali wajah adiknya lekat-lekat. Cahaya wajahnya perlahan redup. Namun ia tak akan pernah menyerah untuk memberikan secercah cahaya di hati adiknya.

“Aku tidak memaksamu untuk memeluk agama Islam. Sebab dalam Islam tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Aku hanya berkewajiban memberikan penjelasan tentang Islam. Dan jika kamu telah mengetahui dengan baik, dan engkau belum juga mau memeluknya, maka itu merupakan hakmu. Tidak ada paksaan bagimu.”

Petta Pao masih saja terdiam. Ia semakin bingung dan tak tahu apa yang harus ia katakan.

“Kamu dibebaskan untuk tidak memeluk agama Islam, jika memang itu keinginanmu,” ujar Patiarase cepat tatkala melihat garis-garis kebingungan nampak jelas di wajah adiknya.

“Baiklah, Opu,” ucapnya terbata-bata. “Tapi izinkan aku untuk menghabiskan dulu dendeng babiku yang masih tersimpan di dapur. Nantilah setelah dendeng babi itu habis, aku akan pergi ke istana mendengar ceramah Datok Sulaiman dan memeluk agama Islam.”

Mendengar alasan adiknya, Patiarase sejenak terdiam. Kata-kata semacam itulah yang terus diperolehnya. Namun ia harus tetap sabar. Sebab menurutnya, masih ada keinginan Petta Pao untuk masuk Islam. Ia harus memberikan kesempatan kepada adiknya untuk merenungi segala yang telah ia sampaikan.

“Baiklah adikku, jika itu kembali menjadi permintaanmu. Aku akan tetap menunggu hingga kamu sadar bahwa apa yang aku sampaikan ini bukanlah sebuah keburukan. Hanya satu yang aku minta, kamu harus memegang janjimu, jangan sekali-kali kamu membohongiku,” tegas Patiarase. 

Setelah berpamitan, Patiarase beranjak menuruni tangga menuju halaman tempat usungannya berada. Melihat Datu Luwu turun, para abdi yang bertugas mengangkat usungan segera menyingkap pintu usungan. Rombongan yang mengantarkan lantas bergegas menuju istana.

Setelah kepergian Patiarase, Petta Pao makin kebingungan. Ia tahu hukuman apa nanti yang akan ia dapatkan jika terus membohongi Datu Luwu. Namun ia juga sangat enggan untuk meninggalkan kebiasaannya memakan daging babi. Untuk menolak, ia tidak sanggup, sebab selama ini ia selalu beralasan akan masuk Islam jika dendeng babinya telah habis.

Di dalam biliknya, Petta Pao berjalan mondar-mandir. Ia tak tahu apa yang akan dilakukannya jika utusan kakaknya kembali datang menagih janjinya. Namun, diantara kebingungannya Petta Pao masih saja menyuruh orang-orangnya mencari babi untuk dijadikan dendeng.

“Baco pergilah ke hutan mencari babi. Buatkan aku dendeng babi. Ingat jangan sampai persediaan dendeng babi di dapur habis,” suaranya lantang memerintahkan kepada salah seorang pengawalnya.

“Baik Puang5,” ujar sang pengawal yang juga belum memeluk agama Islam karena mengikuti tuannya.

Bergegas ia mengambil berbagai peralatan berburu, seperti panah, anjing, tombak dan parang. Bersama beberapa orang lainnya yang telah berbekal peralatan berburu yang lengkap, ia berjalan menuju hutan.


***


Sementara di istana, setelah menanti berbulan-bulan, Petta Pao belum juga mau masuk Islam. Ia selalu memberikan alasan yang sama. Karenanya, Datu Luwu kembali memerintahkan utusannya untuk pergi ke rumah Petta Pao. Utusan itu diperintahkan juga untuk mengecek jumlah persediaan dendeng babi Petta Pao, agar nantinya bisa diperkirakan kapan dendeng babi tersebut akan habis.

Setelah berkali-kali, beberapa utusan Datu Luwu kembali datang ke rumah Petta Pao.

“Assalamualaikum,” ucap para utusan hampir bersamaan.

Mendengar suara dari luar, Petta Pao bergegas menuju pintu. Dilihatnya beberapa utusan Datu Luwu masih berdiri di bawah rumah.

“Silahkan naik!”

“Maafkan kami Opu.”

“Silahkan masuk!”

“Sekali lagi kami mohon maaf karena telah mengganggu. Kami datang menemui Opu atas perintah Opu Datu Patiarase,” ujar salah seorang utusan yang menjadi juru bicara, sedikit tergagap.

“Iya. Aku telah mengetahui maksud kedatangan kalian kemari. Tapi sekali lagi aku mohon maaf, sebab aku belum bisa menepati janjiku untuk menjadi penganut agama Islam. Nantilah setelah dendeng babiku habis, baru aku mau masuk Islam,” katanya beralasan sebelum para utusan itu mengungkit dan menagih janji yang pernah ia ucapkan.

“Baiklah, kalau begitu,” ucap sang juru bicara dengan suara lemah. Ia juga telah tahu jawaban apa yang akan diperolehnya. “Tapi maaf Opu, datu juga memerintahkan kepada kami untuk memeriksa persediaan dendeng babi yang Opu punyai sekarang.

Mendengar keinginan para utusan tersebut, Petta Pao jadi bingung. Wajahnya sedikit pucat. Ia tak ingin jumlah persediaan dendeng babi yang dimilikinya ketahuan. Namun ia juga tak dapat menolak permintaan utusan tersebut yang mengatasnamakan Datu Luwu. Perlahan Petta Pao menarik nafas panjang.

“Bagaimana Opu, apa kami bisa memeriksanya sekarang?” kata juru bicara.

Akhirnya, setelah berhasil menguasai dirinya, dengan berat hati Petta Pao mempersilahkan para utusan tersebut masuk ke dapur.

“Iya...iya, silahkan!” ucapnya bimbang.

Petta Pao tak mampu berbuat apa-apa. Rasa takut ketahuan bercampur dengan rasa segan menolak permintaan kakaknya yang juga merupakan junjungannya.

Sedikit ragu, para utusan tersebut segera melangkah menuju dapur rumah Petta Pao. Beberapa orang yang berada di dalam rumah heran. Namun setelah mengetahui yang masuk adalah para utusan Datu Luwu, mereka lantas menyisih dan duduk di lantai.

Saat itu, para utusan Datu Luwu melihat persediaan dendeng babi Petta Pao tinggal sedikit. Mereka memperkirakan persediaan tersebut paling lama akan habis dalam waktu sebulan. Bahkan hanya tinggal beberapa hari, jika Petta Pao memakannya setiap hari.

 Setelah memeriksa dengan seksama semua persediaan dendeng babi Petta Pao, para utusan itu segera mohon diri. Dengan perasaan lega utusan itu kembali ke istana dan melaporkan semua hasil pekerjaannya.

Di istana, setelah mendengar laporan dari utusannya, Datu Luwu merasa lega. Akhirnya saudaranya sebentar lagi akan memeluk agama Islam. Sebenarnya Patiarase cukup terpukul, sebab semua keluarga dekatnya telah masuk Islam. Tinggal saudaranya itulah yang belum memeluk agama yang begitu ia yakini kebenarannya.


***


Hari berganti dan bulan baru pun datang. Dengan penuh kegembiraan Patiarase kembali memerintahkan utusannya untuk pergi menemui Petta Pao dan membawanya ke Istana. Sebab seharusnya telah waktunya Petta Pao datang menghadap ke istana. Menurut perkiraan, dendeng babi Petta Pao telah habis, bahkan jauh hari sebelumnya seandainya Petta Pao memakan dendeng babinya setiap hari.

Namun setelah beberapa lama menunggu, ternyata Petta Pao belum juga muncul di istana. Beberapa utusan kembali diberangkatkan ke rumah Petta Pao untuk mempertanyakan kembali kesediaannya memeluk agama Islam.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya utusan itu pun sampai di rumah Petta Pao. Dilihatnya Petta Pao sedang duduk santai di teras rumahnya. Dengan sopan, para utusan itu mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”

Melihat kedatangan utusan Datu Luwu, Petta Pao terkejut setengah mati. Jantungnya seketika berdebar kencang. Ia tak menyangka utusan dari istana kembali mendatanginya. “Apa yang harus aku lakukan,” ucapnya membatin.

“Naiklah!” serunya.

“Iye6 Opu,” kata mereka hampir bersamaan.

Perlahan mereka melangkahkan kaki menapaki setiap anak tangga dan langsung duduk setelah dipersilahkan.

“Maafkan kami jika mengganggu. Kami datang kemari karena diperintahkan oleh Opu Datu Patiarase untuk menanyakan kembali kesediaan Opu untuk memeluk agama Islam.

“Aku tahu. Tapi sekali lagi, sampaikan permohonan maafku kepada Opu Datu, sebab sampai saat ini aku belum mau menerima Islam sebagai agamaku. Bukankah dalam perjanjian, nanti setelah dendeng babiku habis baru aku akan masuk Islam?”

Para utusan tersebut terhenyak mendengar ucapan Petta Pao. Mereka benar-benar tidak percaya jika dendeng babi adik Patiarase itu belum juga habis. Padahal sudah cukup lama waktu diberikan kepada Petta Pao untuk menghabiskan dendeng babinya.

 Melihat para utusan itu kebingungan, Petta Pao mempersilahkan mereka untuk memeriksa sendiri persediaan dendeng babinya di dapur.

“Silahkan periksa sendiri jika kalian tidak percaya,” ujar Petta Pao saat menyadari kebingungan tamunya.

Karena penasaran, para utusan itu lantas pergi melihat persediaan dendeng babi Petta Pao. Alangkah terkejutnya mereka ketika dilihatnya persediaan dendeng babi itu bertambah banyak. Tak mampu berkata-kata lagi, mereka lalu mohon pamit dan kembali ke istana melaporkan semua penemuannya.


***


Melihat kedatangan para utusannya tanpa disertai Petta Pao, Datu Patiarase mulai curiga. Namun ia masih tetap berusaha berprasangka baik.

“Silahkan duduk,” ucap Patiarase mempersilahkan para utusannya. “Kenapa kalian tidak bersama Petta Pao?”

Mendengar pertanyaan Patiarase, para utusan itu terdiam sejenak. Bahkan juru bicara yang ditunjuk sebelumnya juga tak mampu berkata-kata. Ia nampak bingung. Begitu berat kalimat keluar dari bibirnya.

“Mengapa kalian diam? Apa yang terjadi? Seharusnya kalian datang bersama Petta Pao,” tanya Patiarase mulai resah. Ia menarik nafas panjang.

“Bicaralah!”

“Ampun Puang. Setelah kami bertemu Petta Pao, jawaban yang kami dapatkan sama dengan jawaban-jawaban sebelumnya. Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi, sebab dendeng babinya ternyata belum juga habis. Malah bertambah banyak.”

“Iya, Opu,” kata utusan yang lain. Karena kami tidak percaya, kami pun masuk ke dapur untuk melihat sendiri persediaan dendeng babi Petta Pao. Dan seperti pengakuannya sendiri, dendeng babinya memang masih banyak. Bahkan bertambah banyak.”

Mendengar penjelasan utusannya, Patiarase tiba-tiba diliputi kebingungan yang maha dahsyat. Ia benar-benar tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Wajahnya seketika merah padam. Patiarase benar-benar murka. Ia merasa sangat malu dengan perbuatan saudaranya sendiri. Terlebih ia tidak suka pada orang yang selalu mengingkari janjinya.

“Kalau memang Petta Pao tidak mau masuk Islam, kenapa ia tidak mau berterus terang. Padahal aku sudah katakan, jika ia memang tidak mau memeluk agama Islam, maka tidak ada paksaan sedikit pun baginya. Tapi kenapa ia malah seperti mempermainkan kita. Mempermainkan agama Islam. Ini tidak boleh dibiarkan,” katanya geram menahan kemarahannya.

Karenanya, diperintahkanlah untuk segera melakukan pertemuan bersama adat 127 (ade’ seppulo dua) untuk membahas hukuman apa yang harus ditimpakan kepada Petta Pao. Berdasarkan keputusan adat, maka Petta Pao dikenai hukuman ripaggenoi wenna cella’ (dilingkari lehernya dengan benang merah atau hukuman mati).

Meski berat, Datu Patiarase tetap menjalankan hukuman tersebut. Sesuai kesepakatan, diperintahkanlah kepada seorang utusan khusus bernama La Bucai untuk membunuh Petta Pao.

La Bucai adalah seorang algojo yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ia merupakan orang kepercayaan Datu Luwu untuk menjalankan tugas-tugas khusus. Mendapat perintah tersebut, La Bucai segera berangkat ke rumah Petta Pao.

Malam itu, suasana begitu mencekam. Angin seakan mati. Dingin menggelayut. Dengan persiapan yang matang La Bucai mendatangi rumah Petta Pao untuk menjalankan tugasnya. Meski berat, namun tugas yang diembannya adalah tugas dari Datu Luwu yang harus ia jalankan.

Dengan percaya diri, La Bucai berjalan menuju rumah Petta Pao. Sampai di rumah Petta Pao, La Bucai langsung naik dan masuk ke dalam rumah yang pintunya tak terkunci. Melihat Petta Pao yang ketika itu sedang bersantap malam, ia pun langsung menebas lehernya. Pada saat itu juga Petta Pao meninggal di tempat tanpa perlawanan sedikitpun.

Malam itu juga tersebarlah berita tentang kematian Petta Pao. Masyarakat Pao pun gempar. Mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika mengetahui bahwa yang membunuh Petta Pao adalah La Bucai, seorang algojo utusan khusus Datu Luwu, Patiarase.

Petta Pao telah membayar janji-janji bohongnya dengan nyawanya sendiri. Ia telah mempermainkan Datu Luwu dan agama Islam. Sebab dalam kebudayaan Luwu dan Islam, janji merupakan sesuatu yang sangat dijunjung tinggi. Janji menempati kedudukan tersendiri dalam tingkatan martabat manusia dalam Islam dan kebudayaan Luwu.

Sejak kejadian itu, di beberapa kalangan masyarakat Pao, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara (sekarang) muncul semacam tradisi bahwa apabila sedang makan di rumah, diharuskan terlebih dahulu untuk menutup dan mengunci pintu rumah.

Kuburan Petta Pao masih dapat ditemukan sekarang di Dusun Pao, Desa Pattimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara.

Catatan

1  Pajung adalah gelaran yang diberikan oleh Dewan Hadat Luwu kepada seorang datu setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Secara harfiah pajung berarti ‘payung’, maksudnya seorang yang menjabat pajung harus mampu memayungi kepentingan rakyat yang dipimpinnya, termasuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan rasa aman bagi mereka. Tidak semua datu bergelar pajung, tetapi semua pajung adalah datu, karena yang berhak diangkat menjadi Pajung hanya seorang yang menjabat datu. Seorang yang akan dilantik menjadi pajung harus mempunyai pengalaman yang cukup dalam jabatannya sebagai datu. Selain itu, ia juga harus menempuh ujian yang sangat berat di Tana Bangkala, tepatnya pada sebuah tempat yang bernama Salekkoé.

2  Kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (Pohon, batu, sungai, gunung, dsb).

3  Kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.

4  Panggilan/gelar kehormatan. Gelar bangsawan di Luwu dan dipakai pula di beberapa daerah lainnya.

5  Panggilan kehormatan di masyarakat Sulawesi Selatan.

6  Ucapan penghormatan yang berarti “iya”.

7  Ade’ Seppulo Dua (Hadat Dua Belas) adalah sebuah lembaga dalam struktur pemerintahan Kedatuan Luwu yang berfungsi semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat.