Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 1

“Duhai To PalanroĂ©[1], kutadahkan kedua tapak tanganku memohon berkahmu. Tenggorokanku hanya setipis kulit bawang, sehingga begitu mudah tergelincir pada kebohongan. Semoga hamba tak terkutuk menjawab pertanyaan Puang[2]. Sudah tiga hari tiga malam, Rukkeleng Mpoba bersaudara tak nampak di Boting Langiq. Kami tak tahu ke mana mereka pergi....”

Belum selesai ucapan penjaga ayam tersebut, dari arah selatan, Rukkelleng Mpoba, Sangiang Mpajung, Ruma Makompong, Balasanriuq, muncul. Wajah Patotoqé yang sedari tadi berusaha tenang, kini mulai berubah. Di wajahnya sedikit demi sedikit membujur guratan ketidaksenangan hatinya memandang kedatangan Rukkelleng Mpoba bersaudara.

“Dari mana saja kalian? Sudah tiga hari tiga malam lamanya tak menampakkan diri di Boting Langiq. Mengapa anak-anak ini kalian tinggalkan untuk menjaga ayam kesayanganku. Bukankah sudah kukatakan, tak ada lagi yang perlu kalian cari di Boting Langiq ini, sebab semuanya telah kuberikan. Tapi kenapa kalian masih saja lalai menjaga ayam andalanku,” tanya PatotoqĂ© dengan suara tersendat-sendat menahan marah, saat keempatnya bersimpuh di hadapannya.

Rukelleng Mpoba, Ruma Makompong, Sangiang Mpajung, dan Balasanriuq kian resah. Rasa takut menggelayut jelas di wajahnya. Keempatnya pun kembali bersujud.

“Ampuni kami. Laksana kulit bawang tenggorokan ini, semoga ucapan kami tidak menimbulkan kebohongan dan tak terkutuk jika kami menjawab pertanyaan Puang. Kami baru saja datang dari kolong langit, di tepi PĂ©rĂ©tiwi. Di sana kami menebar badai, mengadu petir, memperlagakan guntur, menyabung kilat, dan menyalakan api dewata.  Namun, tak ada sama sekali yang menyeru kepada Batara, atau menadahkan tangan ke PĂ©rĂ©tiwi. Karena itu, mungkin sebaiknya Puang menurunkan seorang keturunan untuk mengisi AlĂ© Lino[3] agar dunia tidak kosong dan permukaan bumi jadi ramai,” jawab Ruma Makompong yang diiyakan ketiga saudaranya.

“Ampun Puang,” sahut Ruma Makompong menambahkan. “Selama tak ada mahluk di kolong langit, di permukaan PĂ©rĂ©tiwi, yang menyeru kepada Batara, engkau bukanlah dewata.”

Mendengar ucapan Ruma Makompong, Patotoqé tak menjawab sepatah kata pun. Ia terdiam sejenak. Desah nafasnya membadai menyeruak kebisuan pagi yang tiba-tiba saja kembali menjelma. Melihat penguasa Boting Langiq itu terdiam, Ruma Makompong bersaudara kembali menyembah, hingga membuat Patotoqé tergeragap. Ia berpaling sembari berkata:

“Baiklah. Namun untuk memutuskan hal tersebut, aku harus ke istana Sao Kuta PareppaqĂ© dulu menyampaikannya kepada Datu PalingĂ©q. Atas izinnya, barulah boleh ditempatkan keturunan dewata di kolong langit.”

Perlahan Patotoqé melangkah diiringi oleh raja dari Wawo Langiq, diramaikan pula bangsawan tinggi dari Coppoq Méru. Ditapakinya tangga halilintar seraya berpegang pada susuran kemilau. Langkahnya ringan melangkahi ambang pintu dari petir, menyusuri lantai kemilau, dan masuk melalui sekat tengah dari kilat.

Setelah melewati dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta Pareppaqé dan melangkahi pintu agung kilat, sampailah Patotoqé di ruang tengah. Ia kemudian duduk di atas pelaminan yang berkilauan.

Perlahan I Da Sarellung mendekat dan membuka keris halilintar yang telah menyatu  dengan jiwa PatotoqĂ©. Ditanggalkan pula ikat kepala cahaya petir hiasan PatotoqĂ© oleh WĂ© Ati Langiq. Beberapa saat kemudian datang pula Talaga Unruq menyajikan sirih orang Senrijawa di talang petir.



[1] Nama lain Patotoqé. Nama lainnya diantaranya yakni La Patigana, Datu Patotoq, To Palanroé, Aji Patotoq, Batara Wira, Sangkuru Wira, La Puangngé, Léba Patotoq, Datu Dewata, Aji Palalo, Batara Unruq.

[2] Panggilan kehormatan di masyarakat Sulawesi Selatan.

[3] Dunia tengah (bumi) atau Kawaq.