Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (7) Bab 10

 Pertarungan pun terus berlangsung. I La Tiuleng selanjutnya bertarung dengan Datu La Émpeng. Sambil tersenyum ia memamerkan ayam kebanggaannya:

“Lihatlah kemari, kakanda La Émpeng, bentuk ayam kesayanganku massalissiq yang perkasa. Perhatikan pula matanya yang menyala dan tajinya yang melengkung seperti pedang.”

“Baiklah, adikku. Akan kuperlagakan massa-lissiqé dengan ayam jago andalanku, si merah dari léworeng yang menetas di Widéq Unruq. Engkau lihat pulalah warna dan bentuk tubuhnya. Lihat juga tajinya yang mengkilat tajam.”

Kedua pembesar bersaudara itu saling membang-gakan ayam mereka seraya mengelus-elus. Batara Lattuq dan  La Tenriémpeng pun saling memperta-ruhkan ribuan taruhan.

Tersenyum saja I La Tiuleng, lalu menyebutkan taruhannya:

“Dengarlah, wahai kakanda Datu La Émpeng. Akan kupertaruhkan ribuan pelayan yang masing-masing membawa bokor Seram yang dipadati kalung emas berukir. Ribuan penggembala yang mengayunkan cambuk emas dan menyelempang tali kencana yang setiap orang menggiring kerbau camara seratus ekor, akan kupertaruhkan pula. Kerbau itu diikat dengan kain sutera, lehernya dililit pula kalung emas, dan hidungnya dicocok dengan gelang emas yang berat. Kupertaruhkan juga, tiga ratus tembokor Seram berisi kain tenunan Melayu. Sekian ratus pula bakul yang ditempati kain sutera orang Todang Toja, akan menjadi milikmu.”

Tertawa terbahak-bahaklah Datu La Émpeng mendengar ucapan adiknya:

“Setengahnya saja, adinda yang engkau pertaruhkan, agar kuiyakan.”

Mendengar ucapan Datu La Émpeng, orang-orang yang hadir tertawa. Gemuruh suara mereka membahana. Lain halnya dengan Batara Lattuq. Mendengar ucapan kakaknya, membuatnya sedikit tidak senang dan seperti ditantang.

“Ingat kakanda! Tidak akan pernah aku menarik ucapanku. Tak pernah pula beranjak ayam andalan-ku, massalissiqé, dalam pertarungan.”

“Baiklah adinda. Tak ada yang meragukan keteguhan hati dan keberanianmu. Engkaulah yang akan disembah dan dipuja,” seru Datu La Émpeng menenangkan perasaan adiknya. Keduanya lantas tertawa, berderai bersama suara tawa saudara-saudaranya yang lain.

Setelah sepakat, pertarungan kemudian dilanjut-kan. Kedua ayam andalan itu pun berlaga. Saling menghantamkan kepak sayap dan menancapkan taji keduanya.

Di pinggir arena, Batara Lattuq dan Datu La Émpeng bersorak memberi  semangat kepada ayam masing-masing.

“Bertarunglah léworeng. Jangan biarkan engkau dimangsa massalissiqé. Berhati-hatilah dengan terjangannya.  Kalau engkau sampai terbunuh, ma-ka habislah semua harta Wé Saung Nriuq,” teriak Datu La Émpeng memberi semangat. Demikian pu-la dengan Batara Lattuq. Tak henti-hentinya ia berseru membangkitkan semangat ayam andalan-nya agar terus bertarung. Beberapa kali saling menghantam, terkaparlah ayam Datu La Émpeng. Bersuka-ria Batara Lattuq menyaksikan kemenang-an ayamnya.

Berbagai ayam andalan saudara Batara Lattuq dikeluarkan dan diadu di gelanggang sabungan. Gegap gempita suara tawa keturunan Manurung-ngé. Demikian pula dengan sorak-sorai orang-orang yang menyaksikan pertarungan tersebut.

Begitu senang pula nampak Manurungngé dan permaisurinya melihat anak-anaknya bermain dengan gembiranya di bawah naungan pohon asam yang rindang, hingga matahari pun bertambah tinggi.

Manurungngé kemudian bangkit dan mengajak semua anaknya meninggalkan gelanggang. Ia pun disambut dengan usungan kemilau, menuju ke istana diramaikan dengan adat kekahyangan orang Rualletté, disemaraki para penyeru semangat orang Toddang Toja.

    Tidak begitu lama rombongan itu tiba di dalam halaman istana. Perlahan usungan kemilau Manurungngé diturunkan. Menyingkap tudung usungan, Batara Guru kemudian berjalan menuju usungan anak-anaknya dan menggandeng tangan Batara Lattuq. Diinjaknya tangga kemilau, dan berpegang pada susuran, terus naik ke istana melangkahi ambang pintu, lalu duduk di singgasana berhias emas. 

La Pangoriseng bersaudara langsung pula duduk di samping peterana yang diduduki Manurungngé. Para pembesar yang memerintah negeri dan para penyabung yang kampungnya jauh di seberang laut-an juga dipersilakan naik ke istana.

Seperti gempa yang mengguncang, bunyi anak tangga yang dilewati para pembesar kerajaan serta undangan yang datang. Sebentar saja istana pun telah penuh sesak. Maka diaturlah makanan untuk makan siang para undangan. Para dayang-dayang mulai sibuk mengatur makanan yang akan disantap.

Laksana bara api berhamburan lengan mereka yang bergelang emas, menyajikan makanan, menayang gelas dan cangkir. Baki-baki tempat makanan juga telah diangkat. Talam emas untuk Batara Guru dan permaisurinya disajikan terlebih dahulu. Makanan yang disajikan untuk orang banyak juga tak dilupakan.

Setelah semua rampung, Manurungngé mulai membasuh tangannya dan membasuh pula tangan istrinya. Dibasuhnya pula jari tangan Batara Lattuq. Begitu lembut dan penuh wibawa Manurungngé mulai menyantap makanan yang ada di piringnya. Hampir bersamaan pula, para pembesar kerajaan yang memerintah negeri, dan para undangan lainnya, menyantap.

    Hanya tujuh kali menyuap, Batara Guru berhenti menyantap. Ia lalu berkumur-kumur membersihkan mulut. Melihat Manurungngé selesai makan, hampir bersamaan pula orang-orang berhenti bersantap. Usai makan, para tamu kembali turun ke gelanggang di bawah pohon asam. Saat itu juga ditutuplah acara keramaian, di Ale Luwu, yang dilaksanakan dalam rangka upacara pijak tanah Batara Lattuq. Namun sebelum para tamu kembali ke kampung halamannya masing-masing, mereka pun didupai sebagai tolak bala.