Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (5) Bab 9

 

 Bagai air pasang, orang-orang yang menaiki istana. Tak saling memberi jalan, tak saling memberi tempat duduk mereka yang datang. Ruangan depan penuh sesak dengan Opu penyabung. Mereka duduk berhimpitan hingga bersentuhan gelang para pembesar kerajaan yang menguasai negeri-negeri yang indah.

Gembiralah Manurungngé dan permasurinya menyaksikan keramaian di istana. Karenanya….

“Bangkitlah engkau, To Tendrioddang dan To Appamadeng mengatur perintah agar semua tumbal segera dipanggang. Dan secepatnya siapkan pula makanan untuk rakyat,” perintah Batara Guru.

Dengan segera To Tenrioddang dan To Appamadeng berjalan menuju gelanggang, mengatur perintah untuk memanggang kerbau. Tak menunggu lama, asap pun mengepul bagai kabut di sela-sela rumah, di antara gerimbunan daun pohon angsana.

Beberapa lama kemudian, rampunglah segala perintah To Tenrioddang dan To Appamadeng. Berbagai makanan mulai dihidangkan. Kuali diangkat yang dijejer dengan aneka ragam guci. Ber-keliaran para dayang-dayang, dan para pelayan pilihan menghamburkan lengan mereka yang ber-gelang, mengatur makanan. Berbagai macam buah-buahan dan minuman juga ditata sedemikian rupa.

Talam emas tempat makanan Manurungngé dan permaisurinya mulai dihidangkan. Tempat makanan itu dinaungi kain dengan penutup bersuji emas yang ditindih dengan gelang berpilin. Dihiasi pula dengan gelang emas yang bertatahkan gading berukir. Diangkatkan pula guci kemilau yang menjelma bersama Batara Guru pada bambu betung.

Hampir bersamaan diangkatkan pula baki kencana dan alas hidangan La Pangoriseng bersaudara. Guci Kelling sebagai kelengkapan hidangannya juga telah dibawakan.

Hidangan para pembesar negeri yang turun bersama Manurungngé juga telah dihidangkan. Talam emas dan piring mangkuk mereka juga diangkatkan bersama semua makanan anak bangsa-wan pengiring, para  hakim, bangsawan tinggi pendamping, dan anak orang kaya. Diangkat pula talam tempat makanan raja putri, dan semua isi balairung. Lengkap pula semua makanan untuk rakyat.

Setelah semua rampung, Manurungngé mulai membersihkan tangannya. Ia sendiri yang mem-bersihkan jari tangan permaisurinya. Bersama Wé Nyiliq Timoq, Batara Guru mulai bersantap. La Pangoriseng dengan I La Lumpongeng makan bersama, sehidangan La Tenritippeq dengan La Temmallollong. Satu talam emas pula Datu La Émpeng2 dengan La Temmallureng. Demikian juga La Tenriaseq dengan La Pattaungeng.

Melihat Batara Guru mulai makan, hampir bersamaan pula seluruh yang hadir mulai menyan-tap. Saling mempersilahkan makan para anak raja. Dari kejauhan, gelas emas tempat minum Manurungngé  laksana matahari yang muncul di atas gunung. Demikian pula cangkir keemasan tem-pat minumnya para pembesar yang memerintah negeri yang memancarkan cahaya yang menyilau-kan. Sadang mangkuk Jawa, tempat minumnya rakyat banyak, bak punai melayang.

Begitu lahapnya mereka makan, hingga belum setengah isi tempat makanan mereka habis, ditam-bahnya pula. Ribuan dayang-dayang yang menge-nakan pakaian dari Senrijawa yang turun bersama Manurungngé, serta biti perwara Wé Nyiliq Timoq, bersamaan mengayunkan kipas emas dari Rualletté. Mereka seperti tak membiarkan makanan Manu-rungngé dan Wé Nyiliq Timoq dihinggapi lalat.

Setelah Manurungngé dan Wé Nyiliq Timoq berhenti makan, berhenti pula semua yang hadir. Talam emas tempat makanan Manurungngé diangkat. Barulah kemudian disuguhkan sirih. Perlahan Manurungngé meraih puan kemilau yang ditutupi dengan tudung bersuji emas, ditindih dengan gelang naga berukir, lalu menyirih menenangkan hati. Demikian pula dengan Wé Nyiliq Timoq yang diikuti oleh para bangsawan dan semua yang hadir.