Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Split Personality dan Budaya Kekerasan


Membaca fenomena kekerasan yang terpampang di media massa membuat kita kembali merenung, gejala apa sebenarnya yang terjadi di masyarakat kita. Di Gowa, seorang Guru melempar muridnya hingga mati hanya karena salah menjalankan perintah (disuruh mengambil bola kaki, yang dibawa bola basket). Sekolah favorit SMA 1 dan SMA 2 terlibat perkelahian massal yang menyebabkan 2 orang meninggal dan puluhan luka-luka (hanya karena ada SMS tantangan untuk berkelahi). Mahasiswa UNM (dulu IKIP yang diharapkan mampu melahirkan pendidik-pendidik yang baik) terlibat perkelahian massal antar fakultas hanya karena persoalan selepele.

Bukan hanya di kalangan remaja, di kalangan anak-anak pun kini telah dirasuki oleh budaya kekerasan yang “cantik” yang membuat anak-anak merasa senang melakukannya bahkan sambil tertawa-tawa walau nyawa menjadi taruhannya. Smack down, misalnya, menjadi salah satu contoh sebuah kebengisan yang dikemas menjadi sebuah tontonan menarik. Bahkan mampu menghipnotis anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Dan akibatnya, tidak tanggung-tanggung, telah puluhan anak yang menjadi korban dari tayangan ini.
Kekerasan merupakan sebuah term yang sangat ditakuti, namun ternyata sangat sering dan “gemar” dilakukan oleh masyarakat bahkan hingga anak-anak. Tokoh-tokoh “jagoan fisik” ternyata lebih menjadi idola dibanding tokoh-tokoh “jagoan otak”. Kemenangan yang mengandalkan kekuatan fisik ternyata lebih digandrungi, dibanding kemenangan yang mengandalkan kekuatan otak.
Di masyarakat Indonesia dewasa ini memang banyak bermunculan realitas yang kembali mengadopsi perilaku-perilaku vandalistik dan sadistis dari masa lalu yang kelam yang dikemas dalam konsep modern “hiper-realitas”. Masyarakat disuguhi dunia hiper-real yang dikemas dalam berbagai bentuk, dikodifikasi dan disebarkan melalui berbagai tayangan-tayangan di televisi dan diaplikasikan “dengan baik” dalam kehidupan sehari-hari.

Gejala Anomie dan Masyarakat Panik

Apa yang terjadi di masyarakat saat ini sebenarnya merupakan sebuah symptom yang terus menggejala hingga kini. Dalam bahasa psikologi sosialnya symptom ini disebut gejala anomie atau gejala kebingungan yang teramat sangat terhadap norma yang selama ini dipegang. Gejala ini, misalnya nampak jelas terjadi pada masyarakat desa yang pergi ke kota dimana tata nilai yang dipegang teracak-acak oleh realitas dunia perkotaan. Pada  akhirnya symptom ini ternyata berdampak negatif bagi tingkah laku masyarakat. Gejala ini pada tingkat yang paling ekstrem akan mengakibatkan munculnya suatu prilaku yang vandalistik dan sadistis.
Jika merujuk pada beberapa pendapat, misalnya menurut DR. Paulus Wirutomo,  munculnya gejala anomie ini diakibatkan: pertama, masuknya budaya asing (gejala modernisasi) yang begitu gencar ke dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat  yang disebarkan melalui berbagai media yang menimbulkan gejolak tersendiri terhadap budaya lokal. Hal ini diperparah lagi karena tidak adanya kesiapan masyarakat untuk menyaring budaya asing tersebut (melakukan counter culture ataupun dialog budaya). Dalam kondisi demikian masyarakat akan mengalami kebingungan dan ketidakpastian, sehingga mereka kehilangan pegangan. Kedua, kehidupan/hubungan sosial masyarakat mengalami dekandensi, di mana relasi kekerabatan mengalami gap yang teramat lebar.

Kehidupan masyarakat, utamanya di perkotaan yang semakin kompleks, akan mengakibatkan mobilitas masyarakat pun semakin tinggi. Akibatnya muncul persoalan tersendiri, di mana ikatan batin mulai memudar. Maka, sikap tidak acuh terhadap lingkungannya pun terjadi.
Kecenderungan ini bahkan merambah pula di desa-desa. Muatan-muatan modernitas yang mendoktrinkan sikap individualistik dan materialistik yang menimbulkan sikap rivalitas yang tidak manusiawi, membuat masyarakat semakin tercerabut dari akar kulturnya. Konsekuensi logisnya,  ikatan persaudaraan dalam ruang lingkup masyarakat yang dulunya masih kental, menjadi luntur dan bahkan melahirkan sikap curiga.
Dalam keadaan demikian, gejala anomie ini mengakibatkan orang-orang menjadi ragu bahkan tidak percaya lagi akan jagat makna yang dipahaminya. Nilai-nilai kultur yang dipegangnya kadangkala berbeda dengan realitas yang mereka hadapi. Akibat dari tidak adanya relasi positif antara realitas dengan nilai yang dipegang, timbullah perasaan cemas, takut, bimbang pada norma-norma yang selama ini diyakininya. Sebuah realitas baru yang selama ini tak pernah dibayangkan sebelumnya, muncul tiba-tiba dan menghentak kesadaran, tanpa mampu berbuat apa-apa, kecuali berdiri menyaksikan realitas baru itu menggilas mereka begitu garangnya.
Dalam kondisi demikian masyarakat menjadi panik dan melakukan apa saja yang mereka mampu lakukan. Maka lahirlah manusia-manusia berkepribadian retak (split personality), yang tak mampu memahami pikirannya sendiri. Kecenderungan ini muncul karena dunia pikiran, cita-cita (high expectation) sering kali dinafikan dan tak memiliki ruang dalam dunia nyata (reality of life). Apa yang tampak dapat saja berbeda dengan apa yang mewujud (being). Manusia pun akhirnya lari dari sebuah realitas dan melakukan pelampiasannya pada dunia baru yang mungkin tanpa ia sadari.
Tak mengherankan jika realitas faktual masyarakat kita mengalami kekhusukan lain. Kondisi ini kemudian memproduksi masyarakat-masyarakat panik yang melakukan berbagai hal dalam keadaan panik. Akumulasi ini yang kemudian melakukan budaya kekerasan baru.
Maka tidak mengherankan jika kebutuhan akan, antidepresan, anticemas, dan obat-obat penggugur kekecewaan, semakin meningkat dan tak dapat dihindarkan. Dan gejala ini akan semakin hebat menggerogoti manusia jika dalam dirinya mengalami pula gejala pengalineasian moralitas ke tingkat yang paling ekstrem.

Ingatan Kolektif dan Pembunuhan Realitas
Realitas kekerasan yang terjadi dari waktu ke waktu ternyata tidaklah menimbulkan efek jera yang efektif dalam kehidupan masyarakat. Dengan dilahirkannya masyarakat panik, setiap perubahan atau ketika terjadi benturan antara nilai (clash of value) yang dipegang dengan realitas yang dihadapi, akan selalu dihadapi dengan panik dan kecemasan yang berlebihan. Ingatan kolektif pun menjadi tersamarkan dan bahkan dibunuh secara sadis dan terencana.

Dalam kondisi demikian tata nilai yang dibangun dengan baik selalu akan porak-poranda oleh mental dan symptom yang lebih mengedepankan sikap panik/cemas daripada berpikir sehat. Terbunuhnya secara terstruktur ingatan kolektif terhadap kekerasan yang selama ini terjadi, menjadi salah satu sumber dari hilangnya kepercayaan masyarakat akan tata nilai yang selama dipegang.
Ingatan kolektif seharusnya terus dijaga dan ditumbuhkan dengan baik di masyarakat, sebab di Indonesia dewasa ini, kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang dan menyebabkan banyaknya jatuh korban. Tidak ada ingatan kolektif yang terbangun dengan fondasi yang kuat. Realitas berusaha dibunuh dan dijauhkan dari ingatan kolektif. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kekerasan (massal) terus berulang. Orang-orang kemudian curiga, tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh dalam proses hukum terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi, merupakan upaya sistematik untuk membunuh dan menguburkan ingatan kolektif yang ada di masyarakat.
Ingatan kolektif kadang dipaksa untuk menelan kebohongan terstruktur yang diramu dalam berbagai macam idiom-idiom. Padahal ingatan bukan sekadar bekas goresan, tetapi upaya mengenal dan memahami lebih jauh bekas-bekas goresan tersebut. Terjadinya pembunuhan realitas kekerasan dalam ingatan kolektif ini memungkinkan terjadinya kekerasan yang terus berulang bahkan berkembang menjadi trend.
Terjadinya kekerasan (massal) yang menghinggapi semua lapisan masyarakat, bahkan hingga anak-anak merupakan salah satu efek dari terkuburnya realitas kekerasan dalam ingatan kolektif di masyarakat. Selain itu, munculnya kekerasan dengan wajah baru yang dikonsepsi dalam dunia hiper-realitas membuat kekerasan menjadi “cantik”, “indah” dan “menarik” untuk dicontoh dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tata nilai yang mengatur semua tindakan manusia sepertinya diabaikan. Lahirnya manusia yang berkepribadian retak (split personality), atau lahirnya masyarakat-masyarakat panik, membuat ingatan kolektif terhadap bahaya kekerasan menjadi terkubur dan tak lagi memiliki makna dalam kehidupan masyarakat.
Munculnya pandangan retrospektif terhadap masa lalu, pada hakekatnya bukan hanya sekedar pengalaman yang memberi makna, akan tetapi munculnya sebuah niat untuk membangun suatu proyek penuh makna. Karenanya, ingatan kolektif sangat diperlukan untuk bertindak lebih bijaksana dalam meramu kehidupan yang lebih baik. Menghidupkan terus ingatan kolektif berarti membangun sebuah proyek perdamaian. Dengan begitu, manusia diharapkan tidak lagi mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis. Bukanlah bangsa yang tanpa ingatan kolektif adalah bangsa tanpa masa depan? Dan jika ini terjadi pada generasi muda, terlebih anak-anak, maka bisa dibayangkan akan menjadi apa bangsa ini.
Idwar Anwar, Sastrawan dan Budayawan.

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pedoman Rakyat, November 2006.