Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan yang Bersujud di Depan Ka'bah


Perempuan itu menumpahkan segala rindunya pada Sang Kekasih. Ia bersujud dengan penuh takzim. Menyerahkan segenap penghambaannya. Melarutkan segala dosa yang puluhan tahun bersemanyam dalam dirinya. Peluh mengalir deras dari setiap lubang pori-porinya.

Tiada kuasa yang lebih tinggi yang sanggup mengantarnya di hadapan Ka’bah selain kekuasaan yang Maha Segalanya. Itulah yang membuatnya teramat bahagia. Kerinduan macam apalagi yang mampu membuatnya terkapar dan bersimpuh dengan air mata yang tak terbendung, kecuali kerinduan pada Sang Kekasih.

Telah lama perempuan tua itu merindukan Ka’bah. Ia selalu membayangkan dapat menginjakkan kakinya di Tanah Suci Mekkah, memasuki dan shalat di dalam Masjidil Haram, tawaf, mencium Hajar Aswad, berziarah ke makam nabi dan meminum air zamzam.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekah, tubuhnya bergetar. Perempuan tua itu masih tak percaya tubuh rentanya kini berada di tanah kelahiran Nabi Muhammad rasul junjungannya. Rasa berdosa kian menghujam kesadarannya. Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja.

Memasuki kota suci Mekah, terasa ada kekuatan maha dahsyat yang mengaliri tubuhnya. Kota ini terletak di ketinggian sekitar 330 meter dari permukaan laut dan menempati sebuah lembah kering dan dikelilingi gunung-gunung karang yang tandus. Lembah ini memanjang dari barat ke timur sekitar 3 km dan dari utara ke selatan sepanjang 1,5 km. Kota ini terasa begitu panas di bulan Juli dan Agustus yang memang bisa mencapai 54 derajat celcius. Namun pada Desember dan Januari, suhunya sangat dingin hingga mencapai 10 derajat cercius.

Hawa panas yang menggerayangi tubuh kurusnya, membuat perempuan itu ringkih. Rambutnya yang dipenuhi warna putih tertutup pakaian ihram yang dikenakannya. Garis-garis kerutan cukup jelas nampak berderet di wajahnya. Guratan-guratan itu begitu kokoh, menakwilkan usianya yang kian menua.

Tetapi bisikan lembut itu begitu kuat memanggil-manggil perempuan tua itu. Tak henti-henti datang di setiap tidurnya.

Labbaik Allahumma Labbaik,
Labbaik laa syariika laka labbaik
Innal haamda wanni’mata laka wal mulk
Laa syariika laka

“Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagimu, ya Allah aku penuhi panggilanMu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untukMu semata-mata, segenap kerajaan untukMu. Tidak ada sekutu bagiMu.”

Batinnya mengeja setiap lafaz itu dengan lembut dan penuh penghambaan.

* * *

Di dalam gubuknya berukuran 4 x 5 meter, perempuan tua itu tafakkur. Dipenuhinya gubuk reok itu dengan sujud. Tak satu senti pun tanah di dalam rumahnya tak terkena sujudnya.
Tak ada marmer, tidak pula tegel, lantai semen atau bahkan lantai kayu. Lantai gubuknya hanya tanah yang sudah mengeras karena selalu diinjak oleh kakinya yang makin hari kian rapuh. Dinding gubuk yang terbuat dari papan-papan bekas yang sudah dibuang nampak berusaha disusun dengan rapi.
Kayu-kayu dengan potongan yang tidak teratur itu berhasil menutupi gubuk berlantai tanah perempuan tua itu. Kendati hidup dalam keadaan serba kekurangan, namun setiap hari perempuan tua itu selalu nampak ceria. Hidup, dalam pikirannya harus dinikmati dan disyukuri apapun yang diberikan oleh Allah.

Dalam pandangannya, kehidupan yang diberikan oleh Allah haruslah dinikmati dan syukuri. Apapun yang dialami merupakan bagian dari perjalanan hidup yang memang telah ditakdirkan.

Tak ada televisi, bahkan sebuah radio untuk hiburan. Setiap hari dari dalam rumahnya terdengar lantunan al Quran yang keluar dari mulutnya. Ia memang tak pernah meninggalkan membaca al Quran, khususnya pada malam hari atau menjelang subuh. Suaranya lamat-lamat terdengar merdu meski keluarga dari mulutnya yang giginya sudah hampir habis.

Sebuah al Quran lusuh tanpa sampul sekian lama telah menemaninya. Kitab suci itu kerap disimpannya di atas bantal satu-satunya yang dimiliki perempuan tua itu. Ia begitu menjaga satu-satunya harta dimilikinya.

Perempuan tua itu hidup sebatang kara. Anak satu-satu yang ia lahirkan dari rahimnya, hilang entah kemana saat usianya 10 tahun. Banjir yang menerjang kampung harus memisahkannya dari anak laki-laki satu-satunya itu. Puluhan tahun lamanya, anak semata wayang itu menggelisahkan dirinya. Kepergian suami yang dicintainya baginya tidaklah begitu menimbulkan kesedihan yang teramat dalam. Namun kehilangan anak satu-satunya, membuat perempuan itu hancur dan kehilangan arah.

Kesedihan atas kehilangan seseorang yang dicintai, terlebih seorang anak yang telah lama diimpikan tentu bukanlah seperti kehilangan sebuah benda kesayangan. Luka yang mendalam sangat dirasakannya. Perempuan itu begitu larut dalam kesedihan yang mengantarnya pada kehilangan kepercayaan pada Tuhan.

Bertahun-tahun, ia mengutuk Tuhan yang telah mengambil orang-orang yang dicintainya. Kedua orang tuannya, suaminya meninggal tidak jauh berselang. Begitu pula musibah banjir yang menimpa desa dan memisahkannya dengan anaknya begitu merobek-robek perasaan perempuan itu. Ia tak rela anak yang diidam-idamkannya bertahun-tahun harus diambil pula oleh Tuhan.

Hampir setiap hari ia mengutuki Tuhan. Rasa sakit yang mendalam yang dirasakannya telah menggelapkan kesadarannya. Lisannya dipenuhi dengan belatung sumpah serapah pada Tuhan. Tak ada sedikit pun kalimat baik untuk Tuhan yang keluar dari mulutnya. Tuturnya tak pernah kehilangan cacian kepada Tuhan.

Hati perempuan itu benar-benar telah berkarat, tertutup darah dan air mata. Seperti tak ada kebaikan yang selama ini dirasakannya. Seakan tak secuil pun anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Baginya, semua kehidupan di dunia ini memang telah berjalan seperti itu tanpa campur tangan dari apapun. Tak ada Tuhan.

Kehidupan bagi perempuan itu hanya untuk bersenang-senang. Setelah kehilangan orang yang dicintainya, ia pun pergi meninggalkan desa tempat kelahirannya. Desa dimana ia menikmati masa-masa kecil, hingga menikah dengan seorang pria tampan yang sangat dicintainya. Kendati bertahun-tahun pernikahannya baru memiliki seorang anak, namun perempuan itu sangatlah bahagia. Hingga semuanya hancur berkeping-keping tatkala musibah itu datang bertubi-tubi menimpanya.

Di kota, perempuan itu menikmati kehidupan dunia sepuas hatinya. Ia mengerjakan semua hal yang selama ini dibenci dan dijejalkan di kepalanya sebagai dosa. Minum beralkohol dan narkoba menjadi santapannya setiap hari. Baginya tak ada larangan agama yang harus ditaatinya. Semuanya nonsense, omong kosong.

Kepedihan membuatnya menjadi perempuan liar. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Tak ada larangan dalam dirinya. Tak pernah sedikitpun ia beribadah. Baginya tak ada yang perlu disembah. Tuhan sesungguhnya tak ada.

Perempuan itu mendengus tatkala mendengar nasehat dari siapapun. Nafasnya panas. Seolah ia ingin membakar semua manusia yang dianggapnya sok suci, sok menasehati. Sedangkan mereka sendiri berlumuran dosa. Perempuan itu betul-betul muak.

Hingga suatu hari, perempuan itu menemukan sesuatu yang berada dalam dekapannya. Sebuah kitab suci yang bertahun-tahun lalu senantiasa bersamanya. Entah dari mana al Quran itu berasal. Yang pasti ketika perempuan itu terbangun setelah semalaman berpesta narkoba dan tak sadarkan diri, ia telah berada di sebuah ruangan berukuran sekitar 5 x 6 meter dan sedang memeluk al Quran. Kamar yang selama ini disewanya bersama teman-temannya tiba-tiba dirasakannya menjadi aneh. Ada kekuatan lain yang begitu lembut mendekapnya.

Mendapati itu, tubuhnya bergetar. Perempuan itu tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia seakan disekap dalam kegamangan. Cahaya-cahaya yang entah dari mana datangnya seolah menyelimuti tubuhnya. Batinnya begitu tenang.

Sejak itulah ia meninggalkan semua yang ada pada dirinya, kecuali beberapa lembar pakaian dan sebuah al Quran yang hampir tak pernah ia lepaskan dari dekapannya. Langkahnya membawa perempuan itu menuju sebuah desa yang hingga tuanya menjadi tempatnya berzikir.

Tak terlintas lagi kenikmatan dunia dalam dirinya. Kemiskinan yang dialami, baginya hanya tampak dari luar. Semuanya hanya terlihat oleh mata zahir. Ia telah memasrahkan segala kesedihan yang selama ini menimpa yang membuatnya harus mengingkari keberadaan Tuhan.

Puluhan tahun perempuan itu hidup dalam kesendirian fisik di sebuah gubuk kecil yang dibangunkan oleh warga. Setiap hari lidahnya dialiri lafadz-lafadz al Quran. Zikir yang tak pernah putus dalam setiap aktivitasnya membuat orang-orang di sekitarnya sangat menghormatinya.

Hingga suatu hari, seseorang datang mengunjunginya dan mengabarkan bahwa perempuan itu mendapat hadiah untuk naik haji. Mendengar berita itu, air matanya perlahan mengalir, lisan terus mengucap zikir… lalu tubuhnya limbung. Perempuan itu tak sadarkan diri.

Dalam ketidaksadarannya, ia mendengar lantunan seruan kepada Allah:

Labbaik Allahumma Labbaik,
Labbaik laa syariika laka labbaik
Innal haamda wanni’mata laka wal mulk
Laa syariika laka

* * *

Ia memasuki Masjidil Haram dengan langkah gontai. Saat berjalan tubuhnya sedikit bungkuk; ringkih. Jalannya pun agak tertatih seolah tengah membawa beban yang teramat berat. Mungkin karena tulangnya yang telah menua tak sanggup lagi membawa beban tubuhnya. Gerakannya memang tak lagi selincah dulu.

Meski begitu, ia tetap tak mau menerima bantuan dari siapapun. Guratan-guratan ketegaran masih begitu terlihat di wajahnya.

Labbaik Allahumma Labbaik,

Labbaik laa syariika laka labbaik

Innal haamda wanni’mata laka wal mulk

Laa syariika laka

Batinnya terus mengucap. Selangkah demi selangkah, perempuan tua itu menjejakkan tapak kakinya di tanah suci, di Masjidil Haram yang puluhan tahun didambakannya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir menyusuri alur keriput di wajahnya. Pandangannya mengabur oleh air mata yang sesekali disekanya.

Getaran yang maha dahsyat sekonyong-konyong menjalari tubuhnya tatkala di depannya nampak bangunan berbentuk kubus yang ditutupi kain hitam yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram. Matanya tak ingin berkedip. Ka’bah yang ditutupi kiswa berwarna hitam itu seperti menyerap seluruh kesadarannya, membuatnya tanpa daya. Betul-betul kehilangan segalanya.

“Tak pantas rasanya manusia menyombongkan diri di dunia ini. Maha Besar Engkau, ya Allah.”  Suaranya lirih. Serak.

Lututnya tiba-tiba tak mampu menopang tubuhnya. Tulang-tulangnya yang memang telah rapuh dimakan usia, kian tak berdaya. Perlahan perempuan tua itu jatuh bersimpuh. Air matanya mengalir makin deras. Isaknya terdengar lirih. Kerinduan itu sungguh menggetarkan kemanusiaannya.

Ia bersujud syukur telah dipertemukan langsung dengan Ka’bah yang puluhan tahun dirindukannya. Kerinduan maha dahsyat dialaminya.

Perempuan tua itu perlahan memasukkan tangan ke lipatan bajunya dan mengeluarkan selembar kertas lusuh dan membukanya perlahan. Tangannya gemetar, takut kertas itu sobek karena telah rapuh dimakan usia. Terlebih kertas itu kerap dibasahi air mata bercampur peluh.

Sebuah foto Ka’bah terpampang besar. Foto inilah yang setiap hari dilihatnya dan diselipkan di al Qur’an yang dibacanya. Dan setiap membaca al Quran dan melihat foto itu, air matanya selalu saja mengalir dan tumpah membasahi.

Labbaik Allahumma Labbaik,
Labbaik laa syariika laka labbaik
Innal haamda wanni’mata laka wal mulk
Laa syariika laka

Kerinduan akan seruan itu menggetarkan tubuhnya. Perempuan tua itu teramat bersyukur bisa menginjakkan kaki di Tanah Haram dan melihat langsung apa yang selama ini diimpikannya. Kebahagiaan yang jauh melampaui kebahagiaan apapun yang dirasakan dan akan didapatkannya di dunia ini.

Perempuan tua itu bangkit perlahan. Tertatih ia melangkah menuju Ka’bah, yang merupakan bangunan pertama di atas bumi yang digunakan sebagai tempat menyembah Allah. Perempuan tua itu tak bisa melupakan Surat Ali Imran ayat 96; Inna awwala baitiin wudhi’a linnasilalladzi bibakkata mubaarakawwa hudallill’aalamin.

Itulah yang membuatnya sangat ingin beribadah Tanah Suci. Bahkan ia berharap dapat mengakhiri kehidupannya di dunia ini di depan Ka’bah. Ia tak ingin jiwa dan raganya jauh dari Ka’bah. Impiannya, menciumi Hajar Aswad menjadi ciuman terakhirnya di dunia ini. Ciuman yang dengan penuh harap mampu meluruhkan semua dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu.


Perempuan tua itu terus berjalan, tertatih. Tetapi ia terus berusaha berdiri tegap menatap Ka’bah, walau tubuhnya telah membungkuk. Tak seorang pun yang ia izinkan untuk membantunya berjalan.
Pandangannya terus diangkat untuk menatap bangunan bersegi empat yang terbuat dari batu-batu besar berwarna kebiru-biruan yang berasal dari gunung-gunung di sekitar Mekah itu. Bangunan yang dibangun di atas satu dasar fondasi yang kokoh yang terbuat dari batu marmer yang tebalnya sekitar 25 cm itu membuatnya begitu takjub.

Kalimat syahadat Allah Jalla Jalalah, la ilaha illallah, Muhammad Rasulullah yang disulam secara khusus dengan benang emas yang terdapat pada Kiswah sungguh menggetarkan jiwanya. Entah mengapa kalimat itu teramat jelas dalam pandangannya di antara begitu banyak ayat suci al Quran yang disulam pada seluruh Kiswa.

Penghambaan yang hakiki seorang manusia. Tubuhnya yang ringkih namun tetap berjalan tertatih menuju titik Tawaf yang letaknya searah Hajar Aswad. Lisannya tak henti-hentinya bertasbih. Wajahnya terus menghadap Ka’bah, lalu mengangkat tangan kanannya ke arah Hajar Aswad dan memberi isyarat mengecupnya. Tangannya gemetar.

“Bismillahi Wallahu Akbar.” Lembut. Air matanya tumpah.

Langkahnya mulai terayun. Lemah, tapi terus dikuatkannya. Doa-doa terus ia panjatkan. Suaranya lirih menembus kepekatan malam.

Subhamallah wal hamdu lillah wa la ilaha illa Allah wallahu akbar. Wa la haula wa la quwwata illa billah. Al ‘aliyyi al ‘adzim.

Air matanya kian menderas. Lisannya tak henti-hentinya melafadzkan doa-doa. Langkahnya mulai terayun, tertatih melewati Rukun Aswad di pojok sebelah Timur Ka’bah, menyusuri Rukun Iraqi, Rukun Syam, dan Rukun Yamani.

Segala kepedihan hidup dan dosa yang pernah dilakukannya terus bermunculan dalam kesadarannya. Suara isaknya berbaur dengan doa-doa permohonan ampun. Air matanya kian menderas mendobrak-dobrak kesadarannya.

Putaran pertama dilaluinya begitu berat. Tapi ia tak mau menyerah. Subhamallah wal hamdu lillah wa la ilaha illa Allah wallahu akbar. Wa la haula wa la quwwata illa billah. Al ‘aliyyi al ‘adzim. Kalimat yang terus mengalir dari mulutnya tak henti-henti memberinya kekuatan.

Perempuan tua itu terus melangkah. Dikuatkannya tulang-tulang penyanggah tubuhnya untuk terus bertahan membawa jasadnya yang kian rapuh. Putaran kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, sekuat tenaga dilaluinya. Terseok langkahnya menyusuri sudut demi sudut Ka’bah.

Udara malam kian mengental. Tubuh perempuan tua itu dirasakan kian merapuh. Tapak kakinya seperti tak mampu lagi menjejal bumi. Ia serasa melayang. Tubuhnya begitu ringan. Lamat-lamat pandangannya kian mengabur dan gelap. Namun ia tetap berusaha menjaga kesadarannya.

Entah kekuatan dari mana yang membawanya perlahan mendekati Hajar Aswad, kemudian bersimpuh di dinding Multazam. Doa-doa tak pernah putus memenuhi lisan dan hatinya, mengalir menyusuri udara malam yang bertambah dingin. Air mata yang bercucuran.

Perempuan tua itu bersujud. Di akhir tawaf, di dinding Multazam, ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Penuh takzim.

Malam kian pekat.

* * *

Perempuan tua yang bersujud di depan Ka’bah itu adalah ibuku.


Makassar, 1 Maret 2017