Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /10/
/10/
kami terus berjalan menyusuri semak belukar
menebas deretan pohon-pohon bakau
yang tumbuh berpelukan
kaki-kami kami melepuh
berkubang di dalam lumpur
menapaki bebatuan
melibas rumput dan perdu
di bawah terik matahari
dan pekatnya malam
kecuali orang tua dan ibu hamil
tak ada yang ditandu
aku ingin merasakan penderitaan para pejuang
semua merasakan perjalanan sesungguhnya
perjalanan menuju kemenangan
yang harus direbut
dengan perjuangan pantang menyerah
aku bisa merasakan betapa rakyat
teramat mengasihiku
begitu menghormatiku
meninggalkan Cappasolo menuju Pongko[1]
1 Februari 1946
aku merasakan waktu terpenjara
rasanya begitu lama
sejak meninggalkan Istana Luwu
tapi kusaksikan gelora berkobar-kobar
di balik wajah-wajah lelah
rakyat dan para pemuda pejuang
sungguh membuatku malu pada diri
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /20/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /19/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /23/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /22/
- Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /21/
rasanya aku hanya memberi beban
sorot mata mereka siap siaga menjagaku
memenuhi semua kebutuhanku
meski dalam keadaan yang serba kekurangan
dan menjadi incaran moncong senjata
7 Februari 1946, perjalanan belum berakhir
serupa mengeja waktu
langkah kami gontai
terseret menuju Wellang Pellang[2]
menyisir kampung Pombakka[3].
hingga langkah berakhir di Batu Pute[4]
bukanlah perjalanan yang mudah
rintangan menerjang dari berbagai arah
kami terus bergerak
menyeret langkah
karena kami mencium aroma harapan
meski di ujungnya
ada kematian yang menghadang[5]
[1] Kini berada di wilayah Walenrang Utara, Kab. Luwu.
[2] Kini berada di wilayah Malangke Barat, Kab. Luwu Utara.
[3] Kini berada di wilayah Malangke Barat, Kab. Luwu Utara.
[4] Batu Putih, kini berada di wilayah Kab. Kolaka Utara. Tempat ini merupakan wilayah yang dikelilingi bukit terjal dan hanya memiliki satu jalan masuk, sehingga sangat cocok untuk dijadikan benteng dan tempat persembunyian.
[5] Pasukan NICA/KNIL terus memburu Datu Luwu dan rombongannya yang terus melakukan perang gerilya. Kendati dalam pelarian, Datu Luwu Andi Jemma tetap memimpin perlawanan dan menginstruksikan semua daerah di wilayah Kedatuan Luwu untuk terus melakukan perlawanan habis-habisan terhadap penjajah.
***
IDWAR ANWAR yang dikenal sebagai penulis, sastrawan, budayawan dan juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, lahir di Kota Palopo, ibu kota terakhir Kedatuan Luwu.
Lelaki yang akrab disapa Edo ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri 77 Palopo, SMP Negeri 3 Palopo dan SMA Negeri 2 Palopo. Idwar kemudian hijrah ke Makassar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin.
Sejak mahasiswa, Idwar aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus antara lain; sebagai Ketua Himab Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), dan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.
Idwar juga pernah menjadi Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel (2010-2013), Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo di Barru (2002) dan Masamba (2003), menjadi Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara (2002), Mufakat Budaya Indonesia (2018), bahkan sempat menjadi Dosen Luar Biasa di almamaternya. Dan kini sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Sulsel.
Di dunia politik, Idwar pernah menjadi Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Palopo, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Palopo (2010-2015) dan Anggota BP Pemilu DPD PDI Perjuang-an Sulsel. Saat ini ia aktif sebagai Sekretaris DPD Banteng Muda Indonesia Sulsel (2017-2020) dan anggota Komite Kehormatan DPD PDI Perjuangan Sulsel (2015-2020).
Selain aktif berorganisasi, sejak mahasiswa sampai saat ini Idwar aktif menulis dan ratusan tulisannya dimuat di berbagai media, berupa artikel, resensi buku, esai, puisi dan cerpen. Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media.
Aktif dalam dunia literasi, Idwar mendirikan Rumah Baca Arung, menjadi pemateri dalam berbagai acara bedah buku, pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif, serta menjadi pengurus lembaga pengembangan minat baca. Diantaranya, menjadi Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Palopo (2011-2014), Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia Palopo, Pengurus GPMB Provinsi Sulsel, dan pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulsel.
Dalam dunia kesenian dan kebudayaan, Idwar kerap membacakan karya-karyanya di berbagai tepat. Aktif sebagai Ketua Dewan Kesenian Palopo (2005-2015) dan di LAPAKSS - Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Indonesia Sulsel (2017-2021).
Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Novel Merah di Langit Istana Luwu; La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1); La Galigo: Mutiara Tompoq Tikkaq (jilid 2) dan La Galigo: Lahirnya Kembar Emas (jilid 3). Kumpulan Cerpen Mata Ibu; Kota Tuhan; dan Ibu, Temani Aku Menyulam Surga. Kumpulan Sajak Zikir dan Kado Cinta. Adapula Kumpulan Cerita Rakyat Tana Luwu (Jilid 1). Buku lainnya, Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, Jejak-Jejak Suara Rakyat Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo; Ensiklopedi Sejarah Luwu (2005); Ensiklopedi Kebudayaan Luwu (2006); Palopo dalam Spektrum Waktu, dan Buku-buku Pelajaran Mulok Sejarah dan Kebudayaan Luwu untuk SD, SMP dan SMA.