Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mata Ibu



Hari ini, hari yang indah dalam hidupku, khususnya bagi ibu. Hari ini aku akan mengakhiri masa studi di salah satu universitas ternama di kotaku.

“Aku wisudaaaaaaa,” pekikku dalam hati.

Kebahagiaan terlihat jelas di wajahku ketika bercermin sambil mencoba toga yang akan aku pakai pada saat wisuda nanti.

“Ya, Allah aku benar-benar akan diwisuda. Rasanya sulit membayangkan kembali perjalanan panjang masa-masa kuliah.” Aku menarik nafas panjang. Berbagai hal lalu-lalang di benakku.
Perjalanan panjang dan melelahkan di masa-masa kuliah benar-benar berhasil kuarungi. Penuh rintangan, peluh, derita, terluka, berdarah-darah. Namun aku tampil sebagai salah seorang pemenangnya. Dan hari ini aku  bersama seribuan mahasiswa lainnya akan di wisuda.

Aku merasa mampu membuktikan diri mampu keluar dari lubang jarum. Sebuah pergumulan yang luar biasa dengan berbagai derita. Perjuangan selama 4 tahun lebih yang kulakoni merupakan sebuah perjuangan yang maha dahsyat.

Aku sering kali digerogoti perasaan ragu akan kemampuanku sendiri untuk menyelesaikan kuliah. Aku ragu bukan karena kesanggunpan otak dan fisikku untuk menangkap berbagai ilmu pengetahuan di bangku kuliah. Tetapi aku ragu dengan kemampuanku untuk membayar uang kuliah dan biaya hidup selama kuliah.

Syukurlah, semua keraguan itu terjawab sudah. Aku benar-benar mampu menyelesaikan kuliahku dengan baik dan berhak menyandang titel sarjana.

Kalimat ‘You are what you think’ yang kutempel di dinding kamar dengan huruf besar berwarna merah sungguh mampu membuat semangatku selalu terpacu. Belum lagi berbagai nasehat yang kudapatkan, terhujam begitu dalam pada diriku.

Jalan terjal penuh liku-liku, telah kulalui dengan senyum penuh kemenangan. Aku berhasil menaklukkan kemiskinan, menaklukkan berbagai prasangka, dan yang paling utama, menaklukkan diriku sendiri untuk kemudian bangkit meraih harapan yang sekian lama kuimpikan.

Impianku meraih gelar sarjana menjadi langkah awal untuk meraih cita-citaku yang lain. Semua langkah yang telah kujalani senantiasa kuanggap sebagai langkah awal untuk terus melangkah. Itu kulakukan agar aku selalu merasa segar setiap menyelesaikan sesuatu. Agar aku selalu ingin melakukan sesuatu yang baru.

Aku tak ingin batinku lelah akibat begitu panjang perjalanan yang harus dilalui. Bagiku, itu merupakan strategi yang mungkin saja tidak sama dengan pandangan orang lain. strategi agar aku tetap mampu bertahan dan melakukan sesuatu yang jauh lebih besar. Tentu lebih besar dari yang pernah kubayangkan mampu kerjakan.

Tentu 4 tahun lebih bukanlah perjalanan pendek yang harus dilalui bagi seseorang dengan berbagai keterbatasan, khususnya dalam hal ekonomi. Bagi orang kaya, mungkin hanya proses perkuliahan yang membebani dirinya. Namun bagi orang sepertiku, berbagai aspek selama proses perkuliahan menjadi kendala besar yang harus kulalui dengan sekuat tenaga.

Mental yang kuat untuk terus bangkit dan berjuang, tentu menjadi syarat utama yang harus dimiliki. Kalau itu tak ada, kemungkinan besar seseorang akan terhempas jauh dari impiannya.

* * *

Bangun dari tidur, tadi pagi-pagi sekali aku langsung ke sumur untuk mandi. Air dingin yang menyentuh kulitku terasa begitu menyegarkan tubuh dan pikiran. Aku mengguyur tubuh berkali-kali, menikmati kesegaran air di pagi hari yang mengaliri lekuk tubuhku. Beban yang selama ini terasa begitu banyak, berkurang perlahan-lahan. Kini, setelah menjadi sarjana, aku harus mempersiapkan diri untuk kembali menghadapi kehidupan nyata yang telah kurasakan pahit getirnya.

Kebahagiaan yang kurasakan tentu bukan hanya untuk diriku. Sejujurnya, apa yang kuraih ini semuanya kupersembahkan pada ibuku. Sungguh, ibu begitu tak percaya akan memiliki seorang anak yang mampu melampaui pendidikannya yang hanya tingkat SMA. Ibu tentu begitu bahagia, bahkan kadang membuatnya seperti berada dalam mimpi. Berkali-kali ibu bersujud syukur. Serasa sujudnya tak menunjukkan kesungguhan, hingga ibu melakukannya berkali-kali.

Kerap ibu juga bertanya kepadaku, benarkah aku telah menjadi seorang sarjana? Seakan-akan aku sedang membohonginya. Seolah-olah aku telah merekayasa gelar sarjana yang telah kuraih.  Ibu tak begitu yakin mampu menyekolahkan seorang anak hingga menjadi sarjana? Pertanyaan keraguan itu sering menderanya. Keraguan itu selalu datang tiba-tiba.

“Bukan aku yang menyekolahkanmu, Nak. Ibu tak mampu membiayai kuliahmu. Sekolah adik-adikmu saja, ibu harus membanting tulang untuk membayarnya. Belum lagi uang buku, baju, tas dan semua tetek-bengek yang mengatasnamakan sekolah. Terlebih saat kakekmu meninggal, kesulitan luar bisa benar-benar ibu harus hadapi,” ucap ibu ketika aku mengucapkan terima kasih karena telah menjadikan aku seorang sarjana.

Aku benar-benar tersentak. Mulutku sejenak tak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya air mataku yang perlahan-lahan mengalir.

“Ibu, jangan berkata seperti itu. Doa ibulah yang membuat saya kuat dalam menjalani semua rintangan yang terus menghadang. Terima kasih telah mendoakanku. Terima kasih telah berbuat yang terbaik untukku, kendati ibu dalam ketidakberdayaan,” ucapku.

Aku benar merasa tercabik-cabik mendengar perkataan ibu. Air mataku kian mengalir deras. Tak kuasa aku menatap wajah ibu, apalagi menyelam di kebeningan matanya. Perih. Aku bersimpuh dan mencium kaki ibu. Kaki yang selama ini tak pernah lelah mencari penyambung hidup keluarga.
Lama kedua kaki perempuan yang telah melahirkanku itu kucium. Air mataku membasahi kedua kaki hitam dan berkeriput itu. Kaki yang mungkin tak pernah mendapat perawatan seperti perempuan-perempuan kaya dan modis lainnya. Namun di kaki itu, aku selalu bersimpuh dan menyerahkan seluruh kedirianku. Jika ada manusia yang patut disembah di dunia, maka ibulah yang paling pantas untuk itu.

Kulihat ibu hanya bisa menangis sembari mengelus kepalaku. Begitu kurasakan, perempuan tua itu tak kuasa menahan kesedihan dalam dadanya yang terus bergejolak.

Mungkin ibu tak pernah membayangkan akan berada di antara orang tua yang anaknya akan di wisuda. Membayangkan berada di keramaian, di antara orang tua-orang tua yang berbahagia karena anaknya telah menyelesaikan pendidikan, membuatnya tidak percaya diri.

Kata wisuda pun baru ibu dengar dariku. Ibu gelagapan ketika aku memintanya untuk datang dan menemaniku saat wisuda. Saat itu, ibu kebingungan harus membawa makanan apa, juga harus memakai pakaian apa. Sungguh ibu tak pernah tahu seperti apa suasana saat wisuda berlangsung.
Karena itu, ibu sibuk mencari pakaian yang pantas dipakai. Ibu tak ingin mempermalukan aku karena pakaian yang dipakainya dianggap tidak pantas untuk acara resmi. Ibu tak ingin aku menjadi minder akibat orang tuanya tak mampu menempatkan diri di antara orang tua-orang tua para wisudawan.
Pakaian-pakaian adik-adikku pun dipersiapkan dengan baik. Walaupun murah, tapi itulah pakaian yang paling baru yang dibelinya. Setiap tahun, pada perayaan Idul Fitri, biasanya ibu memaksakan diri untuk membeli pakaian atau makanan yang selama setahun sangat sulit kami rasakan.

* * *

Aku masih bersimpuh di kaki ibu menyerahkan segala pengabdianku yang teramat tulus untuk perempuan yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku. Air mataku terus menderas mengalir membentuk lekuk-lekuk sungai di wajahku. Aku terus saja menciumi kaki ibu. Sepasang kaki kokoh yang terus menghujam bumi demi menghidupi anak-anaknya.

Perasaan bersalah sungguh mati menghentak-hentak batinku. Aku dengan segenap hati tak ingin melukai perasaan ibu. Sebutir debu pun keinginan itu, tak ada dalam hatiku.

“Maafkan ibu jika selama ini tak bisa membantumu dengan baik. Tak bisa memberikanmu yang terbaik, bahkan hingga kau mampu menjadi sarjana. Ibu tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku. Kau laki-laki yang perkasa. Kau benar-benar kuat dan sabar menghadapi tantangan dalam hidup.” Suara ibu terdengar lenguh.

Aku tak kuat mendengarnya. Tak mampu menatap matanya yang sembab. Mata yang selama ini mampu membuatku tenang. Mata yang di kedalamannya membuat aku teramat merasa tenang dan damai. Mata yang dengan segala kesungguhanku tak pernah kubuat menangis. Mata yang selalu kuhindarkan dari kecemasan, apalagi kekecewaan terhadapku.

“Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Sampai saat ini aku belum bisa memberikan apa-apa untuk Ibu. Sungguh malu rasanya dengan gelar sarjana yang sekarang kusandang, sebab masih membuat ibu susah. Aku harus membahagiakan ibu, meski saya tahu, apapun yang saya lakukan tak akan mampu membalas kebaikan ibu. Ibu begitu istimewa. Tak seorang pun yang bisa melampauinya. Ibu yang telah mengandungku selama kurang lebih 9 bulan dalam kondisi yang tak menentu. Lalu melahirkanku dengan penuh kesakitan dengan mempertaruhkan nyawa. Ibu juga menyusuiku selama 2 tahun, merawatku saat belum bisa berbuat apa-apa, hingga saya seperti itu. Ibu mengajariku merangkak, berdiri, berjalan hingga aku dapat berlari. Ibu menuntunku mengucapkan satu demi satu kata tanpa pernah lelah, sampai aku dapat berbicara. Dengan apapun tak akan mungkin semua itu dapat terbalaskan. Kasih sayang ibu tak ternilai harganya.” Suaraku pelan beriringan dengan isak yang tak henti-henti terdengar.

Ibu membelai rambutku. Aku serasa dihembus angin sepoi.

“Kau benar-benar anak yang berbakti. Insya Allah, Tuhan pasti akan selalu mempermudah jalanmu.”
“Terima kasih, Bu. Ibu merupakan cinta abadi buatku. Ketulusan cinta yang sangat luar biasa, yang membuatku mampu mengatasi berbagai masalah.”

Aku merasakan kehangatan belaian ibu mengaliri kesadaranku. Aku bangkit dan memeluk erat tubuh ibu, tubuh perempuan dengan guratan penderitaan yang begitu nampak di wajahnya itu. Erat sekali. Segala kemanusiaanku tercurah pada penghambaan diri sebagai seorang anak. Penyerahan ketidak-berdayaanku terhadap perempuan paling mulia dalam hidupku.

“Ibu harap kamu bisa memberikan yang terbaik untuk adik-adikmu. Jangan biarkan mereka berhenti sekolah. Adik-adikmu juga anak-anak yang tangguh sepertimu. Ibu sangat bangga memiliki anak-anak yang tangguh seperti kalian.”

“Terima kasih, Bu. Aku tak akan mungkin menyia-nyiakan mereka. Mereka telah menjadi bagian dalam diriku. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan keinginan ibu. Dan mewujudkan impian kami semua untuk memberikan yang terbaik bagi ibu.”

Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Kesedihan merambati keempat adikku. Air bening di sudut mata mereka dibiarkannya mengalir membentuk lekuk kesedihan yang teramat dalam mereka rasakan.

“Bu, sekarang kita berangkat ke tempat wisuda. Semoga hari ini ibu bisa merasakan kebahagiaan.”
“Mendengarmu lulus di universitas negeri saja ibu sungguh bahagia, apalagi melihatmu memakai pakaian wisuda seperti itu. Ibu begitu bahagia. Ibu tak henti-hentinya berdoa untuk semua usaha baik yang kau lakukan. Sebab hanya itu yang ibu bisa lakukan. Ibu benar-benar tak berdaya untuk membantumu.”

Aku menatap ibu dalam-dalam. Berusaha menyelami suasana hatinya yang terdalam.

* * *

Suasana pagi dengan hembusan angin yang menggoyangkan pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar gedung tempat wisuda, begitu terasa menyejukkan. Para wisudawan sibuk mengatur keluarga yang akan masuk ke dalam gedung tempat wisuda. Para penjual asongan sibuk menawarkan dagangannya. Orang-orang lalu-lalang dengan pikiran masing-masing.

Sekilas aku melihat ibu yang berjalan di sampingku. Aku merasakan sebuah kebanggaan luar biasa dirasakannya. Seorang perempuan tangguh mendampingiku meraih masa depan yang lebih baik. Perempuan perkasa yang mampu merobohkan ‘kepongahan’ penderitaan dengan kesabarannya.

Mata ibu berbinar. Serupa telaga bening, begitu tenang. Aku selalu ingin berteduh di kedalamannya. Mata yang selama ini menyejukkan hatiku.

makassar, juni 2016