Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (6) Bab 9

 

 Nampak jelas kegembiraan yang terpancar dari wajah La Togeq Langiq dan permaisurinya. Penuh semangat ia berkata dengan mata yang berbinar pada semua yang hadir:

“Hari ini aku sangat bergembira sekali karena telah melaksanakan nazar dan memberikan persembahan ke Boting Langiq dan Pérétiwi. Dan yang lebih membahagiakan adalah bahwa hari ini anak kami akan diberi nama. Setelah merenung beberapa lama akhirnya kutemukan nama yang baik untuk anak kami. Namanya Batara Lattuq, di Alé Luwu. Ia kugelari pula I La Tuleng, di Watang Mpareq.”

Bergembiralah semua yang mendengar ucapan Batara Guru. Bagai meminum madu pula rasa hati Manurungngé dan Wé Nyiliq Timoq. Bangkitlah Puang Kuru ri Laé-Laé bersama Puang ri Luwu, dan Puang ri Ware. Demikian juga dengan ribuan bissu yang lain datang menyuguhi Batara Lattuq tari bissu dan  mendendangkan I La Tiuleng dengan kata-kata dewata. Putra mahkota itu pun dibangkitkan dengan tari-tarian, dijaga dengan kata-kata dewata serta nyanyian kur semangat orang Rualletté. Ribuan tumpuq  kadidi, tettilaguni, dan anak beccing dibunyikan. Nyanyian bissu orang Uluwongeng juga didendangkan. Diletakkan pula kelapa manurung di Dataq, lalu ia dinaikkan ke ayunan yang menggunakan tali emas.

Tiga ratus ibu susu dan inang pengasuh bergantian mengayun. Hingga... tujuh malam sudah Batara Lattuq berbaring di ayunan manurung. Dalam masa itu, tak henti-hentinya keramaian dilaksana-kan, tiada pula sunyi gelanggang. Tiga ribu ayam yang disabung mati setiap harinya. Hanya malam dan makan saja yang mengantarai para penyabung bertaruh di bawah pohon asam. Bangkai-bangkai ayam andalan penyabung dan patahan taji pun bertumpuk bagai pematang. Benang-benang pengikat taji juga berseliweran bak jaring laba-laba.

 ***

 Di ufuk timur, baru saja matahari menyembul. Di puncak batas cakrawala cahaya matahari masih lembut menerangi mayapada. Pagi itu Manurung-ngé dan Wé Nyiliq Timoq baru saja bangun. Usai membasuh wajah pada mangkuk putih dan berkaca pada cermin kemilau, keduanya beranjak keluar dari kamarnya. Aktifitas di istana Luwu juga baru mulai berjalan.

Usai menyirih, Manurungngé dan permaisurinya berpegangan tangan menuju ke ayunan tali tempat Batara Lattuq terbaring. Gembira sekali Wé Datu Tompoq menyaksikan anaknya menggeliat, mulai terbangun. Diraihnya tubuh Batara Lattuq dan memindahkannya dengan lembut ke pangkuannya.

“Pindahlah ke pangkuanku, anakku Batara Lattuq. Akan kuperhitungkan bagimu I La Tiuleng, pemberian yang banyak. Sebab tak ada duamu yang pernah terlelap dalam rahimku.”

Bagai menang ayam sabungan pula hati Manurungngé melihat anaknya bermain di pang-kuan istrinya.

“Melompatlah kemari, anakku Tiuleng. Naiklah ke pangkuanku akan kujadikan engkau pewaris tunggalku, sebagai pemersatu dua kerajaan di Boting Langiq dan Pérétiwi.”

Diulurkannya tangan Batara Guru meraih tubuh I La Tiuleng yang masih berada di pangkuan istrinya. Berganti-ganti keduanya merangkul belah-an hati yang telah lama dinantikan, memangku putra mahkota kesayangannya.

Berganti-ganti anak raja pengiring, penguasa negeri orang Abang yang turun bersama dengan Manurungngé, menghibur Batara Lattuq. Demikian juga bangsawan tinggi yang muncul bersama Wé Nyiliq Timoq. Datang pula pengawal setia Batara Guru yang tak henti hentinya menyebutkan hadiah untuk I La Tiuleng.

Sungguh bahagia hati Manurungngé mendengar sesembahan yang diberikan kepada putra mahkotanya.

“Jika demikian, tak akan dihentikan keramaian di Alé Luwu ini. Barulah keramaian akan dihentikan setelah upacara pijak tanah bagi I La Tiuleng. Ia akan dibawa memasuki berbagai kampung, melihat beragam negeri, untuk memperluas wawasannya.”

Alangkah gembiranya orang-orang yang hadir mendengar perkataan Batara Guru. Berbagai keramaian pun tak pernah lagi berhenti. Sabungan ayam di Alé Luwu terus saja diramaikan oleh para penyabung yang tak henti-hentinya berdatangan. Sekitar tiga ratus ayam mati terbunuh setiap hari.