Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencermati Kembali Visi Kebangsaan Kita: Catatan dari FGD Mufakat Budaya Indonesia di Makassar


MENGGALI kembali berbagai nilai-nilai dari berbagai kebudayaan lokal (daerah) untuk dijadikan sebagai dasar dalam upaya untuk kembali menyusun format kebudayaan Indonesia, utamanya dalam konteks kebudayaan Bahari Indonesia, merupakan salah satu dasar dari dilaksanakannya Mufakat Budaya Indonesia (MBI III) yang akan dilaksanakan di Istana Bogor pada awal Agustus mendatang.


Untuk itu, serangkaian Focus Group Discussion (FGD) dilakukan, salah satunya yang dilaksanakan di Makassar, Kamis 24-25 Mei 2018 lalu yang merupakan bagian ketiga. FGD ini merupakan forum terbuka yang mempertemukan cendekiawan, rohaniwan, ilmuwan, budayawan, seniman utama Indonesia untuk menginventarisir masukan dan gagasan dari berbagai tokoh dan kalangan utama di seluruh Indonesia, yang nantinya menjadi bahan utama dalam Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III yang akan diselenggarakan awal Agustus 2018 mendatang.

Radhar Panca Dahana, sebagai salah satu inisiator, pengarah sekaligus penanggungjawab MBI memaparkan latar belakang dan tujuan dilaksanakannya MBI ke 3 ini. Menurut Radhar, MBI merupakan sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka forum didirikan di Jakarta pada medio Juni 2017. Forum ini lahir dari kegelisahan beberapa aktivis seni dan budaya pada situasi negeri.

Bersama Mantan Mentri Prof Muetia Hatta

“Pada mulanya pertemuan-pertemuan banyak dilakukan kalangan artis, diantaranya Sys NS, Olivia Zallianty, Joko Saw, Jockie Soerdjoprajogo, dan Ray Sahetapi yang akhirnya membentuk MBI. Pada mulanya yang banyak terlibat adalah para seniman, baik film, musik, rupa, sastra, tari dan teater, seperti Indro Warkop, Maya Hasan, Iwan Fals, Yenny Rahman, Nungky Kusumastuti, Mat Solar, Happy Salma, Marcela Zallianty, Ivan Slank, Erros Djarot, Amoroso Katamsi, Sujiwo Tejo dan beberapa kalangan lainya,” ungkap Radhar.

Namun akhirnya berkembangan, tambahnya, selain kalangangan seniman beberapa cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu pun ikut bergabung. Mereka melihat bahwa faktor budaya adalah fondasi penting dan vital dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Dari data yang dilansir panitia disebutkan MBI ini bertujuan dan menjadi ruang dialog untuk menginventarisir berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan serta menampung aspirasi dan masukan dari para pemangku kepentingan utama dan kelompok strategis dari wilayah timur Indonesia.

Bersama Artis Alivia Zalianty

Dijelaskan pula MBI ingin mencapai konsensus atau mufakat tentang dasar-dasar eksistensial bangsa Indonesia berbasis pada kenyataan kebudayaan dan peradaban yang ada sejak masa purba, termasuk proses akulturasi dengan kebudayaan dan kenyataan baru, baik yang berasal dari luar maupun sebagai akibat dari kemajuan teknologi.


Selain itu, memufakatkan kembali kenyataan modern bangsa Indonesia dalam format kenegaraan, beserta apparatus yang menyertainya, yang dapat memberi tanggapan secara adekuat dunia masa kini dan masa nanti untuk mewujudkan harapan dari rakyat keseluruhan sebagai pemangku utama negeri dan bangsa Indonesia. Dan memufakatkan kembali rumusan-rumusan dasar yang berguna dan diperlukan dalam penyelenggaraan kenyataan-kenyataan keindonesiaan baru sebagaimana tersebut atau termufakati dalam paragraf-paragraf di atas.

Acara FGD yang dilaksanakan di Makassar ini menghadirkan cendekiawan, rohaniwan, ilmuwan, budayawan, seniman utama Indonesia Bagian Timur. Mereka yang hadir yakni Prof Dr Qasim Mathar MA (Makassar), Prof. Dr. Rasyid Asba (Makassar), Idwar Anwar (Luwu), Ishak Ngeljaratan (Makassar), Prof. Dr. La Niampe (Kendari), Dr. Waode Sifatu (Kendari), Prof. Dr. Gazali Lembah (Palu), Dr. Rizali Djaelangkara, M.Si. (Palu), Kamajaya al-katuuk (Manado), Dr. Ivan RB Kaunang, SS., M.Hum. (Manado), Prof. Dr. Nani Tuloli (Gorontalo), Basri Amin, PhD. (Gorontalo), Dr. Hasbollah Toisuta (Maluku), Rudy Fofit (Maluku), Dr. Marcel Robot (NTT), Adolof Tapilatu, S.Sos (Papua). Hadir pula dari Jakarta Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Prof. Dr. Meutia Hatta dan Radhar Pan Dahana sebagai penggagas MBI.

Bersama Budayawan Radhar Panca Dahana


Acara yang dilaksanakan selama dua hari itu menghasilkan beberapa poin utama yang akan dibawa ke MBI III di Istana Bogor awal Agustus 2018 mendatang .

Adapun beberapa poin utama Hasil Mufakat FGD 2 TA-MBI III yang dilaksanakan di Makassar selengkapnya:

Hasil Mufakat FGD 2 TA-MBI III
Nilai-nilai Utama (Dasar) dalam (penyusun) kebudayaan Bahari Indonesia
  1. “(ke)bersesama(an)” yang muncul misalnya dari tradisi “kitorang basodara” = tat twam asi = di ria lai padaurane, dimana aku bereksistensi melalui modus mengintegrasikan dirinya dengan kamu: kamu adalah aku, ada aku dalam dirimu. Manusia adalah bagian dari kesatuan organik lingkungannya. Dari modus eksistensial inilah terproduksi sikap saling mempersaudarakan (mutualistic brotherhood=fraternite) dan pada akhirnya menciptakan nilai gotong royong.
  2. “Keberagaman dalam kesatuan”, perbedaan adalah hal yang terberi (given) juga kerjasama di antaranya tak terelakkan (taken for granted), terwujud dalam beberapa prinsip primordial, misalnya “Tan Hana Dharma Wangrwa” (terpecah-pecahlah itu, tak ada kebaktian yang mendua, tetapi satu jualah kesetiaan itu, tak peduli asal muasal), bhinneka tunggal ika, atau “aporomu yinda posaangu, apogaa yinda koolota” (berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak ada antara).
  3. “Akseptansi” menggantikan nilai “toleransi” karena kata “toleransi” masih menyimpan limit atau batas yang tidak boleh dilampaui, sementara “akseptansi” tidak terbatas ketika seseorang atau orang lain (the other/liyan) diterima totalitas dirinya ke dalam diri yang lain. Penerimaan total itu menjadi dasar gerak kehidupan dalam memanusiaskan yang lain. Ini nampak dalam pandangan orang Melayu, “semua (apapun darimanapun) berhak hidup bersama”, yang membuat kebudayaan kita tidak mengenal sikap-sikap chauvinistik dalam kelokalan atau xenophobic dalam menyikapi dunia luar. Seperti “Tau Mopotau Lo Tau” (manusia memanusiakan manusia), “Si Tou Mou Tu Mou Tou” (manusia memanusiakan orang lain)
  4. Rasa malu sebagai ekspresi kehalusan budi (budaya) bangsa Indonesia yang muncul dari sikap merasa bersalah, karena dengan nilai ini harkat dan martabat seorang manusia Indonesia dapat dipertahankan/ditingkatkan.
  5. Berbagi kasih, sebagai landasan keadilan bagi semua, tak hanya manusia tapi juga lingkungan
  6. Religiusitas dalam berbudaya atau “Ketuhanan yang berkebudayaan” (Soekarno)
  7. Praktik “demokratis” dimana pemimpin dipilih oleh sebuah dewan/majelis yang mewakili rakyat (para tetua, sesepuh, arif-bijaksana) berdasar asas/prinsip meritokratik tanpa peduli garis keturunan, asal muasal, agama, gender, dan lainnya (lintas etnik dan wilayah). Meritokratik/ natiokratik, tempokratik. Pemimpin didasari pada kapasitas dan kemaslahatan bagi rakyat. Tidak peduli siapa, dari mana, lahir di mana
  8. Pendidikan harus dibangun kembali dari dasarnya sebagai sebuah proses pembudayaan, dinamika budaya lokal menjadi basis utamanya dan tingkat literasi yang ditumbuhkan bukan hanya memakai bahan-bahan skriptural dengan memori sebagai basis keilmuan, tapi sejarah mental dan data spiritual menjadi basis perilaku atau tindakan sebagai hal lebih utama ketimbang ingatan (dalam filosofi dan praktik keilmuan Kontinental).
  9. Melakukan revivalisasi kekuatan “daerah” berbasis pada kekuatan lokalnya, karena “daerah” selama ini telah “dibunuh” oleh sistem (negara) yang sentralistis --sementara kegagalan daerah menjadi kontributor kegagalan negara.
  10. Kecerdasan kita menjadi artifisial memunculkan intelektual ter(keliru) (fake intellectuals) -- akibat adanya imperalisme pemikiran sejak PAUD yang merobotisasi manusia.
  11. Produk-produk kebudayaan Indonesia mutakhir perlu ditingkatkan kuantitas/kualitas/intensitasnya untuk mengatasi produk budaya baru yang merusak/destruktif.
  12. Demokrasi diterapkan secara asimetris, sebagaimana terjadi dalam praktik administrasi pemerintahan, dengan cara memberi ruang pelaksanaan demokrasi pada logos dan pengetahuan budaya masing-masing lokal.
  13. Kejujuran adalah nilai tertinggi yang mengangkat harkat dan martabat manusia, karena itu menciptakan rasa saling percaya di mana kebersesamaan menjadi konsekuensi lanjutannya.
  14. Meningkatkan kesadaran waktu dan ruang (historik dan teritorial) untuk menghindari generasi milenial dari pernyakit dislokasi-disorientasi.
  15. Nilai kasih sayang bahkan pada musuh sekalipun. (ed)

    Berita ini dimuat di  https://arung.co/sejarah-budaya/mencermati-kembali-visi-kebangsaan-kita-catatan-dari-fgd-mufakat-budaya-indonesia-di-makassar/