Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Datok Pattimang dan Masuknya Islam


Oleh Idwar Anwar


Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di kerajaan Gowa-Tallo pada awal abad ke 17, ia bersama dua rekannya yakni Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu mula-mula menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Meski demikian ketiganya juga mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan utamanya raja Gowa-Tallo. Namun, mereka menemui kendala yang cukup besar. Karenanya, ketiganya pun merencanakan untuk mencari kerajaan atau daerah lain untuk menyebarkan agama Islam.
Namun sebelum mereka berangkat, ketiganya terlebih dahulu bermusyawarah untuk merencanakan langkah yang terbaik yang harus dilakukan. Dalam pembicaraan, mereka teringat nasehat raja di Pulau Kalimantan yang sempat mereka disinggahi ketika menuju pulau Celebes. Ketika itu, sang raja menyarankan bahwa jika ingin menyebarkan agama Islam di jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan terlebih dahulu adalah mengislamkan Raja Luwu. Sebab menurut sang raja, Luwu merupakan kerajaan yang tertua dan disegani.
Akhirnya mereka sepakat untuk berangkat ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa ketika itu adalah La Pattiware Daeng Parabbung atau yang dikenal juga dengan nama Patiarase (1587-1615). Mereka begitu yakin bahwa dengan mengislamkan raja Luwu, maka akan lebih mudah mengislamkan kerajaan lain yang ada di sekitarnya.
Dipilihnya Luwu sebagai tujuan utama penyebaran agama Islam di jazirah Sulawesi, selain karena kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua dan disegani, kebudayaan Luwu juga merupakan akar kebudayaan di Sulawesi Selatan. Bahkan oleh masyarakat Bugis Kuno, Luwu diyakini merupakan tempat munculnya manusia pertama yang membawa kepercayaan dan membangun peradaban di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan.
Dalam penyebaran agama Islam di Luwu, mereka sepakat untuk terlebih dahulu memperkuat dalam hal ketauhidan. Sebab masyarakat Luwu ketika itu sangat berpegang pada kepercayaan Dewata Seuwaé yang merupakan kepercayaan pra-Islam yang mempercayai adanya kekuatan yang tunggal.
Dengan membawa bekal seadanya berangkatlah ketiganya menuju kerajaan Luwu. Dalam perjalan mereka banyak bertemu dengan orang-orang yang merasa heran, terutama ketika melihat ketiganya sedang melakukan shalat. Namun, dengan pemahaman yang diberikan ketiganya, maka disepanjang perjalanan banyak orang yang berhasil memeluk Islam. Demikian pula ketika mereka berhasil mengislamkan Tandi Pau, Maddika Bua (Penguasa Bua) yang merupakan salah satu daerah yang sangat berpengaruh di Kedatuan Luwu.

***

Setelah melalui perjalanan panjang, dan diantar oleh Maddika Bua, tibalah Datok Sulaiman bersama kedua temannya di daerah Pattimang yang merupakan pusat Kerajaan Luwu. Setelah berbenah seadanya, mereka langsung menuju ke istana untuk bertemu Datu Patiarase. Tidak berapa lama menunggu, Khatib Sulaiman akhirnya dipersilahkan menghadap raja.
Di dalam istana, Raja Pattiware sedang duduk di singgasananya menunggu kedatangan Khatib Sulaiman. Ia sedikit gelisah. Hatinya terus bertanya-tanya, siapa gerangan yang akan menghadapnya. Apa pula hubungan ketiga orang itu dengan Maddika Bua.
Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba seorang petugas istana  menghadap dan melaporkan kedatangan rombongan Datok Sulaiman yang diantar langsung oleh Maddika Bua. Di hadapan raja, dengan takzim mereka memberi hormat. Raja Pattiware yang dikenal sebagai raja yang bijaksana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk.
“Silahkan duduk!” suaranya lembut, namun penuh wibawa.
“Terima kasih.”
“Iye Puang1.”
“Addampengengnga Opu2. Sebelumnya aku mohon maaf, sebab telah lancang membawa ketiga tamu ini untuk menghadap Opu,” ucap Maddika Bua dengan suara agak berat.
Mendengar ucapan Maddika Bua, Pattiware hanya tersenyum seraya pandangannya mengamati para tamunya. Tatapannya ramah namun penuh wibawa. Datok Sulaiman dan kedua temannya juga tersenyum.
“Tidak apa-apa. Yang penting kedatangan mereka akan memberikan nilai yang baik kepada masyarakat Luwu kelak.”
“Insya Allah,” jawab mereka hampir bersamaan.
Mendengar kalimat tersebut, La Pattiware terkejut. Terlebih kalimat tersebut juga diucapkan oleh Maddika Bua. La Pattiware sejenak terdiam. Ia berusaha mengatasi gejolak hatinya yang tak menentu oleh terjangan pertanyaan yang bertubi-tubi datang. 
Melihat raut wajah keheranan Datu Pattiware, Maddika Bua segera berusaha menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Ampun Opu, kedatangan kami kemari untuk menyampaikan kabar baik tentang agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Sebelumnya, hamba ingin memperkenalkan ketiga orang yang menemani hamba menghadap Opu,” katanya cepat, meski dengan suara agak berat.
“Yang duduk di sebelah kanan hamba bernama Khatib Sulaiman. Ia merupakan pimpinan rombongan,” sambung Maddika Bua cepat. “Adapun yang duduk di sebelah kiri hamba ini bernama Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu,” katanya lagi seraya menunjuk keduanya. Mereka berasal dari Minangkabau.”
Khatib Sulaiman, Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu yang diperkenalkan segera memberi hormat.
Datu Patiarase menatap ketiganya dengan mimik serius. Melihat wajah ketiga tamunya, semakin banyak pertanyaan yang menggelayut di benak Patiarase. Meski demikian, seperti ada getaran halus yang merambati kesadarannya. Membuat hatinya sejuk dan damai. Ia seakan menemukan oase di tengah padang gersang. 
“Maafkan kami Tuan jika kehadiran kami di istana ini mengganggu aktifitas Tuan. Sebenarnya maksud hamba datang ke negeri ini, menghadap raja, untuk menyampaikan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sebuah agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta.”
“Apa nama agama yang Tuan bawa?”
“Islam. Agama yang mengajarkan manusia untuk menyembah hanya kepada Allah SWT....”
Khatib Sulaiman lalu menjelaskan dengan mendetail tentang agama Islam yang dibawanya. Raja Pattiware terlihat sangat kagum terhadap ajaran yang dibawa oleh tamunya itu. Ia seperti tak berani memotong pembicaraan Khatib Sulaiman. Pattiware menyimak dengan seksama pemaparan Khatib Sulaiman tentang Islam. Dengan tenang pula Datok Sulaiman mengemukakan argumen-argumen tentang kebenaran Islam, hingga ia benar-benar merasa cukup.
“Terus terang aku sangat kagum dengan ajaran yang Tuan bawa. Tapi bolehkah aku bertanya, apakah sudah ada raja di jazirah Celebes ini yang memeluk agama Islam?
“Belum ada, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Namun beberapa masyarakat di pulau Celebes ini, seperti masyarakat Gowa dan beberapa masyarakat kerajaan lainnya telah memeluk agama Islam,” jawab Khatib Sulaiman menambahkan.
“Apakah kalian belum pernah membawa agama Islam kepada raja-raja mereka?”
“Sudah, Tuan. Namun sampai saat ini belum ada satu raja pun yang mau memeluk agama Islam
 “Lantas mengapa kalian membawa agama yang besar ini ke Luwu. Bukankah Luwu hanya kerajaan lemah dan tidak berwibawa,” tanya Pattiware merendah.
“Maaf, Tuan. Justru pengetahuan kami sangat terbalik dengan penuturan tuan. Sebelum kami berangkat ke Pulau Sulawesi, kami sempat singgah di Pulau Borneo. Raja mereka mengatakan, jika kami hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Celebes, maka kami diharapkan agar sebaiknya terlebih dahulu menghadap kepada raja Luwu. Sebab menurut raja itu, Luwu merupakan kerajaan tertua dan sangat berwibawa di Pulau Celebes.”
Mendengar penuturan tamunya, Pattiware hanya tersenyum. Ia memang telah tertarik dengan agama yang diperkenalkan oleh tamunya tersebut. Apalagi, konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep ketuhanan masyarakat Luwu.
Meski demikian, ia tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud menguji kemampuan Khatib Sulaiman. Ia menganggap bahwa orang yang membawa sebuah agama besar, pastilah juga memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Bukan hanya menguasai agama yang dibawanya, tapi ia harus memiliki kekuatan untuk menyebarkan agama itu.
Dengan tutur kata yang sangat sopan, Pattiware kemudian mengemukakan maksudnya untuk menguji kemampuan yang dimiliki Khatib Sulaiman. Dengan senyum bersahabat dan tutur kata yang halus pula, Datok Sulaiman meluluskan permintaan Pattiware.
Dalam pertarungan ilmu ini telah disepakati bahwa apa pun yang dilakukan oleh raja, maka akan dilakukan pula oleh Khatib Sulaiman dan begitu pun sebaliknya. Jika Khatib Sulaiman sanggup mengikuti semua yang dilakukan oleh raja, maka raja dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk agama Islam. Namun, jika ia tidak sanggup, maka mereka harus segera meninggalkan negeri Luwu.

***

Sesuai dengan kesepakatan, tibalah saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan. Masyarakat yang telah mengetahui tentang adanya pertarungan kesaktian tersebut berbondong-bondong datang ke lapangan depan Istana untuk menyaksikan pertarungan antara raja mereka dengan Khatib Sulaiman. Di sebuah lapangan luas dekat istana, keduanya saling berhadapan. Berbagai peralatan untuk pertarungan juga telah disiapkan.
Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai kesepakatan, Pattiware yang lebih dahulu maju. Dengan tenang ia mengambil sebutir demi sebutir telur ayam dan disusunnya satu demi satu di atas telapak tangan kanannya. Sedang tangan kirinya terus menaikkan telur-telur yang disediakan. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Raja Pattiware terus menambah telur hingga telur yang disediakan habis. Jumlah telur yang tersusun tersebut berjumlah 300 butir, sehingga telur yang berada di tangan La Pattiware tingginya telah melampaui pohon kelapa.
Melihat kejadian itu, rakyat Luwu yang menonton pertarungan itu bersorak menyaksikan kekuatan raja mereka. Suara-suara kekaguman berderai dari setiap bibir rakyat Luwu. Di antara mereka bahkan ada yang melompat kegirangan.
Setelah melakukan tugasnya, Pattiware hanya tersenyum. Ia tahu apa yang dilakukannya ini dapat pula dilakukan oleh Khatib Sulaiman. Sebelumnya, ia memang telah mengukur tingkat ilmu yang dimiliki oleh Khatib Sulaiman. Ia bisa merasakan kekuatan besar yang dimiliki oleh pembawa agama Islam itu. Namun, ia memang hanya ingin menguji keyakinannya.
Melihat kemampuan yang dikeluarkan oleh Datu Luwu, Khatib Sulaiman juga melakukan hal yang serupa. Dengan membaca basmalah, ia mulai mengambil telur satu persatu dan disusun di atas tangan kirinya. Tak begitu lama telur yang telah disediakan itu pun habis. Kejadian ini begitu mencengangkan seluruh rakyat Luwu yang menonton. Mereka seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal yang sama. Bahkan Khatib Sulaiman menarik beberapa butir telur di antara susunan telur tersebut tanpa sedikitpun telur-telur itu terjatuh. Telur-telur tersebut seolah digantung dengan benang yang tak kelihatan.
Melihat hal itu, Pattiware juga melakukan hal yang sama. Dengan tenang ia lantas menarik satu demi satu telur di antara telur-telur yang masih tersusun rapi. Meski dari susunan telur-telur itu telah terdapat beberapa celah, sebab beberapa butir telur telah dikeluarkan secara acak, akan tetapi telur-telur itu sedikit pun tidak bergoyang apalagi jatuh. 
Karena mampu melakukan apa yang dilakukan oleh raja Luwu, maka pertarungan kembali diteruskan. Kali ini dua buah ember berisi air diletakkan di atas sebuah meja. Adu kekuatan kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa menumpahkan isinya.
La Pattiware melangkah dengan tenang menuju ember yang telah disiapkan. Sejenak ia menatap Khatib Sulaiman dan tersenyum seolah meminta izin.
“Silahkan, Tuan!” Khatib Sulaiman mempersilahkan.
Pattiware mengangguk sejenak dan perlahan ia mulai melakukan adu ilmu tersebut dan berhasil. Ember yang berisi air tadi dibalik, dan perlahan ia menganggkat ember tersebut. Dan luar biasa, sebab air yang ada di dalamnya tidak berubah sedikit pun. Bahkan seperti kue yang dicetak.
Apa yang dirasakan oleh Pattiware ternyata juga dirasakan oleh Khatib Sulaiman. Khatib Sulaiman juga merasakan ada kekuatan yang teramat besar yang dimiliki oleh Pattiware.
Seraya menatap Pattiware, Khatib Sulaiman melangkah mendekati ember yang telah dipersiapkan untuknya.
“Silahkan Tuan.”
Dengan kekuatan yang dimiliki dan izin Allah, Khatib Sulaiman juga mampu melakukan hal yang sama. Bahkan ia dengan berhati-hati berhasil membelah air yang telah berbentuk cetakan itu dan memisahkannya, seperti memisahkan benda yang telah terpotong.
Melihat kejadian itu, Pattiware lantas melakukan hal yang sama. Dengan lembut, ia memisahkan air yang seperti cetakan yang berada di depannya. Adapun air yang telah terbelah tersebut tidak tertumpah sedikit pun, meski air itu kini tak berwadah.
Kekuatan yang dipertontonkan keduanya benar-benar menakjubkan orang-orang yang hadir di tempat tersebut. Tepuk tangan membahana. Kekaguman masyarakat Luwu semakin besar pada raja Pattiware dan Khatib Sulaiman.
Tanpa menunggu aba-aba, Khatib Sulaiman kemudian kembali menggabungkan air yang telah terbelah itu dan memasukkannya ke dalam ember. Dan seperti semula Pattiware juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling menatap dan tersenyum penuh persahabatan.
Adu kekuatan antara La Pattiware terus berlangsung. Berbagai kemampuan yang mereka miliki terus dikeluarkan. Namun, seperti sebelumnya, di antara keduanya tak ada yang kalah dan menang. La Pattiware mampu melakukan semua yang dilakukan oleh Khatib Sulaiman, begitu juga sebaliknya. Pertarungan itu pun berlangsung hingga matahari tepat di ubun-ubun.
Karena kekuatan seimbang, maka pertarungan dihentikan sejenak. Khatib Sulaiman, Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal lalu mengambil air untuk berwudhu dan shalat. Demikian pula dengan Maddika Bua. Setelah shalat, mereka berdoa memohon petunjuk.
Raja dan rakyat Luwu yang menyaksikan perbuatan Khatib Sulaiman, Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal tertegun. Mereka bertanya-tanya tentang gerakan-gerakan yang mereka dilakukan. Terlebih ketika mereka melihat hal serupa dilakukan pula oleh Maddika Bua. Mereka semakin heran dan saling berbisik, hingga suasana kian gaduh.

***

Setelah shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Pattiware. “Tuanku, sepertinya kekuatan kita seimbang. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Apa yang Tuan raja lakukan, semua dapat hamba lakukan pula. Begitu pun sebaliknya.”
“Lantas, apa lagi yang dapat Tuan lakukan agar aku dapat percaya dan  memeluk agama yang Tuan bawa?” tanya Pattiware.
“Bisakah Tuan meminjamkan hamba cincin yang Tuan pakai?”
“Bisa.” Perlahan raja membuka cincin yang melingkar di jari telunjuknya dan menyerahkannya pada Khatib Sulaiman.
Khatib Sulaiman perlahan menerimanya. Kemudian ia melangkah menuju dermaga yang letaknya tak begitu jauh dari tempat pertarungan. Pattiware yang heran melihat kelakuan Khatib Sulaiman hanya berjalan mengikuti. Demikian pula dengan pembesar kerajaan dan masyarakat Luwu.
Setiba di dermaga, dengan sekuat tenaga Khatib Sulaiman melemparkan cincin itu ke dalam laut. Melihat kejadian itu, wajah raja seketika merah padam. Begitupun dengan rakyat yang menyaksikan peristiwa itu. Namun, dengan tenang dan sabar, Khatib Sulaiman mampu meredam kemarahan raja dan rakyat Luwu.
“Tuan raja, hamba mohon maaf telah lancang melemparkan cincin Tuan ke laut. Tapi inilah jalan satu-satunya yang hamba dapat lakukan agar Tuan dapat mempercayai kebenaran agama yang hamba bawa. Cincin Tuan yang kini berada di laut, insya Allah dengan rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, cincin itu akan kembali dalam waktu satu purnama. Bahkan bisa lebih cepat.”
Mendengar ucapan Khatib Sulaiman, Pattiware bertambah bingung. Dalam hatinya, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pembawa agama Islam tersebut. Kalau adu ilmu yang dilakukannya, ia memang dapat mengukur kekuatan yang dimiliki Khatib Sulaiman. Namun jika cincin yang dibuang ke laut dapat kembali, apalagi waktunya dapat ditentukan, benar-benar tak sanggup dicerna oleh nalarnya.
Namun dengan ketenangannya, Pattiware dapat mengatasi kejengkelan dan kegundahan hatinya. Ia lalu berujar, “Jika cincin itu benar-benar kembali, maka aku dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Tetapi kalau tidak, maka kepala Tuan akan dipenggal karena telah berbuat lancang kepada raja. Untuk itu, Tuan harus ditahan sampai waktu yang Tuan janjikan tiba atau sampai cincin itu kembali.”
“Baiklah. Hamba menerima semua keputusan Tuan. Ini memang resiko yang harus kami terima,” jawab Khatib Sulaiman penuh keyakinan yang diiyakan pula oleh Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal. Keduanya memang lebih banyak diam dan menyerahkan segalanya kepada Khatib Sulaiman.
Setelah itu, raja Luwu beserta semua pengawalnya, Khatib Sulaiman, Khatib Bungsu, Khatib Tunggal, Maddika Bua dan semua rakyat Luwu yang hadir, meninggalkan tempat pertarungan. Adapun Khatib Sulaiman dan kedua temannya langsung dibawa ke ruang tahanan menunggu sampai cincin raja kembali.

***

Setelah peristiwa itu, berbagai cerita berkembang di masyarakat. Banyak yang menyesali tindakan yang diambil oleh Datok Sulaiman, meski ada pula yang memahami tindakan tersebut. Namun yang pasti, mereka hanya menunggu dengan was-was apa yang bakal terjadi dalam satu purnama, seperti yang dijanjikan oleh Khatib Sulaiman.
Waktu terus berlalu dan ketegangan kian terasa di Pattimang. Namun belum seminggu berlalu sejak peristiwa itu, istana Luwu tiba-tiba digemparkan oleh berita yang benar-benar sangat mengejutkan. Cincin  raja yang pernah dibuang ke laut oleh Khatib Sulaiman telah kembali.
Mendengar berita tersebut, Pattiware segera menuju ruang makan. Ia terkesiap. Ia benar-benar tak menyangka peristiwa ini akan terjadi. Di dalam perut ikan besar yang berada di atas meja terdapat cincinnya yang pernah dibuang oleh Datok Sulaiman.
“Dari mana ikan ini kalian dapatkan?” tanya Pattiware masih dengan nada keheranan.
“Ampun, Opu. Tapi pagi seorang nelayan datang ke istana membawa ikan ini. Katanya, ikan ini ia persembahkan untuk Opu sebagai tanda rasa syukur3, sebab hari ini tangkapannya sangat banyak. Dan dari semua tangkapannya, ikan inilah yang paling besar. Karena itu, ia mempersembahkan ikan ini untuk Opu,” jawab juru masak istana.
Mendengar keterangan tersebut, Pattiware sungguh-sungguh tak menyangka hal itu bisa terjadi. “Pastilah ini ada kekuatan yang begitu besar yang membuat semua ini bisa terjadi. Mustahil jika Khatib Sulaiman atau kedua temannya yang melakukan. Apalagi ketiganya masih berada di dalam ruang tahanan,” ujarnya dalam hati.
Seketika itu juga Pattiware memerintahkan prajuritnya untuk menjemput Khatib Sulaiman dan temannya di ruang tahanan. Bergegas prajurit itu menuju ke tempat Khatib Sulaiman.
“Silahkan duduk.”
“Apa gerangan yang membuat Tuan memanggil hamba?” tanya Khatib Sulaiman seraya memberi hormat tatkala telah duduk di hadapan Pattiware.
“Sebelumnya, atas nama rakyat Luwu, aku ingin memohon maaf jika perlakuan yang kalian dapat tidak berkenan di hati Tuan-tuan.”
“Tidak apa-apa. Ini memang resiko yang harus kami terima dalam menyampaikan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,” jawab Khatib Sulaiman yang diamini pula oleh Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal.
“Kalau boleh kami tahu, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Khatib Bungsu tenang.
“Begini. Apa yang Tuan-tuan katakan sebelumnya, ternyata benar. Cincin yang Tuan Khatib Sulaiman buang ke laut itu, kini telah kembali. Dan seperti janji saya sebelumnya, maka kini saya bersedia memeluk agama yang Tuan bawa. Dan jika ade’ seppulo dua4 (adat 12) menyetujui, mulai saat ini juga akan diumumkan bahwa agama resmi kerajaan Luwu adalah Islam. Untuk itu, aku berharap Tuan dapat membimbing kami dalam menjalankan agama Islam dengan baik.”
Mendengar pernyataan Datu Luwu, Khatib Sulaiman langsung bersujud syukur atas rahmat yang diberikan oleh Allah SWT. Demikian pula dengan Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal. Mereka menganggap, tantangan terbesar di jazirah Celebes dalam menyebarkan agama Islam telah mereka lewati. Tinggal sedikit lagi, di jazirah Celebes agama Islam akan menjadi agama mayoritas.
Setelah mendapat restu dan beberapa petunjuk dari Datu Luwu untuk menyebar agama Islam di jazirah Sulawesi, ketiganya pun berangkat ke Kerajaan Gowa. Sebab menurut Pattiware, Gowa merupakan kerajaan yang mampu mengawal agama Islam dengan kekuatan senjata.
Usai mendengar pesan Datu Luwu yang disampaikan oleh Khatib Sulaiman dan kawan-kawannya dan mengetahui Datu Luwu telah memeluk agama Islam, maka raja Gowa Sultan Alauddin pun mengikuti jejak Datu Luwu. Ia sangat yakin dengan keputusan Datu Luwu. Karenanya, ia menjamin masyarakat Gowa dan semua daerah sekutunya akan menjadi pemeluk agama Islam.
Sejak saat itu, Khatib Sulaiman kembali dan menetap di Luwu. Adapun Khatib Tunggal menetap di Kerajaan Gowa dan Tallo yang kemudian dikenal dengan nama Datok ri Bandang dan Khatib Bungsu berangkat ke Bulukumba yang kemudian dikenal dengan nama Datok ri Tiro.
Di Luwu, dengan tekun Khatib Sulaiman memberikan pengajaran agama Islam kepada raja, kalangan istana dan selanjutnya kepada seluruh rakyat Luwu. Tanpa kenal lelah dan penuh kesabaran, Khatib Sulaiman terus membimbing orang-orang yang telah memeluk Islam, hingga akhir hayatnya.
Khatib Sulaiman dikuburkan di desa Pattimang. Karenanya, ia juga dikenal dengan nama Datok Pattimang. Sampai saat ini kuburannya masih ada dan sering dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah. Kuburannya berada tidak begitu jauh dari makam La Pattiware yang terdapat di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu.

Catatan

1 “Iya Tuan”. Puang adalah panggilan/gelar penghormatan di masyarakat Sulawesi Selatan.
2 Artinya “Maafkan saya Tuan“. Panggilan/gelar kehormatan. Gelar bangsawan di Luwu dan dipakai pula di beberapa daerah lainnya.
3 Dalam tradisi masyarakat Luwu (Sulawesi Selatan), jika rakyat mendapatkan rezeki yang melimpah (tangkapan ikan banyak, panen berhasil, dll) mereka biasanya mempersembahkan pula kepada Datu sebagai tanda syukur dan pengabdian (mereka selalu memberikan yang terbaik).
4 Ade’ Seppulo Dua (Hadat Dua Belas) adalah sebuah lembaga dalam struktur pemerintahan Kedatuan Luwu yang berfungsi semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat.