Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 10

 

Sungguh senang hati Manurungngé melihat anak kandungnya bermain tak kenal lelah. Demikian pula Wé Datu Tompoq. Bagai menghirup madu rasa hatinya memandang anak tunggalnya, berloncatan ke sana kemari. Tak kenal lelah, Batara Lattuq terus saja bermain, hingga waktu pun terus merangkak mendekati kaki langit di sebelah barat.

Tatkala matahari benar-benar tenggelam di sudut cakrawala, Batara Lattuq masuk ke dalam dan langsung duduk di pangkuan ayahandanya. Meski begitu gembira, hatinya masih resah memikirkan keinginannya untuk bermain di gelanggang sabung-an menyaksikan ayam beradu dengan kepak sayapnya yang menggetarkan hati.

“Ayahanda, besar pula rasanya keinginan hamba turun ke bawah pohon asam seiring dengan kakakku, menyabung ayam. Gembira hatiku men-dengar kepak sayap yang saling beradu.”

Betapa senang hati Manurungngé dan istrinya mendengar ucapan putra mahkota kesayangannya.

“Baiklah. Tapi sebaiknya kita tunggu dulu sampai tiba ulang tahunmu. Ketika itulah akan kubuatkan keramaian. Akan diantarkan pemberitahuan ke berbagai negeri dan kita undang sekolong langit, sepetala bumi. Saat itu pula, engkau akan dibawa melewati menrawé. Dipatahkan pula bambu emas dan diperciki air suci. Engkau juga harus menginjak tanah ménroja dan bersetumpu pada umpaq sekati. Setelah itu barulah engkau dapat diantar turun ke gelanggang melihat keadaan dan membuka kurungan ayam keemasan,” janji Batara Guru seraya mengelus kepala anaknya.

Girang sekali hati Batara Lattuq mendengar ucapan ayahandanya. Ia buru-buru bangkit dan berlari ke balairung untuk memberitahukan berita itu kepada saudara-saudaranya. Gelak tawa mem-bahana di antara mereka yang duduk melingkar, mendengar diluluskannya keinginan I La Tiuleng. Demikian pula bangsawan mulia sebayanya dan  orang yang berdarah murni sesamanya yang berada di sekelilingnya, tertawa penuh kegembiraan. Sungguh semarak balairung yang ditempati Batara Lattuq. Para pengasuh juga tak ketinggalan berdesakan mengelilingi tempatnya.

 ***

 Batara Lattuq tumbuh besar dari hari ke hari. Tujuh tahun sudah berlalu. Semakin tak tenang lagi hatinya tinggal di dalam istana. Sementara La Pangoriseng kadang-kadang mulai mendekati wanita. La Temmallureng dan La Temmallollong juga sekali-kali digerayangi pikiran untuk mengenal wanita. Kerinduan terhadap wanita tak kuasa ditampiknya. Isi bilik yang dapat menghanyutkan hari-hari, sudah pula merasuki pikiran La Tenri-émpeng, La Pattaungeng dan beberapa anak laki-laki Batara Guru.

Hari ke hari terus berlalu, hingga waktu dilakukannya upacara pijak tanah Batara Lattuq tinggal beberapa hari lagi. Suatu pagi, matahari baru saja merekah. Manurungngé beranjak bangun dari tidurnya. Berdiam sejenak di bibir ranjang, ia beranjak membasuh muka, bercermin, menyirih dan langsung keluar kamar menuju di balairung untuk segera membicarakan persiapan upacara pijak tanah Batara Lattuq.

Mengingat waktu makin kasip, maka Manurung-ngé bersegera memerintahkan kepada Wélong Talaga agar mengatur perintah mengantarkan kain jemputan, alas kakinya Puang Matoa ri Laé-Laé, serta memanggil Puang ri Luwu dan Puang ri Ware, agar secepatnya berkumpul di istana. Kepada Méncara, ia juga memerintahkan untuk mengatur perintah memanggil daerah sekitar Luwu dan Ware. Selain itu, diperintahkan pula untuk mendatangkan anak raja pendamping, pembesar negeri, bangsawan tinggi kapit, dan anak-anak raja pengiring. To Appamadeng juga mendapat perintah untuk mengedarkan undangan. Sesuai keinginan Batara Guru, semua undangan diminta kedatangannya berkumpul di Alé Luwu, tepat pada waktu bulan purnama.