Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946

Bersama Maman Suherman (Kang Maman ILK)

Oleh: Idwar Anwar

Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan salah satu fase heroik rakyat Luwu dalam mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah Belanda. Sebuah peristiwa yang telah diperingati setiap tahunnya, sebagai Hari Perlawanan Rakyat Luwu.

Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kepongahan tentara Belanda yang melakukan penggeledahan di wilayah Bua untuk merampas kembali senjata yang dirampas para pejuang dari tangsi-tangsi Jepang. Pada tanggal 20 Januari, tentara-tentara ini kemudian masuk ke dalam mesjid Bua tanpa membuka sepatu. Mereka bahkan merobek-robek dan menginjak-injak al-Quran. Tidak sampai di situ, tentara Belanda itu pun menyiksa dan melukai penjaga mesjid (doja) yang bernama Tomanjawani yang ingin menghalangi aksi mereka.

Rangkaian peristiwa ini terus berlanjut, sekitar pukul 03.00 dini hari tanggal 21 Januari 1946, pasukan NICA/KNIL melanjutkan operasinya dengan menggeledah rumah Andi Gau Opu Gawe, Kepala Distrik/Madika Bua. Opu Gawe adalah saudara  kandung Andi Kambo, ibunda Datu Andi Jemma. Selama penggeledahan, mereka juga melakukan pemukulan terhadap beberapa orang yang ada di rumah Opu Gawe tersebut.

Kedua peistiwa itu sangat melukai batin rakyat Luwu. Sebuah tragedi religio-kultural telah terjadi di Tana Luwu yang harus di balas dengan taruhan nyawa sekali pun.

Akibatnya rakyat Luwu yg memag sudah lama melakukan perlawanan, semakin terpukul dan kemudian melakukan konsolidasi untuk melakukan penyerangan besar-besaran yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Akhirnya terjadilah peristiwa 23 Januari 1946 yang membuat kota Palopo menjadi lautan api.

Begitulah rakyat Luwu memaknai simbol-simbol religio-kultural pada masa itu. Bagaimana dengan pemaknaan simbol-simbol religio-kultural saat ini?

Merawat Tugu Ingatan Bersama Rakyat Luwu
Sebagai salah satu simbol religio-kultural, peristiwa 23 Januari 1946 sangat pantas dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Rakyat Luwu dan tonggak untuk membangun dan semakin memantapkan Tugu Ingatan Bersama (collective memories) untuk membangun Luwu ke depan ke arah yang lebih baik. Sebab jika tidak, maka masyarakat Luwu akan semakin kehilangan ruh perjuangan dan jiwa kebersamaan.

Tentu saja peristiwa ini tidak hanya diperingati secara seremonial belaka dan hanya oleh kalangan pemerintah, namun juga harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat Luwu, utamanya generasi muda.

Dengan demikian, ruh perjuangan itu dapat muncul dari grassroot, misalnya dengan mengibarkan bendera merah putih, di seluruh wilayah Kedatuan Luwu, disertai atribut perjuangan rakyat Luwu dan berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat dengan berbagai kreativitasnya. Boleh jadi dikemas seperti perayaan 17 Agustus, bahkan jauh lebih meriah lagi.

Di dunia pendidikan pun demikian. Siswa harus diperkenalkan dengan sejarah dan kebudayaannya, sehingga sejak dini heroisme dalam diri mereka dapat tumbuh. Minimal, mereka mengetahui sejarah dan kebudayaan Luwu, sehingga sejarah dan kebudayaan Luwu tidak tercerabut dari pendukungnya sendiri. Misalnya, setiap memperingati Hari JadiLuwu dan Hari Perjuangn Rakyat Luwu, pihak sekolah, melalui Dinas Pendidikan di 4 Kabupaten/Kota melakukan berbagai macam kegiatan, termasuk upacara bendera.

Hari Jadi dan Hari Perjuangan Rakyat Luwu sebaiknya dijadikan starting point dalam upaya memprakarsai pembumian nilai-nilai sejarah dan budaya yang sifatnya berkesinambungan dan merupakan langkah awal terhadap segala bentuk kegiatan bersama Wija To Luwu pasca pemekaran wilayah.

Komitmen ini perlu semakin diwujudkan, sebab pembumian nilai-nilai sejarah dan budaya haruslah menjadi tanggung jawab Wija To Luwu yang harus mendapat dukungan dari pemerintah se-Tana Luwu.

Dan salah satu usaha yang paling signifikan dan urgen untuk mewujudkan pembumian nilai-nilai integritas sejarah dan budaya tersebut adalah melalui reproduksi pengetahuan, baik berupa penerbitan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Luwu, maupun melalui dimensi lainnnya.

Menanamkan apresiasi yang baik terhadap peristiwa 23 Januari 1946 pada rakyat Luwu, utamanya generasi muda, menjadi wahana yang baik untuk semakin membangun kebersamaan yang semakin bersinergi bukan hanya sesama pemerintah, tetapi juga dengan seluruh Wija To Luwu.

Upaya mempertegas arah dan identitas masyarakat Luwu ini sangat diperlukan untuk menjadi pondasi dalam mewujudkan Wija To Luwu yang sejahtera dan memiliki sumber daya manusia yang handal. Dan peristiwa 23 Januari 1946 ini jangan hanya menjadi jualan dan bahan pidato para pejabat di podium-podium yang seakan-akan sangat perhatian dan peduli pada kebesaran sejarah dan kebudayaan Luwu.

Makassar, 21 Januari 2020

Idwar Anwar, Penyusun Ensiklopedi Sejarah Luwu dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu.


Tulisan ini telah dimuat di Harian Tribun Timur tanggal 23 Januari 2020 dengan judul yang sama.