Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (5) Bab 10

 

 Berangkatlah Puang Matoa mengelu-elukan Batara Lattuq dengan kata-kata dewata, mem-bangkitkan jiwa I La Tiuleng dengan tarian bissu.

Manurungngé kemudian bangkit menggamit tangan Batara Lattuq turun dari istana. Keduanya dinaungi payung gemerlap orang Limpo Bonga yang muncul bersama Wé Nyiliq Timoq. Bermacam perlengkapan upacara adat kedatuan mulai meramaikan. Suara-suara penyeru semangat kekahyangannya mengerubungi angkasa. Berbagai bunyi-bunyian dan tarian upacara kahyangan tak henti-hentinya digelar. Berbagai usungan lainnya juga disiapkan untuk mendampingi usungan Batara Lattuq. Bergemuruhlah suara teriakan orang-orang mengiringi rombongan menuju pohon asam, tempat bangunan upacara didirikan.

Perlahan Puang Matoa berdiri, menaburi bertih emas Batara Lattuq. Ia juga memerintahkan secepatnya memancang menrawé dan mematahkan bambu emas untuk I La Tiuleng. Semua alat upacara kembali dibunyikan. Mendengung-dengung La Wéwang Langiq, gendang emas manurung dan La Wéro Ileq, gong emas yang muncul bersama Wé Nyiliq Timoq. Memekik pula I La Wéruneq, suling emas yang muncul, hingga orang-orang tak saling mendengar suara. Di tengah kebisingan itu, seolah doa-doa terijabah, tiba-tiba saja bunyi guntur bersahut-sahutan yang didahului petir dan kilat yang saling menyabung.

Di tengah keterpukauan:

“Kuur jiwamu, putra Manurungngé yang memerintah sekolong langit, keturunan sangiang orang Boting Langiq, tetaplah semangat kekahya-nganmu. Semoga dipanjangkan umur dan senan-tiasa disediakan segala alat hiburanmu.”

Mulut Puang Matoa terus memanjatkan doa-doa. Seruan itu menggema mengguncang mayapada. Hampir bersamaan taburan bertih emas bagai hujan deras mengguyur. Kembali bergemuruh kata-kata dewata bissu. Tiga kali Batara Lattuq dan rombo-ngan mengelilingi tempat upacara. Di depan tangga bawah, ia diperciki air suci, menginjak tanah ménroja dan bersetumpu pada umpaq sekati. Setelah itu barulah ia naik di atas tempat upacara. Bertih tak pernah reda bertaburan bagai hujan deras.

Perlahan-lahan Batara Lattuq menaiki tangga tempat upacara, berpegangan pada susuran emas yang berhias jumbai mayang kelapa orang Limpo Bonga. Tak henti-hentinya bertih emas berhambur-an disertai penyeru semangat bagi jiwa bagi I La Tiuleng. Kembali bangkit Puang Matoa menaburkan bertih kemilau, beras aneka ragam dari Rualletté.

“Kuur semangatmu, keturunan sangiang orang Pérétiwi, keturunan manurung orang Rualletté. Naiklah ke tengah gelanggang. Tidak ada duamu ananda calon pengganti Puang Manurung.”

Di belakangnya, Manurungngé, Wé Nyiliq Timoq, ibu susu, inang pengasuh dan saudara-saudaranya, turut pula naik. Bersama saudara-saudaranya, Batara Lattuq duduk melingkar di gelanggang, dikipasi dengan kipas kecil orang Senrijawa dan kipas besar orang Rualletté. Berhembus pula angin buatan orang Wawo Unruq. Manurungngé dan istrinya sebelumnya juga telah duduk. Serentak para pembesar kerajaan yang memerintah negeri, pun menaiki tempat upacara.

Setelah semua telah berada pada tempatnya, barulah mereka disuguhi sirih yang diletakkan pada talam emas yang ditutupi dengan tudung emas dan ditindih gelang berpilin. Serta-merta Manurungngé menyambut sirih orang Senrijawa. Hanya sekejap berselang, bergerak pulalah semua anak raja yang muncul bersama Wé Tompoq, menyuguhi Batara Lattuq dengan sirih orang Toddang Toja. Sirih itu diletakkan di dalam puan yang tertutup tudung bersulam emas dan dibaluti gelang berukir naga dari Uriq Liu.

Masih sementara menyirih, Manurungngé menoleh sambil berkata:

“Bangkitlah engkau anakku, membuka kurung-an, menilik sisik ayam, memasang taji yang kuat untuk mengalahkan ayam lawan.”