Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /9/
/9/
perjalananku panjang dan melelahkan
namun semua terbayar oleh kegembiraan rakyat
yang mengetahui kedatanganku
mereka berbondong-bondong datang
membawa yang terbaik yang mereka punya[1]
walau bertahun-tahun mengungsi
kampung ini bisa menghidupi ribuan orang
ribuan pohon-pohon sagu tumbuh menjulang
menjadi makanan pokok rakyat
kapurung[2], dange[3], sinole’[4] dan lainnya
yang berbahan sagu
menjadi menu harian yang teramat nikmat
dirambah lagi dengan tanah yang subur
yang di atasnya bisa tumbuh beraneka tanaman
sungai, rawa dan pantai yang dipenuhi ikan
dan berbagai sumber makanan
di dalam perkampungan yang masih berupa hutan
aku bagai hidup dalam Istana
walau di setiap tarikan nafasku
kepedihan menyaksikan kesengsaraan mereka
menggedor-gedor nuraniku yang terdalam
“mereka harus keluar dari kesengsaraan ini”
aku tak ingin
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /21/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /20/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /19/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /23/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /22/
tulang belulang yang remuk berserakan
di atas tanah ini sia-sia
aku tak rela
air mata dan darah yang mengalir deras
dari luka-luka menganga dan sobekan derita panjang
di sekujur tubuh kurus dan membusuk
tak berarti apa-apa
[1] Saat mengetahui keberadaan Datu Luwu di daerah mereka, rakyat berbondong-bondong datang membawa berbagai macam makanan, baik yang mereka masak sendiri maupun dari hasil kebun. Rakyat sangat ingin bertemu langsung dengan Datu Luwu, terutama yang tak sama sekali tak pernah melihat rajanya.
[2] Makanan pokok masyarakat Luwu selain beras. Pada zaman dahulu, kapurung atau ada juga yang menye-butnya bugalu/pogalu lebih diutamakan dari nasi (beras). Kapurung atau bugalu ini terbuat dari bahan sagu yang telah disiram dengan air panas hingga mengental. Lalu dibuat dalam bentuk bulat-bulat kecil menggunakan dua buah batang bambu yang dibuat menyerupai sumpit. Bulatan-bulatan yang biasanya dimasukkan ke dalam kuah ikan, kuah daging atau kuah udang itu, kemudian dicampur dengan sayur, udang, daging atau beberapa campuran lainnya yang saat ini makin variatif.
[3] Sejenis penganan yang terbuat dari sagu yang dikeringkan, bentuknya pipih, segi empat panjang. Alat pembuatnya disebut addageng yang terbuat dari tanah liat berbentuk segi empat panjang dan terdapat beberapa lubang (biasanya berjumlah 10 buah) berbentuk persegi empat panjang (pipih) sebagai tempat cetakan dangé. Makanan ini tahan lama, karena itulah di masa revolusi pasukan Luwu tidak pernah mengalami kekurangan makanan, terlebih makanan ini bisa disembunyikan di bawah tanah.
[4] Penganan yang terbuat dari sagu yang dicampur dengan parutan kelapa yang disangrai di atas wajan.
***
IDWAR ANWAR yang dikenal sebagai penulis, sastrawan, budayawan dan juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, lahir di Kota Palopo, ibu kota terakhir Kedatuan Luwu.
Lelaki yang akrab disapa Edo ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri 77 Palopo, SMP Negeri 3 Palopo dan SMA Negeri 2 Palopo. Idwar kemudian hijrah ke Makassar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin.
Sejak mahasiswa, Idwar aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus antara lain; sebagai Ketua Himab Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), dan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.
Idwar juga pernah menjadi Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel (2010-2013), Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo di Barru (2002) dan Masamba (2003), menjadi Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara (2002), Mufakat Budaya Indonesia (2018), bahkan sempat menjadi Dosen Luar Biasa di almamaternya. Dan kini sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Sulsel.
Di dunia politik, Idwar pernah menjadi Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Palopo, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Palopo (2010-2015) dan Anggota BP Pemilu DPD PDI Perjuang-an Sulsel. Saat ini ia aktif sebagai Sekretaris DPD Banteng Muda Indonesia Sulsel (2017-2020) dan anggota Komite Kehormatan DPD PDI Perjuangan Sulsel (2015-2020).
Selain aktif berorganisasi, sejak mahasiswa sampai saat ini Idwar aktif menulis dan ratusan tulisannya dimuat di berbagai media, berupa artikel, resensi buku, esai, puisi dan cerpen. Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media.
Aktif dalam dunia literasi, Idwar mendirikan Rumah Baca Arung, menjadi pemateri dalam berbagai acara bedah buku, pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif, serta menjadi pengurus lembaga pengembangan minat baca. Diantaranya, menjadi Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Palopo (2011-2014), Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia Palopo, Pengurus GPMB Provinsi Sulsel, dan pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulsel.
Dalam dunia kesenian dan kebudayaan, Idwar kerap membacakan karya-karyanya di berbagai tepat. Aktif sebagai Ketua Dewan Kesenian Palopo (2005-2015) dan di LAPAKSS - Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Indonesia Sulsel (2017-2021).
Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Novel Merah di Langit Istana Luwu; La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1); La Galigo: Mutiara Tompoq Tikkaq (jilid 2) dan La Galigo: Lahirnya Kembar Emas (jilid 3). Kumpulan Cerpen Mata Ibu; Kota Tuhan; dan Ibu, Temani Aku Menyulam Surga. Kumpulan Sajak Zikir dan Kado Cinta. Adapula Kumpulan Cerita Rakyat Tana Luwu (Jilid 1). Buku lainnya, Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, Jejak-Jejak Suara Rakyat Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo; Ensiklopedi Sejarah Luwu (2005); Ensiklopedi Kebudayaan Luwu (2006); Palopo dalam Spektrum Waktu, dan Buku-buku Pelajaran Mulok Sejarah dan Kebudayaan Luwu untuk SD, SMP dan SMA.