Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 1

Usai meraih sirih dan menyirih menenangkan perasaan, Patotoqé berpaling kepada Datu Palingéq yang duduk di sampingnya. Ia menarik nafas sejenak sebelum mulai berucap.

“Duhai dinda Datu PalingĂ©q, sejak dulu aku berkeinginan untuk menurunkan tunas di AlĂ© Lino. Dan keinginan itu semakin menguat setelah mendapat berita dari Rukkelleng Mpoba bersaudara yang baru saja turun ke bumi....”

Sejenak Patotoqé terdiam, lalu menarik nafas panjang. Datu Palingéq hanya menatapnya. Gejolak batin perempuan itu begitu sulit dikendalikanya. Ia sebenarnya juga berkeinginan untuk menurunkan tunasnya di muka bumi sebagai pelanjut. Namun, ia merasa akan begitu sulit menerima perpisahan dengan belahan jiwanya.

“Bagaimana pendapatmu, adinda? tanya PatotoqĂ© memecah kebisuan di antara mereka. “Apakah engkau setuju jika kita turunkan anak kita sebagai tunas di bumi, mematangkan kayu sengkonang[1] atas nama kita, sehingga dunia tidak kosong dan kolong langit pun menjadi terang benderang....”

Datu Palingéq kembali terdiam. Meski agak ragu, namun kalimat pun meluncur tersendat dari bibirnya.

“Jika engkau bermaksud menurunkan tunas ke dunia..., siapa gerangan yang berani menghalangimu?”

Alangkah gembiranya Patotoqé karena keinginannya tak sedikitpun mendapat rintangan dari perempuan yang dikasihinya. Ia pun mendekap perempuan belaiannya itu penuh kasih.

“Terima kasih…,” ucapnya menghela nafas, seolah ganjalan di hatinya melayang keluar dari kesesakan.

Datu Palingéq menarik nafas panjang. Dirasakannya pelukan lelaki yang dicintainya itu begitu hangat penuh kasih. Kesejukan merambati sekujur tubuhnya berbaur dengan rasa gelisah, jika kelak Patotoqé benar-benar menurunkan tunasnya ke bumi, ia tentunya akan jauh dari anak-anak yang dicintainya. Datu Palingéq kembali menghela nafas dalam-dalam. Namun, ia tiba-tiba saja teringat saudara-saudaranya dan muncul ide untuk mengundang mereka membicarakan maksud tersebut.

“Tidakkah sebaiknya, jika engkau mengirim utusan ke Toddang Toja dan Boting Langiq, mengundang saudara, sepupu sekali dan kemanakan kita datang berkumpul di istana Sao Kuta PareppaqĂ©, sekaligus mendengar pendapat mereka tentang keinginan Opu[2]?”

Buru-buru Patotoqé melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah permaisurinya.

“Ah, benar juga. Sebaiknya mereka mengetahui keinginan ini.”

Patotoqé pun segera memerintahkan kepada Rukkelleng Mpoba bersaudara ditemani beberapa pengiring untuk turun ke Pérétiwi, mengundang Sinauq Toja, adik kembar Patotoqé dan suaminya. Keduanya juga diperintahkan untuk memanggil sepupu sekali Patotoqé, To Bala Unynyiq. Selain itu, mereka juga diperintahkan berangkat ke barat, ke Senrijawa, mengundang kemanakan Patotoqé, Sennéq Batara bersama istri.

“Katakan kepada mereka,” seru PatotoqĂ© mengingatkan, ”hendaknya mereka datang tepat delapan malam terbitnya bulan dan pada hari pasar di Boting Langiq. Katakan pula, tak akan dilalui makanan tenggorokannya bagi mereka yang tak mau datang ke istana Sao Kuta PareppaqĂ©.”

Hanya sesaat setelah mohon diri, para utusan tersebut bergegas berangkat membawa undangan ke berbagai negeri. Ruma Makompong pun memerintahkan agar palang penutup gerbang langit dicabut. Pelangi tujuh warna kemudian diturunkan. Kilat pun saling menyambar, menebas-nebas langit diikuti suara guntur yang bersahutan. Saat itulah Ruma Makompong bersaudara turun.


[1] (kayu yang) sama namanya.

[2] Panggilan kehormatan. Gelar bangsawan di Luwu yang kemudian juga dipakai di beberapa daerah lainnya.