Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kompetisi Piala Dunia dan Kontestasi Politik

Oleh Idwar Anwar

Ajang Piala Dunia Sepakbola sedang berlangsung dan semua peserta yang lolos keajang bergensi dalam dunia persepakbolaan ini tentunya berlomba-lomba untuk memenangkan setiap pertandingan yang dihadapi, hingga tampil menjadi juara dunia.

Lantas apa yang mereka harus persiapkan? Diantaranya yang utama tentu saja adalah skill, kekompakan permainan tim, menonton sebanyak mungkin pertandingan dari lawan yang akan dihadapi untuk mencari kelemahan dan kelebihan, kemudian mengatur strategi yang jitu untuk mengalahkan lawan dan latihan semakin ditingkatkan menjelang pertandingan.

Di sini peran pelatih dalam mengatur strategi, tentu juga ditambah masukan dari berbagai pihak, termasuk pemain  dan salah satu yang menentukan kemenangan di lapangan. Berbagai alternatif strategi pun di siapkan. Sebab jika satu strategi dianggap belum bisa berhasil, maka digunakan strategi lain yang lebih jitu. Situasi di lapangan kemudian menjadi hal penting yang harus menjadi perhatian. Karena tentu saja lawan yang dihadapi juga akan menerapkan strategi jitu untuk memenangkan pertandingan.

Bagaimana dengan kontestasi politik, apakah sama atau mirip dengan kompetisi politik, khususnya Pilkada dan Pilpres? Tentu ada yang sama atau mirip dan tentu ada juga yang berbeda, sebab ranahnya berbeda pula.

Dengan sistem pemilihan di Indonesia yang berbiaya tinggi, tentu saja uang menjadi persoalan utama yang harus dipikirkan, sekaligus dipersiapkan. Ya, tentu saja dengan berbagai macam caranya, tergantung kreativitas calon bersama timnya, apakah itu individu atau pun kelompok/lembaga. Tanpa mempersiapakan dana yang besar, rasanya sulit untuk memenangkan pertarungan politik di negeri ini. Bahkan uang besarpun belum menjamin konstestan akan mampu memenangi pertarungan politik.

Ya, itulah realitas politik di Indonesia. Bukan hanya penyelenggaraan pemilihan yang berbiaya tinggi, namun orang ikut dalan kontestasi pun harus harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Pasca reformasi dan ditetapkannya Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/Walikota dan Gubernur) dan Pemilihan Presiden dilaksanakan secara langsung, tidak lagi dipilih oleh DPR atau DPRD, maka biaya politik tidak dapat dihindari semakin besar. Bahkan ketika Calon Anggota Legislatif dipilih melalui Suara Terbanyak, penggunaan uang secara besar-besaran pun makin massif.

Seperti itulah yang terjadi di Indonesia, meski penggunaan uang ini seperti kentut, kita bisa mencium baunya tapi tidak bisa dilihat dan dibuktikan. Meski dalam perkembangan selanjutnya, kentut ini terkadang sudah dibarengi dengan serbuk-serbuk basah (mencret), jadi wujudnya sesekali sudah dapat dilihat. 

Nah, apalagi yang harus disiapkan setelah dana sudah dianggap mencukupi? Mungkin diantaranya yang utama adalah skill, semacam kapasitas, kapabilitas, sebab isitas sudah ada. Lalu tentu saja kekompakan tim, mengetahui sebanyak-banyaknya informasi tentang lawan untuk mencari kelemahan dan kelebihan (tapi biasanya yang terbanyak adalah mencari kelemahan untuk menjadi sasaran serangan), dan kemudian mengatur strategi yang jitu untuk mengalahkan lawan.

Untuk poin kapasitas dan kapabilitas terkadang bisa sedikit dinafikan, yang penting poin isitas sudah terpenuhi apalagi kalau melimpah. Maka tidak heran beberapa kepala daerah, apalagi anggota DPRD di Kabupaten/Kota terkadang dinilai kurang -untuk mengatakan tidak- kapabel untuk menduduki jabatan tersebut. Namun karena memiliki isitas yang banyak bahkan melimpah, maka suara rakyat pun dengan mudah didapat untuk mendukungnya.

Bagaimana dengan kekompakan tim? Syarat ini tentu saja harus dimiliki juga. Seperti sepakbola kekompakan tim juga harus dibangun dan dijaga. Jika kekompakan tim bisa dijaga dengan baik, maka kita bisa memasukkan tim ke dalam tim lawan yng kurang kompak untuk menyusup. Ini salah satunya sangat erat hubungannya dengan strategi mengetahui sebanyak-banyaknya informasi tentang lawan untuk mencari kelemahan dan kelebihan.

Masalahnya, dalam kontestasi politik, khususnya Pilkada dan Pilpres, biasanya yang terbanyak menjadi perhatian adalah mencari kelemahan lawan untuk menjadi sasaran serangan. Bahkan hebatnya, jauh sebelum lonceng KPU dibunyikan sebagai penanda kontestasi dimulai, serangan terhadap kelemahan lawan telah lancar dilakukan. Bahkan kelebihan lawan bisa disupa menjadi kelemahan.

Namun yang mengerikan adalah bermunculannya khayalan tentang kelemahan lawan yang disulap seperti kenyataan. Dibuat benar-benar nyata dengan kemampuan teknologi saat ini dan disebar seluas mungkin. Para "PENGARANG KEBURUKAN" pun bermunculan tanpa mengenal suku, agama, atau ras. Bahkan orang yang 'katanya' beriman pun, terkadang juga ikut serta dan bahkan merasa asyik mangarang dan menyebarkan khayalan ke seantero nusantara, bahkan dunia memalui dunia maya. Bahkan yang lebih parah, orang-orang yang menganggap dirinya 'beriman' ini merasa bahwa khalayan dan tindakannya akan berbuah SYURGA.

Itulah sebagian realitas bumbu-bumbu kontestasi politik di Indonesia saat ini.  Kontestasi sepertinya dianggap sebagai jalan untuk saling menghabisi. Padahal sesungguhnya, kontestasi ini seharusnya saling memanusiakan. Tapi itulah yang terjadi. Berbagai strategi, -yang sebagian orang malah menyebutnya kecurangan- terus dilakukan. Bahkan ada semacam ungkapan bahwa siapa yang paling curang kadang itulah pemenangnya. Tentu saja ungkapan ini tidak semua benar, dan semoga saja tidak benar.

Tentu untuk hal ini sangat berbeda dengan yang disajikan pada Piala Dunia saat ini. Fair Play menjadi jargon utama dalam Piala Dunia. Say No To Racisme menjadi jualan untuk dihindari, bukan malah dimanipulasi, diobral, dipertontonkan, bahkan dijadikan jualan untuk menjatuhkan lawan, seperti yang terjadi pada beberapa Pilkada dan Pilpres.

Suku, agama dan ras seharusnya tidak menjadi sekat, apalagi menjadi jualan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik dalam Pilkada atau Pilpres. Sungguh tragis rasanya jika politik identitas digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik. Sebab akibatnya akan sangat lama. Perpecahan dan luka di masyarakat akan lama baru bisa sembuh. Sepuluh, dua puluh, atau bahkan ratusan tahun, jika hal itu terus terulang, luka itu akan terus terasa. Masyarakat pun akan terus saling mencurigai satu-sama lain. 

Pada Piala Dunia, wasit harus benar-benar profesional. Sebab jika melakukan kesalahan fatal, hukumannya luar biasa. Bahkan pada Piala Dunia saat ini, agar wasit tidak melakukan kesalahan fatal, sudah disiapkan layar tv tersendiri untuk melihat kejadian di lapangan dari dekat sebelum mengambil keputusan strategis, seperti pemberian hukuman finalty.

Fair Play menjadi hal yang diutamakan dalam kompetisi Piala Dunia. Tentu saja, sebab ini merupakan pertandingan yang mengutamakan skill, kerjasama tim dan strategi. Semakin kurang pelanggaran yang dilakukan, akan semakin indah dan fair kompetisi.   

Jepang menjadi salah satu peserta pada Piala Dunia 2018 saat ini yang merasakan dampak dari kurannya pelanggaran yang mereka lakukan. Meski semua nilainya sama dengan Senegal, namun Jepang diuntungkan sebab mereka paling sedikit melakukan pelanggaran selama melakukan pertandingan di Piada Dunia 2018 ini. Jepang merupakan salah satu negara yang memberikan pelajaran berharga dalam Piala Dunia kali ini.

Sungguh indahnya, jika itu juga terjadi pada kontestasi politik di Indonesia, utamanya pada Pilkada dan Pilpres. Tak ada konflik. Tak ada perang isu atau penyebaran ujaran kebencian atas nama suku, agama dan ras. Tak ada upaya saling menjatuhkan lawan dengan cara manipulatif, menyebar hoax, melabrak beretika dan tidak saling memanusiakan.

Sekali lagi bagi saya, kontestasi politik merupakan proses memenangkan pertarungan dengan tetap menjaga etika politik dan saling memanusiakan. Dengan begitu akan tercipta kompetisi yang berkualitas. Dampaknya tentu saja akan dirasakan oleh rakyat. Rakyat tentu akan belajar dari pemimpinnya. Dan pelajaran sebagai rakyat, sebelum menjadi pemimpin yang baik, jadilah rakyat yang baik. karena pemimpin lahir dari rakyat.