Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 9

 

 Setelah semua kerbau tertangkap, berangkatlah Puang Kuru1 memercikkan kerbau dengan air suci, menghitung jejeran menrawé yang akan dipasang dan melengkungkan bambu emas kemilau mengelilingi istana. Tiga kali berkeliling menelusuri lambung istana, barulah ditegakkan arawaq.

Melihat keramaian itu, Wélong Mpabareq, inang pengasuh Batara Guru, merasakan kegembiraan yang sangat. Wajahnya berseri-seri sambil berkata:

“Alangkah ramainya, Talaga Unruq, istana Batara Guru. Tidak sama ramainya sewaktu turunnya ke dunia anak raja asuhan kita. Laksana orang Wolio, orang Malaka, Kidung Seram Waniaga, saudagar Melayu, dan orang Jawa Pego saja yang berlabuh iringan-iringan kerbau tumbal itu memasuki tempat upacara.”

Setelah semua peralatan tumbal rampung, disiapkanlah upacara penebusan nazar. Seolah akan terperosok kaki akibat bertih emas yang ditaburkan para bissu. Dan tepat tengah hari, saat bayangan tidak di timur dan tidak di barat, dimulailah upacara.

Puang ri Laé-Laé kemudian bangkit menaiki sangka, melalui hamparan kain dan duduk di atasnya. Ia lantas menaburkan bertih aneka ragam dari Léténg Nriuq, lalu menyembah ke Boting Langiq, menadahkan tangan ke Rualletté sambil bibirnya bergerak:

“Duhai Puang Patotoq, ambillah makanan yang banyak persembahan kami. Terima pulalah tata upacara tumbal yang kami laksanakan. Ribuan kerbau ini adalah persembahan orang yang kau jadikan tunas di bumi. Semoga panjang usianya, tak urung ditudungi payung emas manurung untuk memerintah sesamanya raja, tidak dipantangkan menaklukkan sekolong langit, sepetala bumi, dan tak berguguran pula ikatan padi rakyatnya.”

Usai menyembah ke langit, Puang Kuru pun serta-merta tunduk ke Pérétiwi menadahkan kedua belah tangannya seraya memohon.

Di Boting Langiq, doa Puang Kuru itu pun di dengar oleh Datu Patotoq bersama permasurinya. Demikian pula Sinauq Toja bersama Guru ri Selleq di Pérétiwi. Alangkah gembira hati Datu Palingéq mendengar persembahan anaknya.

“Sudah pandai rupanya Wé Nyiliq Timoq mengatur perintah di Alé Lino. Sudah pandai pula anak kita menyembah ke Langit dan menadahkan tangan ke Pérétiwi,” ucap Datu Palingéq seraya berpaling kepada suaminya.

To Palanroé hanya tersenyum. Kebahagiaan telah merambahi jiwanya.  

“Berangkatlah engkau, Sangiang Mpajung, bersama Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong, dan Balasanriuq, menyongsong ribuan kerbau tumbal persembahan anakku. Naiklah ke langit arwah ribuan kerbau itu sebagai pengganti semangat kedatuan Batara Guru dan istrinya.”

Dengan cepat, berangkatlah keempatnya turun beriringan, menurunkan kabut dan hujan, menyala-kan api dewata. Tujuh kali guntur bersahutan, kilat mencabik-cabik langit. Bergoncanglah negeri di Alé Luwu, di Watang Mpareq. Pohon-pohon tumbang, dan tumpah-ruah pula nira di Sabbamparu. Rasanya seperti hendak melayang istana agung manurung, dan runtuh istana Sao Denra yang dimunculkan dari Pérétiwi. Negeri sangiang yang diturunkan di Alé Luwu dan di Watang Mpareq pun seakan-akan ingin terbang. Alé Lino dengan cepat menjadi gelap gulita, hingga orang-orang tak lagi saling mengenal wajah. Bahkan telapak tangan yang dibalik pun tak tampak.

Beberapa saat kemudian, di tengah perkampung-an sekonyong-konyong tegak pelangi tujuh warna pertanda sampailah di dunia utusan dewata yang diturunkan dan telah datang pula utusan andalan Datu Palingéq dari Toddang Toja. Mereka membagi dua tumbal yang dipersembahkan; sebahagian naik ke Boting Langiq dan sebagian lagi turun ke Pérétiwi.

Setelah semua arwah tumbal diambil, barulah matahari bersinar seperti biasa. Badai pun seketika berhenti. Terbujurlah semua kerbau yang dijadikan tumbal. Orang-orang pun kembali ke istana membawa semua kerbau untuk dipanggang.