Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /13/
/13/
menjelang siang, 5 Juni 1946
sinar matahari terasa mulai garang
aku harus berpisah dengan para tawanan
ingatanku akan kekajaman terhadap mereka
sungguh sulit untuk kuhilangkan
berpisah dari tawanan lainnya yang menuju Kolaka
rasa luruh daging yang melekat di tulang belulangku
aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada mereka
jiwaku ingin menemani
menguatkan kesabaran dan keteguhan
motorboat bersandar,
mengantarku meninggalkan Pakué ke Palopo
matatahari kian menyengat
ombak berhempasan; menghempas pula pikiranku
Palopo pukul 14.00 siang
tentara Belanda berdiri, serupa pagar-pagar beton
menanti kedatangan kami
sebuah mobil power tentara mengantar
perlahan memasuki kota Palopo
Letnan Vennick[1] dan tiga pengawal
mengantarku memasuki kota yang lama kutinggalkan
toko-koto berderet di sepanjang jalan pelabuhan
terlihat sepi; hawa ketakutan masih terasa
dari degub jantung yang berkejaran
dari mata yang berada di balik jendela-jendela tertutup
hanya nampak seorang lelaki tua
berdiri di depan Toko Ban Cui
yang ketika melihat Bessi Pakkae[2]
cepat-cepat duduk bersila[3]
belok kiri, berlalu di depan bioskop Palopo
melewati pasar di timur mesjid Jami
melintas di samping barat Istana Datu yang lengang
dan terus ke arah Surutanga
pukul 21.00, rombongan tiba di Pare-Pare[4]
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /21/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /20/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /19/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /23/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /22/
suasana malam mencekam
di sebuah kamar rumah sakit Pare-Pare
tubuhku kurebahkan sesaat
aku merenungi perjalanan panjang dan melelahkan
tak ada yang diperkenankan menemuiku
hanya rokok Ripper[5] pemberian Bau Massepe Datu Suppa[6]
yang diperbolehkan masuk
hanya ucapan terima kasih bisa kuberikan
pada penguasa Pare-Pare itu
yang masih menghargaiku
walau menjadi tawanan
hanya beberapa jam merebahkan tubuh
pukul 01.50, perjalanan kembali dimulai
Makassar pukul 04.30, 6 Juni 1946; teramat sepi
tubuhku kian layu
rumah Tuan Obesch (Oversteg) seorang Belanda
berdiri kokoh, di bangunan dari penderitaan rakyat
secangkir teh, basa basi sebelum dijebloskan
ke dalam penjara di tangsi Jongaya
tak mengurangi dendamku peda penjajah
[1] Komandan pasukan Belanda di Kendari.
[2] Biasa juga disebut Doké Pakka adalah jenis senjata pusaka yang berbentuk tombak bercabang dua. Dalam pelaksanaan ritual Kedatuan Luwu, senjata tersebut hanya boleh dipegang oleh satu orang saja, karena Bessi Pakkaé merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam Kedatuan Luwu yang dipegang oleh Datu/Pajung Luwu sebagai penguasa tunggal dan wakil Dewata Mattanrumpulawengngé (Alaméng Massulengkaé) di bumi, yang dalam mitologi disebutkan memiliki mahkota ‘tanduk emas’ bercabang dua.
Doké Pakka bersama Pajung Maejaé (payung merah) selalu dibawa ke mana saja Datu/Pajung pergi melakukan perjalanan atau kunjungan kerajaan. Kedua benda ini merupakan simbol yang menunjukkkan keberadaan Datu/Pajung. Doké Pakka terbuat dari emas (pakkaenga) dan tangkainya terbuat dari besi yang disepuh emas. Kalau Datu/Pajung keluar, Bessi Pakkaé dipegang oleh orang khusus yang merupakan pa’bate-bate ri laleng (pengurus istana). Op.cit. Ensiklopedi Kebudayaan Luwu, hlmn, 87.
[3] Penghormatan yang dulu masih diberikan kepada Datu Luwu.
[4] Salah satu kota di Sulawesi Selatan yang juga merupakan tempat kelahiran Presiden BJ. Habibie.
[5] Salah satu merek rokok yang beredar saat itu.
[6] Andi Abdullah Bau Massepe, Letnan Jendral TNI (1918 - 2 Februari 1947) merupakan Datu Suppa ke 25 berdasarkan silsilah Dia adalah ana' mattola di Suppa. Dia adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito.
***
IDWAR ANWAR yang dikenal sebagai penulis, sastrawan, budayawan dan juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, lahir di Kota Palopo, ibu kota terakhir Kedatuan Luwu.
Lelaki yang akrab disapa Edo ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri 77 Palopo, SMP Negeri 3 Palopo dan SMA Negeri 2 Palopo. Idwar kemudian hijrah ke Makassar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin.
Sejak mahasiswa, Idwar aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus antara lain; sebagai Ketua Himab Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), dan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.
Idwar juga pernah menjadi Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel (2010-2013), Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo di Barru (2002) dan Masamba (2003), menjadi Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara (2002), Mufakat Budaya Indonesia (2018), bahkan sempat menjadi Dosen Luar Biasa di almamaternya. Dan kini sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Sulsel.
Di dunia politik, Idwar pernah menjadi Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Palopo, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Palopo (2010-2015) dan Anggota BP Pemilu DPD PDI Perjuang-an Sulsel. Saat ini ia aktif sebagai Sekretaris DPD Banteng Muda Indonesia Sulsel (2017-2020) dan anggota Komite Kehormatan DPD PDI Perjuangan Sulsel (2015-2020).
Selain aktif berorganisasi, sejak mahasiswa sampai saat ini Idwar aktif menulis dan ratusan tulisannya dimuat di berbagai media, berupa artikel, resensi buku, esai, puisi dan cerpen. Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media.
Aktif dalam dunia literasi, Idwar mendirikan Rumah Baca Arung, menjadi pemateri dalam berbagai acara bedah buku, pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif, serta menjadi pengurus lembaga pengembangan minat baca. Diantaranya, menjadi Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Palopo (2011-2014), Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia Palopo, Pengurus GPMB Provinsi Sulsel, dan pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulsel.
Dalam dunia kesenian dan kebudayaan, Idwar kerap membacakan karya-karyanya di berbagai tepat. Aktif sebagai Ketua Dewan Kesenian Palopo (2005-2015) dan di LAPAKSS - Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Indonesia Sulsel (2017-2021).
Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Novel Merah di Langit Istana Luwu; La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1); La Galigo: Mutiara Tompoq Tikkaq (jilid 2) dan La Galigo: Lahirnya Kembar Emas (jilid 3). Kumpulan Cerpen Mata Ibu; Kota Tuhan; dan Ibu, Temani Aku Menyulam Surga. Kumpulan Sajak Zikir dan Kado Cinta. Adapula Kumpulan Cerita Rakyat Tana Luwu (Jilid 1). Buku lainnya, Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, Jejak-Jejak Suara Rakyat Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo; Ensiklopedi Sejarah Luwu (2005); Ensiklopedi Kebudayaan Luwu (2006); Palopo dalam Spektrum Waktu, dan Buku-buku Pelajaran Mulok Sejarah dan Kebudayaan Luwu untuk SD, SMP dan SMA.