Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merawat Kontinuitas Simbolik Rakyat Luwu

(Refleksi Hari Jadi Luwu 21 Januari)

Oleh Idwar Anwar


21 Januari 1268 merupakan waktu yang disepakati sebagai Hari Jadi Luwu yang saat ini memasuki usia 752 tahun. Sebuah usia yang tentu sangat tua bagi terbentuknya sebuah wilayah yang dulunya bernama Kedatuan Luwu. Sebuah kerajaan tertua dan terbesar di jazirah Sulawesi yang hingga kini masih eksis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indoonesia.

Lantas apa pentingnya rakyat Luwu memberikan tanda bagi kemunculannya? Apa pentingnya untuk memperingati hari jadi sebuah daerah?

Jika merujuk pada teori interaksionisme simbolik, manusia merupakan mahluk pembuat atau produsen simbol. Pemikiran Herbert Blumer dan George Herbert Mead yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism ini mengingatkan kita pada pernyataan filosof Jeman dari kubu neo-kantian Ernst Cassirer bahwa manusia adalah “animal symbolicum”. Sehingga segala sesuatu (objek) yang ada di dalam kehidupan manusia berusaha dihadirkan dan dirumuskan dalam makna simbolik.

Manusia senantiasa berusaha membuat simbol sebagai tanda kehadiran sesuatu, peristiwa yang sedang terjadi, termasuk pula peristiwa yang pernah terjadi. Berbagai hal ini diramu sedemikian rupa sehingga kelak simbol yang diberikan akan terus dikenang dalam berbagai konteks kehadirannya dalam sebuah bingkai pemaknaan yang sama.

Pastinya, makna-makna ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan dihadirkan dan kemudian dirumuskan, disepakati dan dijadikan simbol dengan berbagai cara. Simbol di sini dipahami sebagai tanda yang mengandung kesepakatan konvergensi peristiwa dan makna. Oleh sebab itu, perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok bertitik tolak dari makna-makna simbolik, termasuk dalam konteks ini adalah penentuan hari jadi sebuah daerah.

Berdasarkan hal itu,  perumusan sebuah simbol bagi kehadiran sebuah wilayah tentu sangat penting dilakukan. Sebuah penanda bagi kehadiran sebuah komunitas yang kemudian bersepakat membentuk sebuah organisasi yang lebih besar bernama kerajaan atau sebuah negara tentu sangat dibutuhkan, demikian pula dengan Tana Luwu.

Membangun Tugu Ingatan Bersama
Membangun tugu ingatan bersama (collective memories) sebagai sebuah konvergensi simbolik tentu bukanlah hal yang baru. Berabad-abad silam, berbagai komunitas telah melakukan hal tersebut, mulai yang terkecil hingga yang terbesar, seperti kerajaan ataupun negara. Tidak terkecuali pula dengan agama-agama yang ada.

Keinginan tersebut merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia sebagai makhluk sosial ataupun “animal symbolicum”. Sebab kecenderungan manusia untuk dikenang membuat manusia senantiasa memproduksi simbol sebagai penanda kehadirannya, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah kelompok sosial yang jauh lebih besar.

Demikian pula keinginan dalam menentukan hari jadi Luwu. Keinginan ini terus menggeliat, termasuk adanya keinginan untuk menemukan suatu peristiwa atau yang dapat menjadi salah satu pengikat, dalam upaya memperkuat wujud kebersamaan dan persatuan, termasuk membangun sinergitas dalam proses pembangunan Tana Luwu.

Tidak dapat dipungkiri menentukan hari jadi sebuah daerah merupakan langkah yang tepat dalam merumuskan sebuah simbol pemersatu sebuah daerah. Adanya penentuan hari jadi sebuah daerah pastinya akan menjadi tugu ingatan bersama bagi masyarakat dan menjadi perekat ikatan emosional bagi sebuah daerah.

Dalam banyak hal, simbol hari jadi terbukti dapat memperkuat sinergi masyarakat dengan pemerintah dalam meningkatkan perannya terhadap pembangunan. Kondisi ini tentunya sangat dibutuhkan oleh sebuah daerah agar tetap mampu memperkuat ikatan kebersamaan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.Sebuah tugu ingatan bersama, sebagai sebuah konvergensi simbolik terhadap sebuah peristiwa yang telah dimaknai dan disepakati bersama akan menjadi sebuah kekuatan besar di masa akan datang. Tentu dengan syarakat, tugu ingatan bersama ini harus diwarnai dengan berbagai pernik-pernih penguat, bukan hanya sekedar bahasa pidato yang tiap tahun keluar dari mulut para pejabat.

Merawat Kontinuitas Simbolik Rakyat Luwu
Keberadaan 21 Januari 1268 merupakan sebuah konvergensi simbolik yang dihadirkan dari beberapa peristiwa yang kemudian dirumuskan dalam sebuah angka tanggal, bulan dan tahun, sebagai entitas berdirinya Kedatuan Luwu sebagai sebuah negara bangsa, nation state.

Tentunya perumusan untuk menentukan hari jadi Luwu ini bukanlah hal yang pasti. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk itu, termasuk Teori Siklus Ibnu Khaldum. Namun itulah yang telah disepakati. Dan melalui kekuasaan birokrasi pemerintahan, hal ini kemudian disosialisasikan ke masyarakat dan terus dilaksanakan dalam sebuah perayaan seremonial.

Kendati demikian, seremonial 21 Januari, tentu tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk merawat kontinuitas simbolik yang telah disepakati tersebut. Sebab jika itu hanya sebatas seremonial, maka kontinuitas simbolik akan menjadi hambar dan tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, kecuali karena adanya keramaian yang diciptakan pemerintah. Terlebih lagi jika berharap semangat dari konvergensi simbolik itu masuk dan menjadi bagian dari diri masyarakat.

21 Januari, seharusnya dirumuskan dalam berbagai bentuk penguatan yang akan mendukung keberlangsungan simbol yang sudah disepakati. Sebab kontinuitas simbolik itu akan makin menguat jika telah merasuk dalam jiwa masyarakat pendukungnya. Salah satunya memproduksi dan mereproduksi semua pengetahuan tentang Kedatuan Luwu dalam berbagai perspektif. Dan untuk menanamkan sejak dini, maka pengetahuan itu harus diajarkan pada generasi muda, sejak duduk dibangku sekolah.

Sekali lagi, kontinuitas simbolik 21 Januari tidak hanya sebatas pidato dan acara seremonial para pejabat yang “dipaksakan”.  Terlebih jika hanya menjadi konsumsi politik menjelang pemilihan. Tetapi harus menjadi bagian dari diri masyarakat. Sehingga tanpa dukungan pemerintah pun, rakyat beramai-ramai merayakannya.

Makassar, 20 Januari 2020

* Idwar Anwar, Penyusun Ensiklopedi Sejarah Luwu dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu.


Tulisan ini telah dimuat Harian Fajar 22 Januari 2020.