Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan Andi Jemma: Membangun Collective Memories


Jalan Landak Baru yang berada di Kecamatan Mamajang, resmi berganti nama menjadi Jalan Andi Djemma, Kamis (9/11/2017) yang dirangkaikan dalam peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-410 Kota Makassar.

Oleh Idwar Anwar
               
Akhir tahun 2014, saya mendampingi Datu Luwu ke 40, Andi Maradang Mackulau bertemu dengan Walikota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto. Inti dalam pertemuan tersebut, Datu mengusulkan kepada Walikota Makassar untuk menjadikan nama Andi Jemma sebagai nama salah satu jalan protokol yang ada di Kota Makassar. Dan dengan sangat meyakinkan Moh. Ramdhan Pomanto menyambut baik usulan tersebut dan akan mengusahakan pemberian nama Andi Jemma sebagai salah satu nama jalan protokol di Kota Makassar.

Perhatian Datu Luwu akan pentingnya pemberian nama jalan untuk Andi Jemma merupakan reaksi terhadap kurangnya penghargaan yang diberikan kepada salah seorang Pahlawan Nasional yang sangat memegang peranan penting saat pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin sangat sedikit orang yang hidup di Makassar ini yang pernah mendengar nama Andi Jemma. Sementara orang-orang yang jika diukur kadang kejuangannya (tanpa bermaksud membandingkan) masih dibawah level Andi Jemma sudah lama diabadikan sebagai nama monumen dan nama jalan.
Saya yakin, seandainya mereka bisa memberi kesaksian, semua pejuang kemerdekaan yang sudah menjadi nama jalan di Kota Makassar pastinya tahu seberapa pentingnya posisi dan peran Andi Jemma pada masa perjuangan kemerdekaan. Namun mengapa nama Andi Jemma sampai saat ini masih sangat sulit, meski hanya disematkan pada salah satu nama jalan di Kota Makassar?

Tahta untuk Republik
Kalau saya turunkan bendera Merah Putih itu dan menaikkan bendera Belanda sebagai gantinya, maka rakyat Luwu akan menembak saya. Sebaliknya, kalau saya tetap menolak menaikkan bendera Belanda untuk menggantikan bendera Merah Putih, maka tuan-tuan tentu akan menembaki saya. Daripada rakyat saya yang menembaki saya, maka lebih baik saya persilahkan tuan-tuan menembak saya!!
Kutipan kalimat di atas, sangat jelas menunjukkan bagaimana komitmen dan ketegasan seorang Datu (Raja) Luwu yang merupakan kerajaan tertua, khususnya di Sulawesi Selatan dalam menyikapi semangat kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Upacapan Andi Jemma itu diucapkannya di dalam Istana Luwu tatkala berada dibawah todongan bayonet serdadu Belanda yang memaksa beliau untuk menurunkan bendera Merah Putih dan menggantikannya dengan bendera Belanda.
Apa yang dilakukan Andi Jemma untuk berdiri mendukung kemerdekaan Republik Indonesia merupakan hal yang cukup sulit ketika itu. Namun dengan keteguhan hatinya, Andi Jemma mampu melakukannya. Beliau kemudian mengumumkan bahwa Kedatuan Luwu berdiri untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau memerintahkan kepada seluruh rakyat Luwu untuk bersatu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan mengibarkan bendera Merah Putih pada tanggal 19 September 1945. Dari situlah kemudian semakin banyak muncul organisasi dan kelaskaran yang didalamnya berhimpun pejuang-pejuang kemerdekaan.      
Bukan hanya mengucapkan dengan lisannya, Andi Jemma bahkan kemudian memprakarsai pertemuan Raja-Raja se Sulawesi Selatan pada tanggal 10-11 Oktober 1945 yang dilaksanakan di Bone. Dalam pertemuan tersebut, Andi Jemma kembali menegaskan sikapnya untuk berdiri di belakang Republik Indonesia. Beliau bahkan dengan tegas menyerahkan Kedatuan Luwu untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
Andi Jemma merupakan raja pertama di nusantara yang menyatakan siapa berdiri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Apakah kita pernah membayangkan bagaimana alam kebatinan seorang raja besar yang memimpin sebuah kerajaan besar dan tertua, dengan penuh kerelaan menyerahkan kekuasaan yang dimiliki? Bahkan kemudian Andi Jemma rela menghabiskan masa tuanya dan hidup dalam keadaan miskin di Kota Makassar.
Mungkin memang beliau tidak pernah mengharapkan apa-apa untuk pribadinya dari negara dan bangsa Indonesia atas apa yang telah dilakukan dan diperjuangkannya. Bahkan saat bertemu dengan Presiden Soekarno, Andi Jemma hanya menitipkan pesan agar Kedatuan Luwu dijadikan sebagai Daerah Istimewa. Harta dan segala kemewahan yang selama ini beliau rasakan, rela ditinggalkan demi bergabung dengan Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Namun apakah kita sebagai generasi penerus, generasi penikmat kemerdekaan hanya diam dan membiarkan nama beliau hanya tinggal kenangan. Membiarkan nama beliau hanya diapresiasi oleh masa lalu, dan kemudian tinggal membeku menjadi catatan di dalam buku-buku sejarah yang mungkin orang jarang membacanya? Atau memberikan apresiasi, paling tidak sebagai salah satu nama jalan di Kota Makassar, sebagai wujud penghargaan kita terhadap jasa para pahlawan kita. Pilihan ada pada kita yang sadar akan pentingnya arti sebuah perjuangan dan bagaimana menghargai jasa para pahlawan, utamanya sebagai Wija To Luwu.        

Membangun Collective Memories
Munculnya wacana penggantian beberapa nama jalan di Makassar dan munculnya nama Andi Jemma pasca pertemuan Datu Luwu dan Walikota Makassar merupakan angin segar untuk mewujudkan keinginan menjadikan Andi Jemma sebagai salah satu nama jalan protokol di Kota Makassar.
Pemberian nama jalan bagi Andi Jemma pada dasarnya merupakan salah satu wujud dalam membangun tugu ingatan bersama (collective memories), khususnya bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Sebagai salah satu realitas simbolik, tentunya upaya ini mampu merumuskan kedirian sosok tokoh, bahkan sebuah komunitas (bangsa) dalam suatu proses sejarah. Dengan demikian, keberadaan nama jalan Andi Jemma dapat menciptakan kontinuitas simbolik yang benar-benar dapat hadir dalam sebuah bangunan tugu ingatan bersama (collective memories) masyarakat Sulawesi Selatan.
Untuk itu, apresiasi dari Walikota Makassar dan anggota DPRD Kota Makassar untuk mewujudkan keinginan tersebut merupakan jalan yang dapat melapangkan tugu ingatan bersama tersebut dapat terealisasi dengan cepat. Bukankan kata Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Semoga kita benar-benar bangsa yang besar.

Makassar, 14 Juli 2015
Idwar Anwar, Wija To Luwu. Penulis Ensiklopedi Sejarah Luwu dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu

*Artikel ini telah diterbitkan di Tribun Timur 2015.