La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (6) Bab 8
Tidak berapa lama usungan kencana yang ditumpangi Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara, memenuhi halaman istana manurung. Perlahan-lahan usungan yang ditumpangi Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara diturunkan. Keduanya lalu berjalan menuju tangga. Sebelum keduanya naik, dari atas istana Puang Matoa mengulurkan lawolo dan Wé Palaguna menyambut lawolo itu di ujung bawah tangga. Setelah tiga kali Puang Matoa mengulangi perkataannya, barulah Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara serta rombongannya melangkahkan kaki menginjak anak tangga.
Ditariklah lawolo itu perlahan setelah dipegang oleh Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara. Dari atas ujung tangga istana, Puang Matoa tegak berdiri sembari membimbing keduanya sembari merapal doa dengan bahasa dewata. Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara melangkah hingga menjejakkan kaki di lantai istana diikuti para dukun. Di ruang depan, keduanya diperciki air suci. Lengkaplah sudahlah upacara bagi ibu susu anak Wé Datu Tompoq.
Hati-hati, Puang Matoa ri Laé-Laé mengantar keduanya masuk. Disingkapkanlah kelambu kemilau pelaminan yang ditempati putra mahkota di Alé Luwu. Begitu gembiranya Wé Lélé Ellung dan Wé Jabiara menyambut bayi raja yang akan disusuinya. Bersamaan dengan itu mendengunglah kembali suara upacara kerajaan. Para bissu mulai menari-nari bissu maujangka diiringi bunyi gendang dan penyeru semangat untuk memanggil roh kekahyangan sang bayi. Bergantian mereka meniman sang bayi. Tak pernah menangis sampai ia tertidur pulas.
***
Keesokan harinya, saat matahari masih bertengger, seolah mengintip di puncak gunung, dibawalah tembuni bayi raja yang telah dimasukkan ke dalam guci kemilau. Guci itu kemudian dipangku oleh Puang Matoa yang dinaikkan di usungan kencana dari Abang dan dinaungi payung petir dari Limpo Bonga. Di depan usungan disemarakkan dengan tarian alosu, dan liukan adidi keemasan. Selain itu dikerumuni pula ribuan tumpaq kadidi, ojeq, dan tettilaguni, serta anaq beccing. Senjata pagar negeri pun tak henti-hentinya bersahutan.
Setelah tiga kali mengelilingi di istana, barulah tembuni itu dibawa berjalan melalui menrawé. Para penari dodoq berjalan di depan dan yang bertopeng lainnya berada di belakang.
Dalam perjalanan berbagai bunyi-bunyian dibunyikan. Dipukul pula La Wéwang Langiq, gendang emas yang manurung. Hanya satu kali dipukul suaranya pun tujuh kali melengking menelusuri Batara, hingga di pinggir langit dan menggelegar di Pérétiwi. Dibunyikan pula genderang petir yang manurung, yang ditingkahi bunyi gong, melantunkan musik Melayu
Di samping itu, dipetik pula kecapi keemasannya La Oroq Kelling, yang beradu dengan mongeng-mongeng ratusan inang pengasuh. Karena bunyi-bunyian dan gemuruh suaranya orang banyak itu, bagai hendak terbang saja Alé Luwu, dan Watang Mpareq. Suaranya betul-betul memekakkan telinga, hingga orang-orang yang berbicara tak dapat lagi saling mendengar perkataan.
Tiba di tempat yang ditentukan, beberapa orang mulai menggali tanah. Usai menggali tanah, perlahan ditanamlah sumber hidup, cikal jiwa itu di sebelah selatan istana manurung.
Sementara di istana, ribuan oro sada menyalakan api di bawah kolong istana Sao Denra. Orang katté wéluaq mulai pula membakar dupa pada pedupaan emas dan menjaganya di ruang dalam. Ada pula ribuan dayang dan bangsawan tinggi yang dijadikan inang pengasuh dari Rualletté, yang lengannya memakai gelang emas, masing-masing memegang suluh. Inang yang tangannya penuh diti riaweq ribuan pula jumlahnya datang dengan masing-masing membawa adidi sodda. Tak ketinggalan dayang-dayang orang Rualletté yang ribuan jumlahnya, masing-masing membawa kipas keemasan.
Mereka datang dan memenuhi ruangan sekitar kelambu bersulam emas, tempat bayi raja berbaring. Tak henti-hentinya ribuan anak raja bangsawan tinggi penghuni istana berganti-ganti memangku sang bayi. Mereka seperti tak ingin membiarkannya putra mahkota itu menyentuh tikar. Untuk kesempurnaan tidur sang bayi, ditempatkanlah tiga ratus bangsawan tinggi pemuka negeri untuk menjaga tubuh dan setiap tarikan nafasnya dari gangguan roh jahat .
Siang malam bayi raja itu dijaga dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Dan menjelang usia tiga bulan, ia pun mulai pandai tertawa kecil dan dapat menuruti maksud ucapan para inang pengasuh dan orang-orang di sekitarnya.