Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (6) Bab 10

 

 Batara Lattuq perlahan berdiri. Putra Mahkota, tempat bernaung segenap negeri di Watang Mpareq, itu bangkit bersama saudara-saudaranya. Suara puji-pujian orang banyak kembali melantun. Batara Lattuq berjalan mendekati kurungan ayam dan membukanya. Dengan lembut, ia menilik sisik ayam dan menimang-nimang taji yang akan dibelitkan di kaki ayam andalannya.

Sebagai lawannya, ditunjuklah La Pangoriseng. Keduanya kemudian bersamaan mundur mengasah tajinya, lalu membulangnya. Bersamaan pula keduanya saling memancing ayam masing-masing. Di gelanggang sabungan keduanya dinaungi payung emas.

Bagai orang Senrijawa yang turun ke dunia saja I La Tiuleng. Dengan rambut panjang terurai ditiup angin, ia melepas ayam di gelanggang yang dipagar dengan  bambu emas. Kulitnya yang bersih putih kekuningan seperti bersinar, beradu dengan cahaya gelang emas yang meliliti pergelangannya. Berkilau-an pula kalung emas yang menggelayut di dadanya. Di kakinya, gelang emas mengerincing membuat suasana kian hiruk pikuk.

Hampir bersamaan, La Pangoriseng juga mele-pas ayam andalannya. Begitu gesitnya ayam keduanya bertarung. Kedua ayam itu melompat setinggi kepala La Pangoriseng dan Batara Lattuq. Tak henti-hentinya ayam itu saling menendang kiri dan kanan. Bagaikan topan datang menerpa kepak sayap ayam itu. Namun hanya tiga kali lompatan saja, maka jatuh telentanglah ayam andalan La Pangoriseng.

Melihat ayamnya menang, Batara Lattuq pun nampak bersorak gembira. Ia lantas menangkap ayamnya, membuka tali pembulang kuning yang membalut taji andalannya. Ayam itu lalu diberikan kepada penjaga ayam kesayangannya. Sambil membuka ikat di kepalanya, Batara Lattuq berdiri, lalu menari meliuk-liuk. Ikat kepalanya dilambai-lambaikan. Jari tangannya dilentik-lentikkan dengan gemulai. Lengannya berayun, menggoyang-goyangkan gelang emas yang membelit.

Orang-orang yang menonton di bawah pohon asam bersorak-sorak pula menyaksikan kemenang-an Batara Lattuq. Begitu kerasnya teriakan mereka, hingga memekakkan telinga. La Pangoriseng segera meminta To Appareppaq untuk segera menyisihkan hadiah bagi kemenangan Batara Lattuq. Para  penjudi pun saling berbagi hasil taruhan. Bertaruh lagi I La Tiuleng dengan I La Lompongen. Keduanya sama-sama mengatakan ribuan taruhannya.

“Sebutlah adikku yang akan engkau pertaruh-kan,” seru I La Lompongeng.

Tanpa ragu-ragu I La Tiuleng pertaruhkan gembala yang berada di bawah pohon asam dan ribuan dayang-dayang berpakaian lengkap orang Rulletté yang masing-masing menjunjung lipatan kain sepuluh lembar.

Para penjudi pun saling memasang taruhan. Namun belum selesai para penjudi itu menyetujui taruhan masing-masing, kedua putra penguasa Alé Luwu itu telah mundur mengasah tajinya. Kedua-nya kemudian naik ke gelanggang, lalu saling meng-hasut ayam masing-masing. Tidak begitu lama, kedua ayam itu pun saling menghantam, menen-dang kiri dan kanan. Begitu beringasnya kedua ayam itu bertarung, hingga berlompatan setinggi kepala I La Tiuleng dan I La Lompongeng. Hanya tiga kali ayam berlompatan, terbunuhlah ayam andalan Batara Lattuq. Begitu gembira I La Lompo-ngeng melihat kemenangan ayam andalannya.

Meski agak kecewa, tetapi Batara Lattuq kembali bertaruh. Kali ini lawannya adalah La Temmal-lollong. Setelah mengatakan taruhannya keduanya mundur mengasah dan memasang taji. Usai membulang, keduanya langsung naik ke gelanggang dan melepas ayam sabungan. Hanya tiga kali ayam berlompatan, maka ayam kesayangan La Temmal-lollong pun terkapar.

Tersenyum saja I La Tiuleng tiada membuka ikat kepalanya melihat ayam andalannya menang. La Temmallollong kemudian berdiri dan meraih tangan Batara Guru lalu turun dari gelanggang. Ia pun memerintahkan untuk memberikan hasil taruhan kepada adiknya.

Melawan La Pattaungeng, Batara Lattuq mem-pertaruhkan ribuan peti gading yang berisi emas sawédi. Kali ini kedua ayam mereka mati setelah tiga kali saling menerjang.