Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 9


 Bab IX

Upacara Kelahiran Batara Lattuq

    SAAT fajar menyingsing keesokan harinya, cahaya matahari yang mengerjap-ngerjap di antara gerimbunan dedaunan mulai menyemarakkan pagi. Daun-daun yang masih didekap embun, sedikit-sedikit bergoyang oleh angin yang menghembuskan udara dingin.

Di dalam istana, Manurungngé dan permaisuri-nya mulai terbangun. Melihat ke samping, menangkap wajah istrinya yang masih kusut, Batara Guru mengucek-ngucek matanya. Usai menenangkan pikiran, ia perlahan bangun dan langsung mengambil mangkuk putih untuk mencuci muka. Di depan cermin dirapikannya wajah dan rambutnya. Diraihnya cerana emas yang tergeletak di sisi kanan di bawah cermin dan membukanya. Ia pun menyirih, menenangkan hati.

Sejenak ia berpaling ke arah istrinya yang sedang merapikan diri. Lalu tatapannya jatuh di wajah perempuan itu:

“Sebaiknya kita melepaskan nazar secepatnya adinda. Biarlah kita korbankan ribuan ekor kerbau untuk belas kasih To Palanroé, karena kelahiran bayi kita dengan selamat dan engkau pun masih hidup. Akan kuperintahkan kepada para inang untuk segera memanggil semua penduduk di daerah sekitar Luwu dan Ware serta yang berbatasan dengan Sabbamparu. Kuberitahu juga kepada para anak raja, bangsawan tinggi pendamping, bangsawan mulia pengiring, para pemuka pejabat, dan baliranté, agar berkumpul di istana ini. Saat itulah, akan kucarikan pula nama yang baik bagi anak kita.”

“Baiklah Opu. Sepertinya itu usul yang baik. Tidak baik kalau terlalu lama kita melepaskan nazar, padahal kita telah mampu melaksanakannya.”

Tidak lama, Batara Guru memanggil Wélong Mpabareq untuk secepatnya mempersiapkan segala keperluan upacara.

Segera saja Wélong Mpabareq berdiri dan berjalan ke luar istana dan menyuruh beberapa orang untuk melaksanakan tugas yang diberikan Batara Lattuq.

Sebentar saja, ucapan Manurungngé pun terlaksana. Belum hancur daun sirih yang dikunyah, berkumpullah semua penduduk sekeliling Luwu, sekitar Ware, dan tetangga Sabbamparu di depan istana keemasan manurung. Berdesak-desakan para anak raja pendamping dan bangsawan tinggi di dalam pekarangan. Melimpah pula orang yang berada di bawah pohon asam.  

 ***

 Sejak meluncurnya di atas tikar bersulam emas bayi yang keluar dari rahim Wé Nyiliq Timoq tiga bulan yang lalu, selama itu pula tak henti-hentinya keramaian menyelimuti di istana Luwu, utamanya di bawah pohon asam. Tak berhenti pula upacara kekahyangan bayi raja dilakukan. Teriakan dan sorak-sorai para penjudi di bawah naungan pohon mellawéq juga tiada berhenti memekakkan telinga.

Bukan hanya itu, muara sungai, pelabuhan, juga tak kunjung sepi. Tak ada berselang hari para penyabung ayam berdatangan, menumpangi wangkang emas dari negerinya yang jauh di seberang lautan.

    Setelah beberapa orang penting yang dipanggil Manurungngé telah berkumpul, ia pun lantas memerintahkan kepada para jenang agar mengum-pulkan tukang yang pandai lagi bijaksana di gelanggang. Mereka akan diminta membuat alat sebagai tempat menambatkan kerbau camara. Dengan suara berwibawa dan sedikit ditinggikan, ia juga memerintahkan untuk mencari tukang yang mampu menempah tanduk emas dan membentuk gelang yang kukuh untuk cocok kerbau. Ia juga pandai menuang rantai emas sebagai pengalung leher kerbau yang akan dikorbankan sesuai nazar.