Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Batu Tikumba


Oleh Idwar Anwar

Alkisah, pada zaman lampau di sebuah desa yang terletak di kaki pegunungan Latimojong, wilayah Kedatuan Luwu, hiduplah seorang perempuan setengah baya bersama dua orang anak perempuannya. Anaknya yang pertama bernama Camming dan yang kedua bernama Mutia.
Perempuan itu bernama Dettia. Wajahnya yang mulai keriput masih menyisakan tanda-tanda kecantikan ketika ia masih muda. Sejak suaminya meninggal dunia, tinggal ia seorang diri yang membesarkan kedua anaknya. Segala tanggung-jawab keluarga dengan sendirinya berpindah ke pundaknya.
Walau demikian, sebagai seorang ibu, Dettia dengan penuh kesabaran dan kerja keras yang tak kenal lelah berusaha menghidupi keluarganya. Akhirnya dengan segala kemampuan yang ia miliki, Dettia mampu membesarkan kedua anaknya hingga yang sulung mulai beranjak remaja.
Kehidupan keluarga Dettia memang terbilang sederhana. Sejak suaminya meninggal dan tak meninggalkan harta, kecuali kebun yang juga tidak terlalu luas, semua beban hidup mereka bertiga benar-benar hanya bertumpu pada hasil kebun.
Sebagai tumpuan keluarga, setiap hari perempuan itu harus pergi ke kebun, membersihkan dan menanam berbagai tanaman yang bisa dimakan untuk menyambung hidup. Selain untuk makanan sehari-hari, berbagai hasil kebun itu juga dijual ke pasar.
Hampir setiap hari pasar, Dettia berangkat ke pasar membawa bermacam-macam hasil kebunnya untuk di jual. Kendati tubuhnya telah begitu sulit untuk membawa barang-barang yang berat, namun ia tetap memaksakan dirinya. Sekuat tenaga, walau langkahnya tertatih, ia terus berusaha setiap hari pasar untuk pergi ke pasar.
Jika beruntung, semua barang dagangannya habis terjual. Dengan uang hasil jualan tersebut, biasanya ia belikan beberapa bahan makanan yang dibutuhkan, seperti beras dan ikan. Tak lupa juga, ia membelikan beberapa barang untuk anak-anaknya. Selebihnya ia simpan untuk keperluan yang mendesak. Begitulah, hari-hari dilaluinya dengan penuh ketabahan.

***

Lain halnya dengan ibunya yang seakan tak kenal lelah bekerja keras mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup. Camming yang mulai remaja dan seharusnya dapat membantu orang tuanya, hanya tinggal di rumah bersenang-senang. Untuk menjaga apalagi merawat adiknya, Mutia, yang masih kecil pun ia begitu enggan.
Setiap hari, Camming hanya bermain-bermain dengan teman-temannya dan sibuk berdandan mempercantik diri. Dengan wajahnya yang cantik, kulit putih bersih dan tubuhnya yang semampai, ia jadi malu jika harus disuruh ke kebun apalagi ke pasar oleh ibunya. 
“Masa aku harus pergi ke kebun. Malu. Apalagi bila matahari bersinar terik, bisa-bisa kulitku jadi hitam dan rusak,” ujarnya suatu hari, ketika ibunya menyuruh Camming membantu membersihkan kebun dan menanam beberapa tanaman.
Saat mendengar jawaban anaknya, perasaan Dettia sungguh terpukul. Hatinya tercabik-cabik. Ia tak menyangka akan mendapat jawaban yang begitu menyakitkan dari anaknya sendiri. Meski begitu, ia masih tetap sabar. Ia tak ingin bertengkar dengan anaknya sendiri.
Dadanya seakan penuh sesak oleh rasa kesal. Namun ia berusaha melepaskan rasa sesak itu agar tidak membebani dirinya. Di tariknya nafas dalam-dalam untuk menenteramkan perasaannya yang terus berkecamuk.
“Nak, jangan membiasakan mengeluarkan kata-kata seperti itu. Tidak baik!” Ditariknya kembali nafas dalam-dalam. Perempuan setengah baya itu berusaha meredam kecamuk dalam hatinya. Pedih yang dirasakannya sungguh tak tertahankan.
“Ibu sajalah yang pergi ke kebun! Apa ibu mau jika tak ada lagi laki-laki yang menyukaiku karena melihat wajah dan kulitku yang jelek dan rusak?” ujarnya sedikit ketus.
Cukup lama perempuan itu terdiam. Ia benar-benar sakit. Tapi ia harus tabah menghadapi tingkah-laku anaknya yang dirasakannya sudah semakin melampaui batas. Ia tidak boleh membiarkan anaknya salah langkah dan menjadi anak yang durhaka pada orang tua. Ia harus mengubah sifat anaknya. Kalimatnya perlahan meluncur:
“Ibu senang kalau kau kelihatan cantik. Ibu bangga punya anak berkulit bersih dan disenangi banyak lelaki. Tapi ingat, nak! Kecantikan fisik itu hanyalah setipis kulit bawang. Semuanya akan sirna ditelan usia.” Dettia sejenak menarik nafas. Ditatapnya wajah Camming penuh kasih sayang.
“Lihatlah ibumu ini. Dulu ibu juga adalah perempuan yang paling cantik di desa tempat kelahiran ibu. Tapi kau bisa lihat keadaan ibu sekarang. Ibu jadi tua, kulit keriput dan kusut. Semua manusia akan menjadi seperti itu. Kau pun juga kelak akan seperti itu. Itulah yang membuat dulu ibu tidak sombong dan mengagung-agungkan kecantikan fisik. Karena ibu tahu yang terpenting adalah kecantikan hati. Itulah kecantikan yang paling hakiki...,” ucapnya terpotong.
“Tapi kenapa kita miskin. Seharusnya kecantikan ibu itu bisa mendapatkan lelaki yang kaya raya, sehingga kita tidak hidup miskin seperti ini,” balas Camming ketus memotong kata-kata ibunya.
Usai mengeluarkan kalimat ketusnya, Camming segera berlalu sambil mencibir. Dibiarkannya kata-kata ibunya menguap begitu saja ditiup angin.
Dettia menarik nafas panjang. Beribu penyesalan menjejali kepalanya. Ia tak menyangka akan mendapatkan jawaban yang begitu menyakitkan dari mulut anaknya sendiri. Anak yang susah payah dibesarkannya.
“Ya, Tuhan. Apakah salah dan dosaku. Selama ini, aku tak pernah mengajari anakku untuk berbuat durhaka orang tuanya. Aku senantiasa membimbingnya dengan baik dan mengajarinya pengetahuan agama.” Suaranya parau menahan beban yang begitu berat. Ia sungguh tak menyangka anaknya akan berbuat sekejam itu padanya.
“Dimana Camming mendapatkan ajaran seperti itu? Atau mungkin karena pergaulannya yang salah? Aku memang tak pernah mengontrol dimana dan dengan siapa ia selalu bergaul,” gumannya perlahan.
Ia berusaha mengingat-ingat kemana saja dan dengan siapa saja anaknya selama ini bergaul. Tapi ia benar-benar tak tahu. Pekerjaannya di kebun dan di pasar telah membuatnya lupa untuk memantau pergaulan anak-anaknya. 
“Ya, Tuhan. Mungkin ini semua salahku. Selama ini aku tak pernah memperhatikan anak-anakku, hingga Camming berubah sikap seperti itu,” sesalnya dengan suara tertahan.
“Aku tak pernah tahu dimana dan dengan siapa anak-anakku bergaul. Mungkin inilah yang membuat Camming menjadi liar dan tidak mendengar ucapan orang tuanya.”
Ditengadahkannya wajahnya menatap langit yang mulai kemerahan. Air matanya tak mampu lagi ia bendung. Sesak di dadanya membuncah seolah ingin meledak. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa.
Meski demikian, perempuan itu tak pernah jera dan bosan menunjukkan jalan yang baik pada anaknya. Tak henti-hentinya ia memberikan nasehat yang diharapkannya dapat berguna kelak. Ia terus berusaha meredam segala kemarahannya. Baginya, mendidik anak merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya sebagai seorang ibu. Dan ia sadar bahwa semua itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

***

Hari demi hari terus berlalu. Bulan berganti dan tahun baru datang menjenguk, mengulang putaran bulan yang lain. Akan tetapi sifat Camming tak juga berubah. Setiap hari yang dilakukannya hanyalah memakai lulur, berdandan, atau pergi bermain-main dengan teman-temannya. Ia semakin malas untuk mengerjakan pekerjaan di rumah. Bahkan untuk memasak makanan pun Camming begitu enggan.
“Aku mau keluar. Aku tak mau berbau asap. Nanti teman-teman mencium bajuku dan menertawakanku karena bau asap,” katanya memberi alasan ketika suatu hari ibunya memintanya memasak, sebab perempuan itu akan berangkat ke kebun memetik sayuran dan buah-buahan yang akan dibawanya ke pasar untuk dijual.
“Kalau kau keluar, siapa yang akan menjaga dan memberi makan adikmu?”
“Ibu sajalah yang membawanya pergi ke kebun atau ke pasar. Mutia kan sudah besar. Usianya telah masuk 6 tahun dan sudah bisa makan sendiri. Makanya, sebelum pergi, sebaiknya ibu memasak dulu,” jawabnya ringan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Dengan santainya, ia tetap melanjutkan dandanannya.
Perempuan itu hanya mendengus. Deru nafasnya terdengar berat. Sulit rasanya menanggung cobaan yang diberikan Tuhan kepadanya.
“Ya, Tuhan mengapa kau timpakan cobaan yang begitu berat ini. Aku telah kehilangan suami dan kembali harus berjuang menghidupi kedua anakku. Tapi mengapa anakku sendiri yang malah membuat hatiku hancur,” suaranya begitu berat. Parau. Air matanya menetes perlahan. 
Kenangan belasan tahun silam seketika menjelma dalam ingatannya. Ia tiba-tiba ingat saat perkawinannya telah berjalan hampir setahun, namun belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Hampir setiap malam ia dan suaminya memohon kepada Tuhan agar diberikan seorang anak.
Bukan hanya itu, berbagai upaya juga dilakukan. Sudah sekian banyak dukun yang telah mereka datangi untuk mendapat perawatan khusus agar bisa secepatnya hamil dan mendapatkan seorang anak.
Kadang ia juga merasa menyesal meminta seorang anak kepada Tuhan, yang ketika itu ia seperti memaksa untuk segera dikabulkan.
“Seandainya aku tahu akan begini jadinya, mungkin aku tidak perlu merajuk-rajuk untuk segera diberi anak. Tapi semuanya telah terjadi. Apa yang terjadi pada anakku saat ini, juga merupakan kesalahanku. Aku tidak mampu mendidik anak dengan baik.”
Sekali lagi ditariknya nafas dalam-dalam. Tatapannya menohok tajam ke luar rumah. Resah yang mengelayutinya berusaha dibuangnya jauh-jauh, lalu berpaling ke arah Camming.
“Baiklah kalau begitu. Pergilah…,” katanya tertahan. “Seandainya bapakmu tidak cepat dipanggil Tuhan, hidup kita tidak akan sulit begini. Ibu mungkin tidak akan mintamu untuk membantu ibu jika memang kau enggan untuk mengerjakannya. Tapi sudahlah, kalau kau memang tak mau lagi mendengar kata-kata ibumu ini.” 
Tanpa merasa berat sedikitpun, Camming dengan cepat melangkah ke luar rumah dengan perasaan gembira. Ia berlalu begitu saja tanpa pamit sedikitpun.
Dettia hanya menatap kepergian anaknya dengan perasaan gundah dan resah. Kemarahannya tertahan. Ia sungguh tak menyangka anaknya akan bersikap demikian. 
Setiap hari, Camming hanya berdandan dan pergi bermain dengan teman-temannya. Camming tak peduli lagi dengan keadaan rumah yang berantakan. Yang ia pikirkan hanyalah merawat dan mempercantik diri. Ia selalu ingin tampil sempurna di depan teman-temannya, terutama di hadapan laki-laki.
Bukan hanya sikap Camming di rumah yang membuat hati Dettia seperti tersayat. Bahkan di luar rumah, tindakan Camming sudah benar-benar keterlaluan. Saat berpapasan dengan ibunya, ia selalu membuang muka. Seolah-olah ia tak kenal dengan ibunya. Dan apabila teman-temannya mengingatkan, dengan entengnya ia mengatakan bahwa perempuan itu bukan ibunya; Ibu tiri.

***

Suatu siang, matahari bersinar begitu terik. Panasnya sungguh menyengat kulit. Dettia melangkah gontai, berjalan dari pasar menuju ke rumahnya. Beberapa dagangannya yang tidak laku, dibawanya kembali ke rumah. Karena barang yang dibawanya cukup banyak, di samping rasa lapar yang melilit perutnya, perempuan itu sesekali berhenti melepas lelah hingga tiba di rumah.
Hampir tanpa tenaga lagi, ia melangkahkan kakinya menginjak tangga. Satu demi satu anak tangga dipijaknya, sampai akhirnya tiba juga ia di atas rumah. Namun alangkah terkejutnya, ketika didapatinya kondisi rumah yang berantakan. Tak ada siapapun yang ia temui. Meski suaranya lenguh karena capek, ia memaksakan diri untuk memanggil-manggil kedua anaknya.
“Camming…. Mutia….”
Sekian lama berteriak dan menelusuri setiap bagian rumah, tapi ia tak juga menemukan kedua anaknya. Pikirannya mulai kalut. Marah bercampur khawatir memenuhi rongga dadanya hingga sesak. Ia sepertinya kehilangan akal. Tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Setelah cukup lama berputar-putar dalam rumah, barulah ia dapat menemukan Mutia yang sedang tertidur ditutupi dengan kain-kain kusam dan kotor. Tanpa sadar, meledaklah marahnya. Tubuhnya gemetar berusaha menahan amarahnya yang terlanjur keluar.
Tanpa disadarinya, kedua bola matanya sembab. Air mata dengan cepat mengalir membentuk sungai-sungai kecil di pipinya. Guratan kepedihan nampak jelas di wajahnya yang keriput.
“Camming, mengapa kamu tega berbuat seperti ini kepada adikmu.” Bibirnya bergetar. Air matanya semakin banyak mengalir. Ia tak tahan lagi melihat perlakuan Camming terhadap adiknya sendiri.
Pikirannya begitu gelap. Ia tak mampu lagi menahan kemarahannya yang semakin membuncah. Perempuan setengah baya itu kemudian turun dari rumah dan terus berjalan tak tentu arah. Tak mengenal lelah, ia melangkahkan kakinya menelusuri hutan mengikuti kata hatinya. Meski tubuhnya kadang terhuyung, ia tetap menggiring langkahnya tanpa istirahat, membawa kepedihan hatinya yang begitu sulit terobati. Di dekat sebuah batu besar ia beristirahat. Tubuhnya letai, hampir tak mampu lagi ia gerakkan.

***

Setelah beberapa lama kepergian Dettia dari rumah, Camming baru pulang. Didapatinya pintu rumah terbuka. Ia mengira ibunya telah pulang. Namun ketika naik ke rumah, ternyata tak seorang pun yang ditemuinya. Setelah beberapa lama mencari sembari terus berteriak, akhirnya ia menemukan Mutia yang masih tertidur pulas di tempat ia meletakkan adiknya itu. Di samping Mutia tergeletak selembar daun lontar.

Anakku, saat surat ini kau baca, Ibu mungkin telah berada jauh. Ibu pergi karena tak tahan melihat kelakuanmu. Lebih baik ibu ditelan batu daripada harus hidup tersiksa oleh perbuatan anak kandung sendiri. Ibu sudah tak tahan dan sanggup lagi memeliharamu. Semoga dengan kepergian ibu, kau dapat tumbuh dengan kehendakmu sendiri. Jagalah adikmu, meski aku tak begitu berharap lagi kau akan mendengar permintaanku. Maafkan ibu….

Seperti disentak keluar dari ketidaksadarannya selama ini, Camming terperenyak di samping adiknya yang belum juga terbangun. Tidak berapa lama, ia langsung turun dari rumah sambil berteriak-teriak memanggil ibunya. Ia berlari-lari tak tentu arah.
“Ibu, jangan tinggalkan kami. Ampuni aku,” teriak Camming. Suaranya membahana.
Rasa penyesalan kian membuncah, hingga membuat dadanya sesak. Air matanya terburai mengalirkan berjuta sesal. Ia terus berlari, mencari ibunya dengan mata batinnya.

***

Sementara itu, Dettia masih duduk bersandar di dekat batu besar. Bibirnya bergetar menahan ucapan yang ingin meluncur dari bibirnya.
 “Ya, Tuhan. Jika memang hambamu ini harus mati, biarlah hambamu ditelan oleh batu besar ini daripada harus menerima perlakuan kasar dari anakku sendiri,” pintanya dengan bibir bergetar. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Hampir tak ada isak. Kepedihan begitu mendera ketegarannya.   
Tanpa disadarinya, batu besar tempatnya bersandar itu perlahan-lahan bergerak dan terbelah.
“Jika ini memang jalan yang harus aku tempuh, maka tenangkanlah hatiku untuk menghadapi semuanya,” ucapnya lirih.
Dengan kepedihan yang begitu menyiksanya, perlahan Dettia melangkahkan kakinya masuk ke dalam batu yang telah terbuka lebar.
Sementara Camming yang sempat mendapati ibunya hendak masuk ke dalam batu, sekuat tenaga berlari sembari berteriak sekencang-kencangnya memanggil ibunya. Tapi perempuan setengah baya itu seperti tak menghiraukan lagi panggilan anaknya. Ia tetap saja melangkah masuk ke dalam batu. Perlahan, batu itu kembali tertutup hingga rapat dan menelan tubuh Dettia.
Tidak berapa lama setelah Dettia tertelan batu, Camming pun tiba. Ia langsung memeluk batu yang telah menelan ibunya. Camming meronta seraya memukul-mukul batu di hadapannya.
“Ibu keluarlah. Jangan tinggalkan kami. Ibu, maafkan aku,” isaknya. “Tak sanggup kami mengarungi hidup ini tanpamu.” Camming terus meratap. Namun tak sedikitpun jawaban yang diterimanya.
“Ampuni aku ibu. Ampuni aku …,”  ratapnya. Camming membentur-benturkan kepalanya di batu.
Cukup lama ia memeluk batu itu. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Kesedihan dan penyesalan mendera batinnya. Ia terus meratap, bermohon agar ibu kembali. Hingga samar-samar terdengar suara dari dalam batu.
“Pulanglah anakku. Tak mungkin lagi aku kembali. Biarlah ibumu ditelan batu ini. Mungkin ini lebih baik bagimu. Kembalilah! Aku hanya berharap kau dapat mengubah prilakumu dan dapat menjaga adikmu dengan baik.”
Camming tiba-tiba tersentak mendengar suara ibunya. Kata-kata ibunya sungguh menohok batinnya.
“Ibu, keluarlah! Maafkan aku. Aku sangat menyesal, ibu. Keluarlah! Ampuni aku, ibu.”
Semakin beringas Camming memeluk batu tempat ibunya bersemayam. Tapi apapun yang dilakukannya, batu itu tak juga kunjung terbuka.
Ia terduduk. Tak sanggup lagi ia berkata-kata. Bibirnya bergetar, namun tak sedikitpun kalimat yang keluar. Hanya guman yang tak jelas terdengar.
 Setelah sekian lama berada di dekat batu tempat ibunya bersemayam, akhirnya Camming pun pulang ke rumah. Langkahnya gontai menelusuri jalan-jalan yang mulai gelap menuju ke rumahnya. Selaksa penyesalan menggerogoti batinnya. Entah apa yang harus ia lakukan setelah ibunya pergi.
Berbagai beban hidup kini menunggu di hadapannya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghidupi dirinya. Apalagi, ia juga harus menghidupi adiknya.
Namun sejak peristiwa yang menimpa ibunya itu, tabiat Camming berubah total. Ia berubah menjadi anak yang rajin dan baik hati. Tingkah lakunya sangat sopan dan peramah. Tak ada lagi kesombongan dalam dirinya. Semua seperti terkikis dan musnah bersama segala penyesalannya. Ia sungguh-sungguh telah menyadari segala kesalahan yang telah dilakukannya selama ini.
Hari-hari pun dilaluinya tanpa kasih sayang orang tua. Karenanya, apabila Camming dan adiknya merasa rindu pada ibunya, ia kerap datang ke batu tersebut. Batu ini kemudian dikenal dengan nama Batu Tikumba’ atau batu terbelah.