Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Woromporong dan Pariama

Oleh Idwar Anwar


Pada masa manurung1 ketika pintu langit belum ditutup, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda yang bernama Borong. Pemuda tersebut berwajah tampan dan berkulit bersih. Tubuhnya tinggi kekar dan tegap. Raut wajahnya berwibawa.
Meski memiliki perawakan yang cukup sempurna, ia tidak sombong. Bahkan sebaliknya, ia adalah pemuda yang rajin dan sangat sabar. Ia hidup sendiri dengan damai di daerah pegunungan di sekitar daerah Bua yang masih merupakan daerah kekuasaan Kedatuan Luwu.
Di lingkungannya yang masih merupakan wilayah dari desa Tana Rigella, tak seorang pun yang mengetahui bahwa Borong adalah penghuni langit yang diturunkan menjadi manusia di bumi. Pada mulanya Borong adalah sebuah gugusan bintang di langit.
Pada suatu masa, ia meminta kepada Datu Patoto’, penguasa langit, untuk diturunkan ke dunia menjadi manusia. Setelah sekian lama memohon, akhirnya keinginan Borong pun dikabulkan.
Patoto’é2 berkenan menurunkan Borong ke dunia dalam batas waktu yang telah ditentukan. Adapun ketentuan lain yang harus ditaati adalah bahwa jika kelak tinggal di dunia, ia tak lupa untuk menengadahkan tangan ke langit. Borong juga diminta untuk tidak menampakkan tanda-tanda bahwa ia adalah salah satu penghuni langit. Selain itu, ia tidak boleh sembarang mengeluarkan kesaktiannya. Borong harus benar-benar menjadi manusia biasa sampai ia kembali ditarik ke langit. Dan yang terpenting adalah kesaktian yang dimilikinya tidak boleh ada manusia yang mengetahuinya apalagi melihatnya. Jika itu terjadi, maka ia pun harus ditarik kembali ke langit.
Dengan penuh kepatuhan Borong menyetujui semua ketentuan Datu Patoto’. Ia pun kemudian diturunkan ke bumi, di tengah hutan belantara di bukit Buntu Minyya’.
 Hutan belantara tersebut merupakan wilayah Kemaddikaan Bua. Daerah Bua merupakan wilayah yang digelari Ana’ Tellué3 bersama Baebunta dan Ponrang. Pimpinan daerah Bua dan Ponrang disebut Maddika (Maddika Bua dan Maddika Ponrang), sedangkan Baebunta disebut Makole Baebunta.
Saat tiba di bumi, Borong memulai hidupnya sebagai manusia biasa. Ia kemudian membangun rumah, membuka lahan untuk berkebun dan menanam berbagai macam tanaman yang dapat dimakan untuk menyambung hidup.
Sebagai seorang penghuni langit, pada mulanya ia menggunakan kesaktiannya untuk melakukan berbagai pekerjaan yang bagi manusia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Namun setelah para penduduk juga telah mulai banyak membuka lahan tidak jauh dari kebunnya, ia pun kembali bekerja seperti manusia biasa.
Beberapa lama tinggal di dunia, Borong semakin merasa betah. Berbagai tanaman yang ditanamnya tumbuh subur. Tidak berapa lama beberapa tanamannya mulai berbunga dan berbuah. Sayur-sayuran yang ditanamnya tumbuh juga subur.
Setelah cukup waktunya, berbagai buah-buahan itu dijualnya ke pasar desa yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Karena kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran yang dibawanya sangat bagus, maka tidak berapa lama semua dagangannya dengan cepat terjual habis.
Hampir setiap hari dia melakoni pekerjaan tersebut dengan tekun. Borong bahkan tak pernah mengeluh hidup sebagai manusia normal. Padahal ia bisa saja menggunakan segala kelebihannya untuk mempermudah pekerjaannya. Namun Borong benar-benar telah menikmati kehidupan di bumi yang memang begitu lama didambakannya.

***

Di desa yang tak jauh dari tempat Borong tinggal, hiduplah sebuah keluarga yang sangat kaya. Kehidupan keluarga tersebut terbilang mewah untuk ukuran pada saat itu. Selain kaya, keluarga tersebut juga sangat terpandang dan disegani oleh penduduk desa. Hal itu dikarenakan, meski mereka memiliki kekayaan yang banyak, akan tetapi tidak membuat keluarga itu sombong dan memandang remeh keluarga-keluarga lainnya yang kehidupannya jauh lebih rendah dari kehidupan mereka. Keluarga itu malah dikenal sangat dermawan. Mereka suka membantu masyarakat desa yang butuh bantuan. Meski tidak diminta, keluarga itu dengan senang hati akan datang memberikan bantuan.
Keluarga itu dikarunia seorang anak perempuan yang mereka beri nama Pariama. Pariama adalah gadis yang tercantik di desa itu. Wajahnya bercahaya dengan kulit putih bersih. Tubuhnya semampai dengan rambut hitam tergerai. Tingkah lakunya sopan dan lemah lembut. Ucapan-ucapannya seperti sangat diatur, sehingga tidak melukai perasaan orang lain. Tak sedikitpun kata-kata kasar yang keluar dari bibirnya yang indah dan ranum.
Selain memiliki kecantikan fisik, Pariama juga sangat rendah hati. Ia tidak sombong dengan segala kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Ia juga tidak angkuh dengan kekayaan yang dimiliki orang tuanya. Ia sangat menghargai setiap orang. Tidak memandang tua atau muda, Pariama tetap memperlakukan mereka dengan baik.
Hampir setiap hari, seperti perempuan desa lainnya, ia masih kerap pergi ke sungai mencuci pakaian dan mengambil air untuk diminum. Bersama para gadis-gadis desa lainnya, Pariama senang bermain dan bersenda-gurau. Ia tidak sungkan-sungkan untuk bergaul dengan siapa saja yang menurutnya tidak akan menyeretnya pada perbuatan yang tercela. Pariama juga senang pergi berbelanja di pasar yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya
Memiliki anak yang sempurna secara fisik dan mempunyai perangai sangat sopan tentunya membuat kedua orang tuanya sangat bangga. Karenanya, keduanya sangat menyayangi Pariama.

***

Di pasar desa terdekat dengan tempat tinggalnya, suatu pagi, Borong sedang menjual sayur-sayuran dan buah-buahan hasil kebunnya. Seperti biasa, semua jualannya laku. Bergegas, ia lantas membenahi tempat jualannya. Borong segera beranjak hendak membeli beberapa barang yang dibutuhkannya.
Para penjual di pasar tersebut sangat mengenal Borong sebagai pemuda yang baik, tekun, rendah hati, sopan dan mampu menghargai siapa saja. Dalam berjualan, ia juga dikenal sangat jujur, sehingga banyak yang membeli barang dagangannya. Karena itu pula mungkin, jika ia berbelanja, para penjual juga tidak sungkan-sungkan memberinya harga murah.
Pagi itu, Borong benar-benar bahagia. Keinginannya untuk membeli barang yang telah lama direncanakannya telah tercapai. Baru saja ia hendak berbalik pulang, tanpa sengaja pandangannya bersitatap dengan mata seorang perempuan yang belakangan diketahuinya bernama Pariama. Di matanya perempuan itu begitu mempesona.
Cukup lama kedua muda-mudi itu larut dalam keterpakuan, hingga keduanya tersadarkan oleh hiruk-pikuk pasar. Tergeragap sejenak, Borong dan Pariama dengan malu-malu segera mengalihkan pandangan.
“Apa yang terjadi dengan diriku?” wajah Borong seketika terasa hangat. “Perempuan itu membuat perasaanku tak menentu. Siapa dia sebenarnya. Aku baru pertama kali melihatnya,” ucapnya agak tertahan. Borong nampak gelisah. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Apa yang dirasakan Borong ternyata juga dirasakan oleh Pariama. Wajahnya bahkan bersemu merah. Ia tak kuasa menahan rasa malu yang begitu cepat menyerang.
“Mengapa tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku?” ucapnya lirih. “Ah, siapa lelaki itu. Aku baru pertama kali merasakan hal seperti ini.”
Sesekali Pariama kembali melirik ke arah Borong. Demikian pula dengan Borong. Pandangan keduanya kembali bertemu. Begitu besarnya pesona yang menghinggapi keduanya, hingga Borong dan Pariama tak sanggup menguasai diri.
Karena grogi, Pariama dan Borong mengalihkan perhatiannya dengan mengutak-atik jualan yang ada di hadapannya. Namun keduanya masih tetap saling mencuri pandang, hingga Pariama dan Borong  tak lagi saling melihat akibat terhalangi oleh semakin banyaknya orang yang lalu-lalang di pasar.
Menyadari dirinya tak sempat berkenalan dengan perempuan yang telah mengambil begitu banyak perhatiannya, Borong segera beranjak dari tempatnya berdiri. Ia berusaha secepanya berjalan menuju tempat perempuan itu tadi berdiri. Namun, Borong tak lagi menemukan perempuan itu.
“Ah, kemana perempuan itu pergi?” Ia menggerutu dalam hari. “Kenapa aku tidak sempat mengenalnya.” Pandangannya terus mengembara ke seluruh sudut pasar mencari perempuan yang telah mencuri hatinya.
Karena belum juga menemukan Pariama, Borong lalu berjalan mengelilingi pasar, hingga merasa lelah. Karena tak sanggup lagi mencari, akhirnya Borong kembali ke rumahnya dengan gontai, meski wajahnya kerap tersenyum.

***

Kegelisahan ternyata menggelayuti perasaan keduanya. Setiba di rumah masing-masing, Pariama dan Borong kadang tersenyum sendiri. Bahkan ketika malam tiba, keduanya begitu sulit untuk memejamkan mata. Barong dan Pariama seperti tak jenuh membayangkan pertemuan yang tak terduga, namun berkesan itu.
Dilingkupi keinginan untuk saling bertemu, hampir setiap hari pasar, Borong semakin bersemangat berangkat ke pasar. Selain untuk menjual hasil pertaniannya, ia juga sangat ingin bertemu dengan perempuan yang setiap hari diimpikannya. Hingga suatu hari, Borong bertemu dengan cara yang tak ia duga sama sekali.
“Aduh.”
“Maaf, tidak sengaja,” kata Borong tergeragap ketika tanpa sengaja ia menabrak seseorang yang berada di sampingnya.
“Iya...iya, tidak apa-apa.” Terdengar suara perempuan.
Borong dengan cepat berbalik menatap orang yang ditabraknya. Ia merasa bersalah sekali telah membuat orang lain menderita. Apalagi dari suaranya, ia tahu orang yang ditabraknya itu adalah seorang perempuan. Demikian pula dengan Pariama. Ia dengan cepat berbalik menatap orang yang menabraknya.
Keduanya saling bersitatap. Cukup lama, hingga mereka tak menyadari lalu-lalang orang-orang yang berbelanja.
“Maaf, bukankah kita pernah bertemu?” tanya Borong semakin gugup. Ia baru sadar jika perempuan yang ditabraknya adalah perempuan yang selama ini dicari-cari.
“Eeee, iya... iya,” jawab Pariama terbata-bata.
“Maaf, kenalkan namaku Borong.” Dengan suara berat dan terputus-putus Borong berusaha memperkenalkan diri.
“Pariama.”
Tidak butuh waktu lama, keduanya menjadi akrab. Mereka bercerita apa saja sambil mengelilingi pasar.

***

Beberapa lama setelah pertemuan itu, keduanya makin sering bertemu. Borong bahkan kerap datang ke rumah Pariama. Karena memiliki perangai yang baik, orang tua Pariama juga dapat menerima kehadiran Borong. Bahkan mereka akrab dengan Borong.
Akhirnya, suatu hari Borong berniat untuk memperistrikan Pariama. Dengan penuh keberanian, walau ia tahu bahwa Pariama adalah anak orang kaya, ia memutuskan mengirim beberapa orang sebagai utusan untuk melamar Pariama.
Meskipun sedikit kaget, akhirnya lamaran Borong pun diterima. Terlebih, kedua orang tua Pariama juga telah mengetahui sifat Borong. Pariama yang ditanyai hanya diam dan tersenyum.
Sesuai dengan kesepakatan bersama, akhirnya perkawinan Pariama dan Borong dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Desa Tana Rigella tempat perhelatan pernikahan kedua mempelai tiba-tiba menjadi ramai oleh hiruk-pikuk berbagai jenis acara yang dilaksanakan. Di atas pelaminan, keduanya nampak bahagia.
Setelah acara perkawinan, Borong dengan sedikit ragu meminta kepada orang tua Pariama untuk membawa istrinya ke tempat tinggalnya. Walau berat karena akan berpisah dengan anak semata wayangnya, tapi akhirnya kedua orang tua Pariama mengizinkan juga anaknya pergi bersama suaminya. Pariama dan Borong juga berjanji akan kerap datang mengunjungi mereka.
“Kami akan senantiasa berkunjung dan menginap di sini. Setiap hari pasar, kami akan datang kemari,” janji Borong yang diangguki Pariama.

***

Kehidupan baru yang dijalani oleh Borong benar-benar terasa lain. Kehadiran seorang perempuan yang menemani hidupnya yang selama ini dilakoninya seorang diri membuat rumah yang ditinggalinya seperti hidup dan kian semarak.
Sebagai seorang istri, perangai Pariama tidak berubah. Ia tetap menjadi perempuan yang bersahaja, rajin dan patuh pada suaminya. Demikian pula dengan Borong. Pemuda itu ternyata juga mampu menjadi suami yang baik. Ia dapat membahagiakan istrinya lahir batin, meski dengan kehidupan ekonomi yang masih terbatas. Pariama sungguh merasakan kebahagiaan. Hari-hari dilaluinya dengan ceria.
Sejak mempunyai istri, Borong hampir tidak pernah lagi memasak makanan sebelum berangkat ke kebun. Beberapa tugas di rumah yang biasanya ia kerjakan telah diselesaikan oleh istrinya. Seperti hari-hari sebelumnya, hampir setiap hari Borong tetap berangkat ke kebun membersihkan dan menanam berbagai macam tanaman. Dan setiap itu pula, Pariama selalu datang membawa makan siang untuk suaminya.
Kebahagiaan hidup benar-benar mereka rasakan. Bagi Borong walau beban hidupnya bertambah, namun ia akan tetap bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya. Ia makin giat bekerja. Berbagai tanaman yang dapat dijual ditanamnya. Buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari pasar dibawanya untuk di jual.
Hari demi hari mereka lalui penuh canda. Tanpa terasa bulan terus berganti. Hingga tibalah saat musim kering datang. Saat itulah malapetaka mulai muncul, tidak terkecuali di tempat Borong dan istrinya tinggal. Tanaman yang ditanam begitu sulit tumbuh. Buah-buah tidak berbuah dengan baik. Bahkan banyak tanaman yang mati.
Akibat kebutuhan hidup yang kian mendesak, akhirnya Borong kadang-kadang mengeluarkan kemampuan yang ia miliki. Ia tak ingin melihat istrinya mengalami kehidupan yang sulit. Apalagi harus turun tangan membanting tulang mencari nafkah.
“Aku harus bertanggung-jawab sebagai seorang suami. Jika pun harus bekerja, istriku tidak akan kubiarkan bekerja keras untuk membiayai kehidupan rumah tanggaku,” gumannya.
“Aku harus menggunakan kemampuanku, namun secara sembunyi-sembunyi,” ucapnya dalam hati.
Karena tak ingin diketahui oleh siapapun, maka sebelumnya Borong berpesan kepada istrinya, jika hendak datang membawakan makanan ke kebun, ia harus membawa seekor anjing untuk menemani. Hal ini dimaksudkan agar sebelum Pariama tiba, Borong telah mengetahui bahwa istrinya itu telah datang dengan hanya mendengar gonggongan anjingnya. Dengan demikian, ia dapat segera kembali bekerja normal seperti manusia biasa.
“Adinda, aku mohon selama musim kemarau ini, jika kamu datang membawa makanan untukku, maka bawalah anjing kita untuk menemanimu,” kata Borong suatu hari.
“Kenapa aku harus membawa anjing? Bukankah selama ini aku baik-baik saja. Tidak seorang pun atau seekor binatang pun yang mengganggu.”
“Iya. Aku tahu. Tapi aku merasa di musim kemarau ini banyak hal yang tidak terduga bisa saja terjadi. Aku khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap dirimu.”
“Iya Daeng4. Dari pada hanya tinggal di rumah, sebaiknya anjing kita itu menemaniku jika pergi ke kebun,” jawab Pariama dengan tenang dan tak ingin bertanya lagi.
Walaupun merasa aneh dengan keinginan suaminya itu, akan tetapi sebagai istri yang baik, ia selalu harus taat pada perintah suaminya. Sejak itu pula, jika pergi ke kebun, Pariami senantiasa ditemani oleh sang anjing.
Sejak saat itulah Borong leluasa menggunakan kemampuannya. Ia sanggup membersihkan kebun dan menanam berbagai macam tanaman dengan cepat. Bahkan tanaman yang ditanamnya juga senantiasa tumbuh dengan subur, karena ia mampu menghasilkan air dari tangannya untuk menyiram tanamannya.
Seperti tak terimbas kemarau, Borong tetap bekerja dengan giat. Ia senantiasa dapat menyelesaikan pekerjaan kebunnya dengan baik dan cepat. Kebiasaan itu berlangsung setiap hari. Hasil kebun mereka pun hampir tak mengalami perubahan yang berarti.
Akan tetapi, berbeda dengan hasil tanaman Borong yang tidak mengalami perubahan yang berarti, beberapa tetangga mereka telah berkeluh kesah melihat tanaman mereka sulit tumbuh. Melihat kondisi itu, terkadang muncul pula berbagai pertanyaan di benak Pariama. Namun ia tetap berusaha menepis pikiran-pikiran lain terhadap suaminya.
“Apa sebenarnya yang terjadi pada diri suamiku. Mengapa setelah memasuki musim kemarau ini tiba-tiba ia menjadi aneh,” tanya Pariama dalam hati.
Akibat penasaran, suatu hari Pariama memberanikan diri untuk bertanya kepada suaminya tentang apa yang sebenarnya terjadi selama ini.
Mendengar pertanyaan istrinya, Borong sedikit terkejut. Hatinya seketika bergejolak tak tahu harus berkata apa. Ia tak menyangka istrinya akan mengungkit kembali masalah tersebut. Ia bingung untuk menjawabnya. Belum saatnya ia harus berterus-terang, sebab ia ingin hidup di bumi sampai tua. Apalagi ia sungguh-sungguh telah jatuh cinta pada Pariama dan tak ingin meninggalkan perempuan itu.
“Apa yang harus aku katakan kepada istriku,” tanyanya dalam hati.
Akhirnya, setelah menata kembali perasaannya, ia memberanikan diri berkata, “Sudahlah. Aku mohon masalah ini jangan diungkit-ungkit lagi. Yang jelas aku mendapatkan semua itu bukan dengan jalan yang tidak baik,” jawab Borong berusaha mengelak.
“Tapi mengapa, tanaman-tanaman lain sulit tumbuh? Sementara tanaman kita selalu tumbuh subur dan berbuah dengan baik.”
“Tidak seperti itu juga. Ada juga tanaman kita yang mati. Dan ada juga tanaman di kebun-kebun tetangga yang tumbuh dengan baik, sebab mereka berusaha menyiramnya dengan baik,” jawab Pariama sembari menatap wajah istrinya yang nampak resah.
“Tapi mengapa jika datang ke kebun, aku harus datang bersama anjing. Bukankah selama ini aku biasa berjalan sendiri?”
“Bukankah dulu sudah aku jelaskan. Ini untuk sementara saja. Tapi jika memang kamu merasa tidak enak, mulai besok kamu tidak perlu lagi membawa anjing itu,” jawab Borong sambil mengelus rambut istrinya dengan lembut.
Pariama yang mendapat perlakuan itu, menjadi luluh hatinya.
“Baiklah. Aku akan menuruti permintaan kanda,” ucapnya lembut. Selarik senyum tergores indah di wajahnya.




***

Waktu terus berlalu. Meski telah mendapat penjelasan dari suaminya, namun tanda tanya besar masih memenuhi benak Pariama. Walau demikian, ia tetap melakukan aktifitasnya sebagai seorang istri dan berusaha melupakan keanehan yang kerap ia rasakan pada diri suaminya. Terlebih jika melihat tanaman yang dihasilkan dari kebun suaminya, tanda tanya besar itu kian bertumpuk dalam benaknya. Padahal tanaman-tanaman di beberapa kebun tetangganya sangat sulit tumbuh, apalagi berbuah. Tanaman mereka bahkan banyak yang mati akibat kekurangan air.
Akan tetapi, walau terus berusaha keras membuang rasa ingin tahunya, ternyata akhirnya ia tidak tahan juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa suaminya berpesan agar jika ke kebun harus membawa anjing.
“Aku harus tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada suamiku,” tegasnya dalam hati.
“Tapi... kalau suamiku tahu. Dia pasti akan marah besar karena telah melanggar pesannya. Begitu juga sebaliknya, aku telah melanggar janji untuk menuruti permintaannya,” ucap Pariama ragu.
Karena semakin tidak tahan melawan rasa ingin tahu yang membelit dirinya, Pariama akhirnya memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rasa penasaran telah membutakannya untuk kemudian melanggar perintah suaminya.
Hingga suatu hari, seperti biasanya, menjelang tengah hari, Pariama sudah siap mengantarkan makanan untuk suaminya. Akan tetapi sebelumnya, anjing yang biasa menemaninya pergi ke kebun diikatnya di kolong rumah.
Dengan penuh tanya di benaknya, Pariama berjalan sendiri menuju kebun. Ketika jarak kebun sudah tidak begitu jauh, ia memperlambat langkahnya. Perlahan-lahan ia mengendap-endap dan mencari tempat persembunyian yang baik dan sulit diketahui oleh suaminya. Pariama benar-benar penasaran dan hendak mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan suaminya.
Dari tempat persembunyiannya itulah, Pariama dapat melihat suaminya dengan jelas. Ia tersentak kaget. Saat itu, dilihatnya Borong sedang bekerja dengan menggunakan banyak tangan yang keluar dari tubuhnya. Seakan tak percaya, Pariama lantas mengusap-usap matanya. Tapi apa yang dilihatnya ternyata tak berubah. Ia sungguh tak mampu berkata-kata lagi.
Walau sembunyi-sembunyi, Borong dapat mengetahui apa yang telah dilakukan istrinya. Mengetahui istrinya telah melakukan tindakan yang melanggar pesannya bahkan dilakukan dengan sengaja, membuat Borong sangat murka.
“Engkau telah melanggar pesanku. Karena perbuatanmu itu, aku kini tidak bisa lagi menetap di bumi. Aku harus naik ke langit dan kembali menjadi bintang sesuai dengan kehendak dewata,” ucap Borong berusaha menahan amarahnya tatkala Pariama telah berada di hadapannya.
Mendengar ucapan suaminya, Pariama terperanjat. Menyadari kesalahannya, ia pun mengiba-iba memohon ampun. Ia benar-benar merasa bersalah. “Ampuni aku. Aku memang bersalah telah melanggar perintahmu,” ucapnya dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari kelopak matanya yang bening.
“Sudahlah. Aku tahu engkau perempuan yang baik. Namun engkau telah dikalahkan oleh perasaan curiga dan penasaranmu. Padahal aku telah mengatakan bahwa apa yang aku dapatkan bukanlah sesuatu yang berasal dari perbuatan tercela,” jawab Borong seraya berusaha menenangkan perasaannya.
Ia tahu kehidupan di bumi ini tak lama lagi ia tinggalkan. Berbagai kenangan akan hilang begitu saja. Ia akan kembali ke langit dan menjadi bintang.
“Tenangkan dirimu. Semuanya telah terjadi. Meski kurasakan begitu berat untuk pergi, tapi sesuai dengan perjanjianku, ketika manusia telah melihat wujud asliku, maka aku harus kembali ke langit,” jawab Borong penuh kesedihan. Ia tak menyangka sifat istrinya akan berubah dan tidak patuh lagi terhadapnya. Kesedihan benar-benar menggelayuti kesadarannya, sebab sebentar lagi akan meninggalkan bumi. Meninggalkan istri yang begitu dicintainya
Dalam kesedihan, tubuh Borong seketika menjelma sinar terang yang kemudian dengan cepat melesat ke angkasa. Ia naik ke langit Timur dan kembali menjadi bintang.
Melihat suami yang begitu dicintainya pergi, Pariama merasakan kesedihan yang teramat menyakitkan. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Ia lantas berlari menuju tepi laut (Timur) dimana ia berharap dapat kembali melihat suaminya. Siang dan malam dilaluinya dengan tangis. Kejadian itu bahkan berlangsung hingga berbulan-bulan. Setiap saat ia berharap agar suaminya sudi kembali, mengobati kerinduannya yang kian menggerogoti.
Dalam penantian yang tak berujung, Pariama terus berdoa agar ia juga dijadikan bintang. Dengan begitu, ia berharap dapat bertemu kembali dengan suaminya. Setelah sekian lama memohon, Pariama akhirnya dijelmakan menjadi bintang dan berangkat menuju langit pada suatu siang.
Ia sangat berharap kelak, berjuta kerinduan ingin ia hempaskan di pelukan suaminya. Selaksa kenangan ingin ia hidupkan kembali kala pertemuan itu benar-benar terjadi. Pariama pun melayang tak tentu arah. Ia tak tahu harus kemana mencari suaminya, hingga ia terdampar di tempat yang ternyata terpisah dan jauh dari suaminya.
Sesuai ketentuan Dewata, ia tidak mungkin lagi kembali dan ditakdirkan untuk tidak dapat bertemu dengan Borong di langit. Dan jika bertemu, keduanya akan selalu dipisahkan dalam jarak yang sangat jauh, sehingga mereka hanya bisa saling melihat dari kejauhan.
Di langit, Borong juga sangat merindukan istrinya. Namun sejak istrinya terdampar dan ditetapkan oleh Dewata untuk tidak bisa bertemu, apalagi berdekatan dengannya di langit, Borong hanya bisa pasrah. Sesuai ketentuan Dewata, jika Borong muncul di langit, maka istrinya tidak akan nampak. Apabila kedua menampakkan diri di langit, maka mereka pasti akan selalu berseberangan; jika Borong di Timur, maka Pariama di Barat. Begitu pula sebaliknya. Mereka hanya bisa saling memandang dari jauh. Harapan keduanya untuk berkumpul kembali di langit pun pupus. Hanya kenangan dan air mata yang tersisa.
Oleh masyarakat Luwu (Sulawesi Selatan) di kemudian hari, Borong yang telah kembali menjelma menjadi bintang kemudian dikenal dengan nama bintang Worongporongngé. Sesuai dengan waktu naik (musim kemarau) dan tempatnya di langit (Timur), maka bila bintang ini muncul di Timur, menandakan akan bertiup angin kencang. Kemunculan bintang ini di Timur juga biasanya menadakan mulainya musim angin Timur atau musim kemarau. Namun apabila gugusan bintang ini muncul di ufuk Barat, maka peristiwa itu menandakan mulainya musim angin Barat atau musim hujan. Adapun Pariama dikenal dengan nama bintang Pariama.
Selain itu, oleh sebagian masyarakat Luwu juga mempercayai bahwa air mata keduanya itulah yang kemudian menjadi hujan, apabila keduanya muncul atau Borong muncul di Barat. Badai kerinduan yang melanda keduanya menjelma angin kencang di bumi apabila keduanya muncul di langit atau jika Borong muncul di langit Timur. Karena Borong mempunyai banyak tangan, sehingga di langit, gugusan bintang Worongporongngé terdiri dari 7 bintang.
Adapun air mata Pariama yang menangis berbulan-bulan telah menjelma sungai-sungai kecil dan sumur yang di kenal dengan nama Bubung Dewata. Bubung dewata ini kini terdapat di hulu sungai Bua yang bernama Salo Ra’paq. Sementara di gunung tempat tinggal Pariama dan suaminya yang dikenal dengan nama Buntu Minyya’ masih terdapat peninggalan berupa nyiru, onggokan padi dan lesung yang semuanya sudah menjadi batu.
Di samping itu, oleh sebagian masyarakat Luwu masih ada yang mempercayai bahwa bila kekeringan melanda, mereka bisa datang ke bubung dewata untuk memohon hujan kepada Pariama dan Borong (Worongporongngé). Mereka mengadakan sebuah ritual dengan cara memukul-mukul buah kalobe (buah yang berbentuk angka delapan, yang biasa digunakan sebagai tempat untuk mengangkat air) dengan maksud memanggil kedua bintang itu muncul.

Catatan:

1  Dalam pandangan masyarakat Luwu Kuno, masa manurung adalah masa dimana pintu langit belum ditutup. Mahluk langit masih bisa bolak-balik turun ke bumi, demikian pula sebaliknya. Karenanya, segala sesuatu yang turun dari Boting Langi’ (Dunia Atas) lalu menjelma ke bumi disebut manurung.
  To Manurung untuk menyebutkan manusia yang turun dari Boting Langi’.
2  Nama lain Datu Patoto’. Nama lainnya yakni La Patigana, Patoto’é, To Palanroé, Aji Patoto’, Batara Wira, atau Sangkuru Wira.
3  Ana’ Tellue merupakan Kepala Pemerintahan di Kedatuan Luwu yang bisa dianggap setingkat dengan gubernur.
4  Panggilan penghormatan kepada orang yang lebih tua (kakak).