Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asu Lakku

Asu Lakku, Petta Pao, Idwar Anwar, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Palopo, Tana Luwu, Kedatuan Luwu, Kerajaan Luwu, Datuk Patimang, Raja Luwu, Datu Luwu, Luwu, Kabupaten Luwu, Kerajaan Luwu, Kedatuan Luwu, La Galigo, Kitab Galigo, Sureq Galigo, Andi Maradang Makkulau, La Maradang Mackulau, Datu Luwu, 23 Januari 1946 Perlawanan Rakyat Luwu, Masamba Affair, Idwar Anwar, Novel La Galigo, Belanda, Matthes, Sirtjo Koolhof, Luwu Regency, Afdeeling Luwu, Afdeling Luwu, Istana Luwu, Langkanae, Tari Luwu, Tari Pajaga, Suku di Luwu, Wotu, Mengkoka, Bugis, Limolang, Bare'e, Rongkong, Bua, Ponrang, Masamba, Bunga-bunganna Masamba, Tomakaka, Arung, Makole Baebunta, Kecamatan di Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, Simpurusiang, Islamisasi di Luwu, Masuknya Islam di Luwu, Kapan Luwu Terbentuk, Tana Luwu, Wanua Mappatuo Naewai Alena, Maccae ri Luwu, To Ciung, Andi Jemma, Andi Djemma, Terjemahan La Galigo, Transkrip La Galigo, Sejarah Kedatuan Luwu, Sejarah Luwu, Budata Luwu, Bahasa di Luwu, Asal usul nama Kerajaan Luwu, Luwu Kerajaan Tertua, Mesjid Tua Palopo, Mesjid Jami Palopo, Silsilah Raja Luwu, Daftar raja Luwu, Luwu suku apa?, luwu dalam revolusi, potensi tana luwu, kerukunan keluarga luwu raya,

Oleh IDWAR ANWAR

Dahulu, hiduplah seorang pemuda di sebuah kampung yang tenang dan sejuk. Kampung tersebut masih berada dalam wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu. Penduduk kampung itu hidup tenteram dan damai. Karena dianugerahi tanah yang subur, maka mata pencaharian penduduk pun bercocok tanam di sawah dan berkebun.

Pemuda itu bernama Dukkelleng. Tubuhnya tinggi dan kekar. Tatapan matanya tajam. Dukkelleng termasuk pemuda yang tampan, namun tidak sombong dan selalu menghargai siapa saja. Ia hidup bersama ibunya, sebab ayahnya telah lama meninggal dunia.

Setiap hari Dukkelleng membantu ibunya bercocok tanam di kebun peninggalan ayahnya. Di kebun yang tidak begitu luas itu, Dukkelleng bersama ibunya menanam berbagai macam tanaman sayur-sayuran serta buah-buahan. Selain untuk keperluan sehari-hari, sayur-sayuran dan buah-buahan itu juga mereka dijual untuk penutupi keperluan sehari-hari.

Hampir setiap hari pasar, Dukkelleng membantu ibunya membawa berbagai hasil kebunnya untuk dijual ke pasar. Karena memiliki tubuh yang kuat, Dukkelleng tidak begitu kesulitan mengangkat berbagai barang dagangan ibunya. 

Selain rajin membantu ibunya, Dukkelleng juga rajin menuntut ilmu. Ia sangat senang mengembara mencari orang yang pandai dan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Ia berprinsip, semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka akan semakin banyak peluang untuk berbuat baik dan membantu orang yang membutuhkan.

Bukan hanya di luar kampungnya. Orang-orang tua di kampungnya juga menjadi tempat Dukkelleng menuntut ilmu. Karena itulah, ia sangat disenangi penduduk di kampungnya. Tidak hanya pada orang-orang tua, pada orang sebaya bahkan di bawahnya, Dukkelleng juga banyak bertanya tentang berbagai hal yang tidak diketahuinya. 

Kesenangannya menuntut ilmu membuat wawasannya makin luas. Ilmu kesaktiannya pun semakin tinggi. Namun semakin ia belajar, Dukkkelleng merasakan dirinya semakin banyak pengetahuan yang tidak diketahuinya. Karenanya, ia tak pernah mau berhenti mencari ilmu. Bila Dukkelleng mengetahui tentang keberadaan seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan atau kesaktian yang tinggi, maka batinnya pun langsung terpanggil untuk menimba pengetahuan orang tersebut. Entah mengapa, ia begitu haus dengan segala macam pengetahuan.

Walaupun demikian, pada saat ingin meninggalkan kampungnya untuk mencari ilmu, Dukkelleng senantiasa meminta izin kepada ibunya. Jika ibunya telah mengizinkan, barulah Dukkelleng berangkat meninggalkan kampungnya. Ia tak berani meninggalkan kampung tanpa mendapat izin dari ibunya. Sebelum meninggalkan kampungnya, Dukkelleng juga terlebih dahulu mempersiapkan segala keperluan sehari-hari ibunya. Telebih jika ia harus pergi berbulan-bulan, berbagai bekal pun ia harus sediakan, terutama beras dan ikan kering. 

Suatu hari, Dukkelleng mendengar di dalam hutan yang berada di kaki gunung Latimojong yang cukup jauh dari kampungnya, hiduplah seorang pertapa yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Menurut berita yang pernah ia dengar, selain memiliki kesaktian yang tinggi, pertapa itu juga memiliki pengetahuan yang luas. 

Terdorong rasa ingin tahunya, Dukkelleng lantas berniat berangkat menuju tempat pertapa itu berada. Ia sangat ingin bertemu dan menimba ilmu sang pertapa. Ia kemudian memberitahukan ibunya:

“Bu, aku mendengar di dalam hutan di kaki gunung Latimojong hidup seorang pertapa yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi dan pengetahuan yang luas. Aku ingin mencari dan memperdalam ilmu yang telah kumiliki,” jelas Dukkelleng ketika ibunya sedang duduk di lego-lego1 di depan rumahnya. 

“Jadi, kamu ingin berangkat lagi ke sana, nak?” tanya ibunya.

“Iya, bu. Aku ingin memperoleh ilmu dari orang itu. Semoga kelak akan bermanfaat bagi orang-orang yang memang membutuhkan,” ucapnya sedikit memelas.

“Berapa lama lagi kamu akan meninggalkan ibumu, nak. Bukankah baru sebulan lalu kamu tiba, setelah berbulan-bulan meninggalkan ibu sendiri?”

“Iya, bu. Tapi kali ini aku harus menemui orang ini. Kudengar ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Selain itu, pengetahuannya juga sangat luas. Ia telah mengembara di berbagai penjuru negeri,” katanya berusaha meyakinkan ibunya. 

“Kalau keinginanmu begitu kuat untuk pergi menuntut ilmu, aku tak dapat menghalangi. Pergilah, nak. Aku hanya berharap semoga ilmu yang kamu dapatkan bisa berguna bagi umat manusia kelak,” ujar ibunya.

Karena telah mendapat restu dari ibunya, Dukkelleng lantas mempersiapkan segalanya. Tak lupa, segala bekal untuk ibunya di siapkan untuk keperluan beberapa bulan. Ia tak ingin setelah kepergiannya, ibunya mengalami kesulitan untuk menghidupi dirinya.

Setelah semuanya selesai. Keesokan harinya, Dukkelleng telah bersiap-siap berangkat. Dengan takzim, ia menjabat tangan dan menciumi kaki ibunya. 

“Bu, doakan anakmu. Semoga aku bisa sampai di tujuan dengan selamat,” ucap Dukkelleng memohon. Suaranya bergetar menahan kesedihan. 

“Iya, nak. Doa ibumu akan selalu menyertai perjalananmu. Jaga dirimu baik-baik,” kata ibunya. Di sudut matanya, genangan bening mulai mengalir membasahi pipinya.  

Tak tahan melihat ibunya menangis, Dukkelleng memeluk erat-erat  perempuan yang telah melahirkannya itu. 

“Maafkan aku, bu.”

“Tidak apa-apa, nak. Aku merestui kepergianmu. Pergilah!”

Dengan perasaan sedih, Dukkelleng bersujud dan menciumi kaki ibunya. Ia merasakan kesejukan yang teramat dalam merambati batinnya. 

“Pergilah, nak!”

Dukkelleng bangkit dan kembali menatap wajah ibunya. Bibirnya bergetar, “Bu, aku pergi. Doakan aku.”

Usai menarik nafas panjang, Dukkelleng mulai melangkahkan kakinya menuju pintu. Ibunya hanya menatap kepergian Dukkelleng dengan perasaan tersayat, namun penuh doa-doa. Tatapannya tak pernah beralih hingga tubuh Dukkelleng lenyap ditelan gerimbunan pohon.

***

Sejak kepergian Dukkelleng, suasana kampung masih seperti biasa. Suasana kampung yang tenang dengan masyarakat yang bersahaja membuat siapa saja akan merasa betah untuk tinggal di kampung itu. 

Setiap hari penduduknya turun ke sawah ataupun pergi ke kebun menyiangi tanaman agar tak terlalu banyak ditumbuhi rumput. Demikian pula dengan ibu Dukkelleng. Sejak kepergian anaknya, ia sendiri yang harus mengurus kebun warisan suaminya. 

Namun suasana kampung yang tenang itu, suatu hari dikejutkan oleh adanya pembunuhan yang terjadi terhadap salah seorang warganya. Wak Kare terbunuh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik oleh binatang buas. Wajahnya kehitaman.

Menurut keterangan istrinya kepada Ambe Kaso yang menjabat sebagai Kepala Kampung, malam itu ia dan suaminya bermaksud memasukkan ayamnya yang tak sempat dimasukkan ke dalam kandang pada sore hari. Pada saat keluar rumah itulah, tiba-tiba mereka melihat seekor anjing melolong. Wak Kare lantas mengusir anjing itu. Tetapi tanpa mereka sadari anjing tersebut malah bertambah banyak.

“Kami benar-benar keget. Kami tak menyangka anjing tersebut tiba-tiba bertambah banyak,” ujar Indo Koro. 

“Lalu?” tanya Ambe Kaso penasaran. Wajah orang-orang di sekitarnya pun seketika nampak tegang.  

“Saat itu, Wak Kare tiba-tiba saja diterjang oleh anjing-anjing itu. Wak Kare berusaha melawan, tetapi tak mampu. Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan untuk berteriak pun aku tak bisa. Mulutku sepertinya disumbat oleh sesuatu yang aku sendiri tak tahu,” terangnya sembari menahan tangisnya yang hampir pecah.

“Apakah Wak Kare langsung mati oleh terjangan anjing-anjing itu?” tanya Ambe Kaso kembali.

“Tidak. Ketika itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seekor anjing yang bertubuh tinggi besar. Jauh lebih tinggi dan lebih besar dari anjing-anjing yang lain,”

Istri Wak Kare benar-benar terpukul. Kesedihan masih menggurat di wajahnya. Ia seperti trauma dengan peristiwa yang menimpa suaminya. Terlebih peristiwa itu terjadi di hadapannya.

“Lantas?” tanya Ambe Kaso hampir bersamaan dengan yang lain.

“Kulihat anjing yang besar itu mengeluarkan lidahnya yang panjang seakan ingin menjilati tubuh Wak Kare. Saat itulah, tubuh Wak Kare tak bergerak lagi.”

“Haaa... anjing apa itu?” tanya Ambe Kaso kepada Wak Lato’, salah seorang ketua adat dan yang paling tua di antara mereka.

“Sepengetahuanku, dulu pernah ada binatang seperti itu. Tapi itu sudah lama sekali. Binatang itu berasal dari alam jin. Ia biasa digunakan oleh jin untuk berburu roh. Tapi binatang itu telah lama tidak pernah muncul dan hanya tinggal cerita,” jelas tokoh adat itu sedikit ragu.

“Jadi binatang itu mengambil roh manusia dan membawanya ke alam jin?” tanya Kepala Kampung.

“Begitulah mungkin.”

“Apa nama binatang itu dan mengapa ia muncul di desa kita?” tanya Ambe Kaso lagi tak kuat menahan rasa penasarannya. 

“Seingatku orang-orang biasa menyebutnya Asu Lakku. Tapi entah kenapa binatang itu kembali muncul dan berkeliaran di desa kita?” sahut Wak Lato’ lagi.

Mereka yang hadir terdiam. Mereka dilingkupi rasa takut yang dalam. Apalagi menurut keterangan Wak Lato’, binatang itu selalu datang tiba-tiba dan mengambil roh manusia. Yang lebih mengerikan lagi, sebab anjing itu diikuti selalu oleh anjing-anjing yang sangat kejam.

Sejak terjadinya peristiwa itu, Ambe Kaso yang menjabat sebagai Kepala Kampung selalu diliputi keresahan. Ia tak ingin kejadian tersebut kembali terjadi dan menghantui penduduk kampung. Hampir setiap malam ia gelisah. Tak henti-hentinya Ambe Kaso berpikir mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah yang telah menimpa kampungnya. Ia bahkan mendiskusikannya dengan tokoh masyarakat lainnya. 

Sesuai dengan kesepakatan, maka setiap malam akan dilakukan ronda keliling. Setiap malam ditugaskan 5 orang untuk berkeliling kampung. Mereka yang ditugaskan, selain membawa senjata tajam, juga harus membawa benda-benda yang dapat mengusir mahluk halus.

Setiap malam, suasana kampung makin mencekam. Hanya suara-suara para peronda yang terdengar lenguh di kejauhan. Penduduk kampung sangat enggan untuk keluar jika tak ada urusan yang benar-benar penting. Mereka lebih senang tinggal di rumah menghabiskan malam. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, mereka selalu duduk-duduk bersantai di teras rumah menikmati udara malam sembari mengisap rokok dan minum kopi.

Sampai suatu malam, kejadian itu terulang kembali. Seorang penduduk kampung ditemukan terkapar oleh petugas ronda. Tubuhnya masih mengeluarkan darah segar. Sementara di kejauhan, masih terdengar lolongan anjing yang menyayat. 

Penduduk kampung kembali gempar. Tubuh yang kemudian diketahui bernama Lande itu adalah pemuda yang baru saja pulang dari kebunnya. Menurut teman yang sebelumnya berjalan bersama Lande, mereka kemalaman di kebun, sebab masih banyak yang harus mereka diselesaikan.

“Sebenarnya kami memang berecana untuk segera pulang. Namun karena tanggung untuk ditinggalkan, maka kami pun sepakat menyelesaikan pekerjaan itu malam ini juga supaya besok kami tinggal membawanya ke pasar,” jelas Karni.

Katanya, sebelum berpisah mereka mendengar lolongan anjing yang sangat panjang. Lolongan itu begitu menyayat. Olehnya itu, keduanya bergegas berjalan menuju rumah masing-masing.

“Mendengar lolongan anjing, aku dan Lande melangkah dengan cepat, sebab kami takut jika harus bertemu dengan binatang yang mengerikan itu,” jawab Karni gugup. Ia sungguh tak menyangka jika Lande yang harus bertemu dengan binatang buas itu.

 Suasana kampung semakin mencekam. Kepala Kampung dan beberapa tokoh masyarakat bertambah bingung. 

“Apalagi yang harus kita lakukan. Binatang itu benar-benar telah mengganggu ketentraman kita. Seandainya Dukkelleng ada di sini mungkin ia bisa membantu,” ujar Ambe Kaso dengan wajah kebingungan. 

“Iya, betul,” jawab beberapa orang hampir bersamaan.

“Bagaimana kalau kita pergi mencari Dukkelleng,” usul Kepala Kampung.

“Tapi kemana kita harus mencarinya?” sela yang lain.

“Aku yakin ibunya tahu, kemana perginya Dukkelleng,” ujar Karni.

“Setuju. Kalau begitu kita ke rumah Dukkelleng sekarang,” ajak Kepala Kampung yang diiyakan orang-orang yang berkerumun. 

Para penduduk kemudian membagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin Kepala Kampung menuju ke rumah ibu Dukkelleng. Sedang kelompok lainnya, bertugas mengurus jenazah Lande.

Di rumah Dukkelleng, mereka menemui ibu Dukkelleng dan menyampikan maksud mereka untuk mencari Dukkelleng. Mendengar keinginan penduduk tersebut, ibu Dukkelleng menjelaskan kemana anaknya pergi. 

Setelah mendapat keterangan tentang keberadaan Dukkelleng, Kepala Kampung lantas menugaskan tiga pemuda untuk berangkat mencari Dukkelleng. 

“Besok pagi-pagi sekali kalian harus pergi mencari dan membawa Dukkelleng kemari. Katakan padanya, keselamatan semua penduduk kampung terancam, termasuk ibunya,” tegas Ambe Kaso.

“Baiklah,” ucap mereka hampir bersamaan. 

***

Sejak kejadian yang menimpa Wak Kare dan Lande, penduduk kampung makin didera ketakutan. Sembari menunggu kedatangan Dukkelleng, mereka masih tetap melakukan ronda. Hingga suatu malam, keributan kembali terjadi. 

“Siapakah gerangan engkau yang telah berani mengacau di kampungku?” Suara menghardik terdengar menggema di malam yang senyap. 

Binatang itu mendesis lalu melolong panjang mengerikan. “Ha... ha... ha...!” Binatang itu tertawa, “siapa pula engkau yang berani menghadangku. Aku Asu Lakku?” kata binatang itu sembari menyeringai. Taringnya yang tajam dan menakutkan terlihat jelas. Lidahnya menjulur keluar dengan liur yang  terus menetes.

“Aku Dukkelleng. Tak akan kubiarkan engkau mengacau di kampung ini. Mulai saat ini jangan lagi sekali-kali engkau datang ke sini!” hardik Dukkelleng. Suaranya yang disertai tenaga dalam, menggetarkan tubuh orang-orang yang mendengarnya. Demikian pula dengan Asu Lakku dan anjing-anjing di sekitarnya nampak gelisah.

Dukkelleng memang memiliki kesaktian yang tinggi akibat kegemarannya menuntut ilmu. Karenanya, ia sangat disegani oleh penduduk di kampungnya. Tetapi kesaktian yang ia miliki tidaklah membuatnya sombong. Justru dengan kesaktiannya itu ia banyak menolong orang-orang yang benar-benar membutuhkan.

Mengetahui kekuatan yang dimiliki Dukkelleng, Asu Lakku mundur beberapa langkah. Demikian pula dengan anjing-anjing yang mengiringinya.

Sementara itu, penduduk yang mengetahui bahwa suara yang menggema itu adalah suara Dukkelleng, segera berkumpul. Mereka terus mengamati Dukkelleng dan Asu Lakku dengan perasaan gembira bercampur was-was. Meski demikian, mereka tetap yakin Dukkelleng akan menang jika terjadi perkelahian. 

“Tidak. Akulah yang berkuasa di sini. Aku akan pergi dan tidak akan pernah lagi menampakkan wujudku, jika engkau dapat mengalahkanku,” gertak Asu Lakku seraya menyeringai. Taring-taringnya nampak berkilau tertimpa cahaya bulan. 

“Baiklah kalau itu keinginanmu. Aku bahkan akan membunuhmu sekarang juga,” kata Dukkelleng tak mau kalah.

Malam itu juga, Dukkeleng dan Asu Lakku bertarung habis-habisan. Keduanya berusaha saling mengalahkan. Ilmu kesaktian yang mereka miliki tak pelak lagi dikeluarkan semuanya. Seluruh penduduk kampung yang berada di dalam rumah ketakutan mendengar suara gemuruh dari perkelahian Dukkelleng dengan Asu Lakku. Demikian pula dengan mereka yang berkerumun di sekitar tempat pertarungan. Mereka tetap berjaga-jaga kalau saja anjing-anjing pengikut Asu Lakku juga menyerang mereka. 

Melihat pertarungan keduanya, kekaguman sekaligus kengerian menyelimuti penduduk kampung. Mereka terus berdoa agar kiranya Dukkelleng memenangkan pertarungan. Suara-suara lirih terdengar jika Dukkelleng terdesak. Namun mereka kembali lega tatkala Dukkelleng berhasil mendesak Asu Lakku.

Setelah berjalan sekian lama, pertarungan yang berjalan seru tersebut belum juga menampakkan tanda-tanda ada yang kalah. Keduanya masih memiliki kekuatan yang seimbang. Penduduk yang menyaksikan pertarungan itu juga makin tegang. Mereka tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Dukkelleng.

Pertarungan terus berlangsung dengan seimbang. Keduanya tak henti-hentinya melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga  tibalah serangan yang sangat berbahaya yang ditujukan ke arah Asu Lakku. Serangan Dukkelleng itu benar-benar mematikan yang membuat Asu Lakku tak mampu berbuat apa-apa. 

Berusaha menghindar, Asu Lakku malah terpental jauh. Ia menyeringai dan melolong panjang. Dalam sekejab saja binatang itu tiba-tiba lenyap. Demikian pula dengan anjing-anjing pengiringnya. Yang tersisa hanyalah suara lolongan panjang yang menyayat.  

Menyadari musuhnya berhasil melarikan diri, Dukkelleng berusaha mengejarnya. 

“Mau kemana kau Asu Lakku. Bukankah engkau ingin bertarung denganku,” teriaknya. Suara Dukkelleng membahana di tengah malam yang dingin.

Orang-orang yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu juga gelagapan. Mereka tidak menyangka Asu Lakku akan melarikan diri bersama pengiringnya. 

Konon, sejak itulah Asu Lakku tidak pernah lagi menampakkan diri di hadapan manusia. Ia takut berhadapan langsung dengan manusia. Jika hendak mengganggu manusia, Asu Lakku selalu datang secara diam-diam.

Catatan:

1 Semacam serambi atau teras rumah.