Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 10

 

 Tak menunggu waktu lama, mereka yang diberi tugas segera bekerja. Istana pun segera dihiasi. Bagaikan ombak berkejaran perintah La Wéro Ileq bersama La Mareng Mpoba kepada mereka yang memasang kain penghias istana. Tiang istana dibungkus kain cindé dan kain Melayu orang Sappé Ileq. Dipasanglah pada langit-langit kain perak putih membayang dan digantungkan hiasan bersulam emas yang gemerlapan. Dihiasi pula gelanggang petir yang berkilauan. Puang Matoa mengupacarai kampak untuk menebang kayu arawaq yang akan dijadikan tempat bertumpu bagi penghias langit-langit. Suara para bissu riuh mencabik janur, membuat ikat kepala.

Berbagai perlengkapan upacara terus disiapkan. Tujuh ratus guci lengkap yang ditempati air suci dan sebanyak itu pula guci Kelling tempat air dingin mayang yang telah dimantrai untuk air mandi Batara Lattuq telah disiapkan. Para dayang-dayang yang membawa pelita yang membawa bertih emas, beras putih, ikatan sirih, telur ayam untuk tolak bala, satu persatu masuk. Bersama To Tenrioddang, To Appamadeng mengatur semua pekerjaan di gelanggang.

Tiga ribu hamba sahaya orang Senrijawa yang memakai ikat kepala keemasan membawa kipas emas orang Widéq Unruq juga telah datang. Datang pula pembawa kipas emas orang Toddang Toja dan orang Léténg Nriuq. Para muda-mudi menggun-cang-guncangkan alosu sodda dan arumpigi yang dibaluti emas. Puang Matoa ri Laé-Laé lalu menoreh tanah, berdoa agar diledakkan petir dan guntur. Api dewata dinyalakanlah. Ditutuplah arawaq dengan papan keemasan. Tempat upacara dibalut kain yang lembut dari Rualletté, serta dilapisi dengan kain sutera dari Singkiq Wéro.

Puang ri Ware bersama hampir seribu orang berangkat memasang menrawé yang berbuahkan bokor, bertangkaikan kalung berbulir, berdaunkan kain cindai, berpucukkan passili lengkap orang Limpo Bonga, berbungakan mayang keemasan orang Wawo Unruq, berakarkan gelang berpilin. Gerbang bambu berhias itu menjadi tempat lalunya para raja muda yang berkopiah emas di Alé Luwu, raja yang gagah dinaungi payung keemasan di Watang Mpareq dan pembesar kerajaan lainnya.

Akhirnya sampai juga hari yang ditentukan oleh Manurungngé. Dari berbagai penjuru, berdatangan-lah para undangan. Muara sungai telah dipadati oleh perahu berhias emas. Para undangan itu masing-masing mengantar seratus kerbau camara bertanduk emas, dikalungi rantai emas dan dicocok hidungnya dengan gelang besar. Semua kerbau itu diikat dengan tali emas, dan dibimbing dengan gulungan kain sutera.

Hampir tak terpejamkan lagi mata Batara Lattuq bersaudara menyaksikan persiapan upacara pijak tanahnya. Tak henti-hentinya pula ia bermain di balairung. Para juak yang menemaninya bermain tak sempat lagi bepergian.

Semua persiapan upacara pijak tanah hampir rampung. Para ibu susu Batara Lattuq diperintah-kan oleh Wé Nyiliq Timoq agar segera menumbukkan langir dan memeraskan jeruk wangi untuk membersihkan rambut, menghilangkan kotoran dan daki I La Tiuleng. Wélong Mpabareq sendiri yang mengatur perintah mempersiapkan kelengkapan upacara kedatuan Batara Lattuq.

Setelah Batara Lattuq siap, dimulailah upacara pijak tanah Batara Lattuq. Gendang  emas manurung berbalut berbagai kain indah bersuji, mulai ditabuh. Dipukul pula gong emas yang suaranya meng-gelegar laksana petir mengguncangkan bumi. Ribuan tumpuq kadidi, tettilaguni, gamaru dan anak beccing tak ketinggalan dibunyikan. Suling Jawa yang diiringi dengan gong dan diramaikan dengan musik Melayu, mengalun begitu indah, namun penuh kesakralan. Caleppa emas dan ratusan mongeng-mongeng yang dipukul menambah kesakralan upacara.

Begitu ramai upacara kekahyangan I La Tiuleng. Puang Matoa perlahan–lahan bangkit dan mengiringi Batara Lattuq dengan tarian bissu. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa-doa dengan kata-kata dewata. Tubuhnya dinaungi  selendang  lembut membayang orang Widéq Unruq.