Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan dalam Pigura


Sebuah foto perempuan dalam pigura yang tertempel di salah satu sisi ruang tamu selalu menggelisahkanku. Aku tak tahu, kenapa foto itu selalu saja kulihat saat akan keluar rumah. Atau jika sedang bersantai di ruang keluarga. Seperti ada kekuatan dalam foto itu yang menarik-narik kesadaranku untuk selalu melihatnya. Tapi semua kupendam begitu saja. Tak pernah sekalipun kuceritakan pada tante atau siapa pun yang kukenal.

Kecuali….

Kecuali pada diriku sendiri, sewaktu keheningan malam datang dan aku dirundung kegelisahan. Kehilangan orang tua merupakan sesuatu yang sangat menyakitkan dalam hidupku. Ayah yang dulu meninggalkan aku, sebelum kesadaranku sebagai manusia muncul mungkin tidak begitu berbekas dalam hidupku. Namun ibu, yang samar-samar telah kukenali parasnya, telah kubaui aroma tubuhnya, jauh lebih menyakitkan.

Kendati samar-samar, tetapi ibu yang hampir setiap saat menggendongku sampai aku mampu merangkak, lalu berdiri, kemudian berjalan terseok, hingga aku mampu berlari, cukup menggores dalam benakku. Denting suaranya yang halus masih terngiang di pendengaranku. Walau samar, namun jejaknya masih dapat kutelusuri.

Itu dulu. Setelah belasan tahun lebih berlalu, suara itu, senyum itu, semua hilang terhapus waktu. Larut bersama kehadiran perempuan yang kemudian kupanggil ibu. Seorang perempuan baik dan lembut yang darinyalah kuketahui bahwa dia sesungguhnya bukanlah ibuku. Juga tak ada hubungan keluarga dengan ayah atau ibu kandungku.

Namanya Tante Maya. Aku memanggilnya mama. Dia mengangkatku sebagai anak karena tak bisa memiliki anak. Meski kehidupannya mapan, namun ia tak memiliki rahim setelah mengalami keguguran saat mengandung anak pertama. Kanker yang bersemayam dalam rahimnya telah begitu parah menggerogoti, hingga harus diangkat bersama rahimnya.

Suami mama, yang belakangan kuketahui bernama Om Arman, meninggal kurang lebih 3 tahun setelah mengadopsiku. Om Arman, yang kupanggil papa, adalah seorang pengusaha yang cukup berhasil. Sepeninggal papa, mamalah yang kemudian meneruskan perusahaan itu.

Di rumah kami tinggal berempat. Dengan dua orang asisten rumah tangga, mama mampu menjalankan usaha peninggalan suaminya. Meskipun memiliki dua asisten rumah tangga, namun mama hampir tak pernah memberikanku kepada mereka. Bahkan sampai aku kuliah sekarang, mama masih mengurusi sampai sekecil-kecilnya urusan pribadiku.

Mama memang sangat sayang kepadaku. Bahkan boleh dikata sangat memanjakanku. Untung saja aku bukan termasuk perempuan yang manja dan selalu ingin memaksakan keinginan. Aku lebih suka menjadi perempuan mandiri. Perempuan yang tegar dan mampu menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan tanpa selalu mengharap bantuan orang lain.

Sejak kecil, meski memiliki asisten rumah tangga, aku selalu mencuci pakaianku sendiri atau membersihkan kamarku sendiri. Bagiku untuk urusan pribadiku, biarlah kuselesaikan sendiri. Bahkan aku pun belajar memasak. Kendati aku tidak hobi masak, tapi harus tahu persoalan dapur.

* * *

Hari itu, semua baru kuketahui tentang diriku. Entah kenapa mama menceritakan semuanya padaku. Waktu itu aku juga tak begitu peduli. Aku hanya berusaha menebak-nebak, mungkin karena aku sudah dianggap dewasa, sehingga mau menceritakan semuanya padaku. Atau mungkin saja ada rahasia lain yang membuat mama harus mengungkapkan segala rahasia yang dijaganya selama ini. Entahlah.

Yang kulihat dan kutahu hari itu, mama sangat berat untuk mengungkapkannya. Aku dapat merasakan gejolak batinnya. Aku bisa merasakan kesedihan yang sangat mendalam yang merambati jiwanya. Semuanya dapat kutangkap dari bening matanya yang tersaput kabut tebal. Gerak tubuhnya juga tak mampu menyembunyikan resah yang menggerogoti batinnya.

“Nak, mungkin saatnya mama memberitahukan hal yang sangat penting yang selama ini mama sembunyikan darimu. Sesuatu yang kuharap akan menjadikan hidupmu lebih bermakna dan membuat batinmu tenang, terlebih batin mama.” Kulihat mama menarik nafas.

Sungguh ucapan itu membuat jantungku seperti mau copot. Aku benar-benar tak tahu apa yang akan mama ungkapkan. Rahasia apa yang mama akan katakan kepadaku, benar-benar sangat gelap dan tak pernah terlintas dalam pikiranku.

Karena itu, aku berusaha mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan setiap desah nafasnya pun tak kulewatkan. Aku berusaha menangkap setiap gerak dan mimik wajahnya. Semuanya harus benar-benar tertangkap dalam pandanganku. Ruang dadaku kulonggarkan agar udara dengan mudah keluar masuk menentramkan gejolak perasaanku.

“Soraya….” Suara mama tertahan. Aku kian merasakan betapa beratnya rahasia yang akan mama ungkapkan. Aku bisa merasakannya.

“Iya, Ma. Bicaralah. Aku sekarang sudah dewasa. Insya Allah aku mampu menerima rahasia apapun yang mama akan ungkapkan.” Jantungku berdebar kencang. Berbagai macam hal berseliwerang di benakku. Hingga rasanya kepalaku tak kuasa menampungnya.

“Nak, mungkin apa yang mama akan katakan membuatmu kaget, bahkan juga tak percaya. Tapi inilah kenyataan sesungguhnya…. Selama ini aku memang harus menjaga rahasia ini. Itu karena perjanjian yang telah mama sepakati. Dan sesuai perjanjian itu juga, saatnyalah mama akan ungkapkan semuanya….”

Sesaat mama kembali terdiam. Suasana kamar yang dingin, entah tiba-tiba berubah jadi panas. Aku tiba-tiba merasa gerah. Dari dalam tubuhnya seolah ada magma yang akan menyembur keluar dari ubun-ubunku. Keringat mulai bermunculan di dahiku.

“Dari lubuk hati yang paling dalam, sejujurnya mama berat untuk mengatakan ini. Tapi mama juga tak boleh mengingkari janji mama. Bagi mama janji sekecil apa pun harus dibayar, wajib ditunaikan. Mama sebenarnya tidak tega mengungkapkan saat ini. Sangat berat rasanya…”

Tarikan nafas mama terlihat berat. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Nak, sebenarnya… mama bukan ibu kandungmu.”

Mendengar itu, aku benar-benar tak kuasa menahan diri. Berbagai macam perasaan bercampur baur membentuk gumpalan awan hitam bercokol di kepala, mendekap perasaanku, mengungkung kesadaranku. Aku tak bisa berpikir jernih. Walau tetap terdiam menunggu mama terus bercerita, tapi air mataku kian menderas.

Selintas aku ingin mencaci mati perempuan yang telah membuangku. Tapi aku terus merapikan perasaanku agar tak terjebak untuk mengambil kesimpulan yang prematur.

“Tidak mungkin seorang ibu akan tega membuang anak yang dikandungnya selama 9 bulan lebih, jika tak memiliki alasan yang kuat demi kebahagian anaknya kelak, ” batinku menguatkan diri.
Mama mulai bercerita. Nada suaranya tak teratur dan masih terasa berat.

“Suatu hari mama bertemu dengan ibumu di rumah sakit. Saat ini kamu sedang sakit dan mama juga sedang memeriksakan kondisi setelah operasi. Saat itu mama dan ibu kandungmu duduk bersebelahan di ruang tunggu. Entah kenapa kami cepat akrab dan saling menceritakan keadaan kami masing-masing seperti tanpa ditutup-tutupi sedikitpun. Ibumu perempuan yang sangat baik, jujur dan tangguh…. Kamu beruntung memiliki ibu seperti dia.” Sejenak perempuan setengah baya itu terdiam.
“Semoga kau dapat menerima kenyataan ini….”

Mama menatapku. Kulihat matanya berkaca-kaca.

“Saat itu, menurut cerita ibumu, ayahmu baru saja meninggal dunia. Dan… mama mohon maaf, menurut cerita ibumu, ia tak punya apa-apa untuk membayar biaya rumah sakit dan obat yang harus ditebus. Ibumu nekad membawamu ke rumah sakit demi kesembuhanmu. Saat itu ibumu sangat khawatir melihat keadaanmu. Mama juga bisa melihat dari parasnya yang ketakutan akan terjadi apa-apa terhadapmu….”

Keheningan merambati.

“Namun mama benar-benar tersentak tatkala ibumu tiba-tiba mengatakan ingin menyerahkanmu padaku untuk mama angkat sebagai anak. Jujur, waktu itu mama hanya membantu membayar biaya rumah sakit dan biaya obatmu. Mama sedikit berharap ibumu akan sering-sering datang ke rumah membawamu. Tentu aku berharap begitu, sebab aku tak bisa memiliki anak. Aku tidak punya saudara, begitu pula suamiku. Yang pasti, ketika itu, aku merasa begitu dekat dengan ibumu. Bahkan mama juga menawarkan agar ibumu mau tinggal bersama mama di rumah. Tapi ibumu tidak bersedia. Ibumu sangat ingin mama mengangkatmu sebagai anak dan menyayangimu seperti anak yang keluar dari dalam rahim mama sendiri. Tak begitu jelas karena apa, saat itu aku menerima permintaan ibumu. Yang mama rasakan adalah ketulusan dan harapan dari seorang ibu. Dan mama yang mendapat dan menerima amanah itu juga harus benar-benar menjalankan dengan baik.”

Aku tetap tafakur mendengar. Tapi air mataku juga tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahku. Bahkan baju yang kugunakan juga mulai basah oleh tetesan air mata. Isakku sesekali terdengar. Terasa begitu menyayat. Kendati tak pernah tahu sosok perempuan yang seharusnya kupanggil ibu, namun naluriku sebagai anak begitu ingin bertemu dengannya.

“Kau ingat perempuan yang pernah bertamu ke rumah. Waktu itu kau sempat mencium tangannya.”
Aku terkejut. Mama seperti tahu yang bergejolak dalam hatiku. Pertanyaan itu memaksa ingatanku berlompatan dari satu waktu ke waktu yang lain. Dari satu wajah ke wajah yang lain. Dan akhirnya kutemukan wajah itu, wajah yang mirip dengan wajah perempuan yang berada dalam pigura yang tergantung di dinding ruang keluarga.

Aku mengingatnya. Perempuan dengan senyum yang sangat manis. Senyum yang hampir setiap hari menghiasi hidupku. Foto yang hampir setiap hari kutatap dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kuungkapkan kepada siapapun. Entah kenapa, foto itu terasa selalu menarik-narik perhatianku untuk menatapnya.

Kepalaku mengangguk perlahan. “Iya, Ma. Aku ingat. Tapi wajahnya kini samar-samar.”
Wajahku memucat. Tak kuat satupun kata-kata berhasil keluar dari mulutku. Aku sungguh diterkam cekam.

Berontak untuk keluar dari suasana itu, tentu aku harus berusaha sekuat tenaga. Wajah perempuan yang duduk di hadapanku seakan rontok perlahan. Kian mengkerut.
“Dialah ibu kandungmu, Nak.”

Aku tersentak. Pandanganku sekejap memudar.
“Ibu… ibu….” Batinku menjerit. Ada rindu membuncah, bercampur benci yang entah datang darimana.

“Nak, aku tak ingin kau membenci kami berdua, karena situasi ini. Semua terjadi begitu saja. Dari dalam lubuk hati yang terdalam, mama teramat menyayangimu. Begitu pula dengan ibu kandungmu. Ia benar-benar terpaksa memberikanmu kepada mama. Ibu kandungmu begitu mencintaimu.”

Aku memberanikan diri menatap mata ibu. “Ma, aku tak mungkin membenci mama dan ibu kandungku. Aku juga tak ingin tahu kenapa ibu kandungku tidak mau memeliharaku. Aku sungguh sayang pada kalian berdua. Terlebih kepada mama yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkanku belasan tahun lamanya dengan penuh kasih sayang.”

Aku memeluk mama. Tangisku pecah, berderai serupa musim hujan yang mengguyur bumi. Aku bersujud di kakinya. Kurasakan ibu membelai rambutku. Isaknya terdengar pilu.

“Bangkitlah, Nak. Kau tak pantas bersimpuh dan mencium kakiku. Ibu kandungmulah yang pantas menerima penghargaan itu.”

“Tidak, Ma. Mama pun pantas mendapatkannya. Mama telah berkorban apapun, memberikan segala kebahagiaan yang mama miliki. Aku tahu, mama sangat menyayangiku.”

Perlahan aku bangkit dan kembali memeluk tubuh perempuan sabar itu. Mama pun memelukku. Erat sekali. Tak kuasa aku menerima ketulusan seorang ibu, meski dia bukan ibu yang melahirkanku. Kesabaran, keikhlasan dan ketulusannya membuatku tak mampu menyelipkan rasa benci sedikitpun padanya, apalagi hanya karena mama baru menceritakan rahasia itu kepadaku. Aku begitu menyayanginya.

Aku tahu, kenyataan itu membuatku benar-benar terpukul. Aku tak menyangka jika memiliki ibu kandung yang sesungguhnya. Aku tak pernah membayangkan jika aku hanya anak angkat dari seorang perempuan penyayang, yang dengan segala kasih sayangnya mampu menjadikanku anak yang tangguh dan mandiri. Anak yang mampu mengadopsi semua kebaikan dalam dirinya.
Aku menatap mama dalam-dalam. “Ma, apa aku bisa bertemu ibu kandungku?”

Mendengar keinginanku, sekonyong-konyong tangis ibu pecah. Dengan cepat ibu memeluk dan menangis keras di bahuku. Aku yang masih belum kehilangan rasa sedihku, terkaget-kaget. Apa gerangan yang terjadi. Aku malah kebingungan.

“Mama kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa mama menangis seperti ini?” tanyaku gelagapan.
“Soraya… ibu kandungmu… ibu kandungmu sudah….” Kalimat mama terhenti.
“Ada apa. Ibuku kenapa?”

Aku benar-benar tak mampu menguasai diriku. Situasi yang tak pernah kuharap datang silih berganti. Aku diperhadapkan pada sesuatu yang sungguh tak pernah kubayangkan.
“Ibu kandungmu sudah… meninggal.”

Tiba-tiba awan gelap menyelubungi pikiranku. Aku kehilangan kesadaran. Pikiranku kalut, tak tahu harus berbuat apa. Aku terjatuh dalam pelukan ibu. Tak sadarkan diri.

* * *

Di atas pusara ibu kandungku, aku bersimpuh. Tanahnya masih basah. Sungguh kenyataan yang sulit kuhadapi, namun harus kuterima.

Kutatap lekat-lekat nisan ibu yang terbuat dari kayu. Tertulis jelas sebuah nama: Aisyah binti Nurman. Sebuah nama yang tak pernah kukenali sebelumnya sebagai ibu kandungku. Tatapanku nanar menembus langit yang lamat-lamat memudar.

“Bu, ampuni aku yang tak pernah bisa mengabdi kepadamu. Aku tak bisa membuatmu bahagia. Aku tahu sudah semuanya dari mama. Aku paham ibu tak ingin aku hidup sengsara. Aku mengerti ibu ingin aku mendapatkan pendidikan yang baik. Aku mafhum ibu ingin memberikan yang terbaik bagi masa depanku,” batinku.

Doa-doa yang kupanjatkan memenuhi angkasa.

Tanah merah basah. Rinai hujan turun perlahan. Aku bangkit dan berjalan menjauhi pusara ibu. Perempuan yang telah melahirkanku, mempertaruhkan nyawanya agar aku bisa menghirup udara di dunia.

Meninggalkan pusara ibu, menyisakan sakit yang tak terperi. Aku merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Kulangkahkan kaki dengan gontai. Berat.

Di dalam mobil, mama menyodorkan sebuah amplop. “Bukalah, Nak.”
Aku menatap wajah mama. Ada teduh di matanya yang masih berembun.

“Mama minta maaf untuk semua ini…. Saat itu kami berjanji untuk tidak memberitahukanmu sampai salah satu di antara kami meninggal dunia. Aku dan ibumu menyimpan surat wasiat yang akan kami ambil dan buka jika salah satu diantara kami telah meninggal. Entah kenapa ibumu melakukan itu, dan entah kenapa juga aku mengikuti keinginannya. Semua terjadi begitu saja”

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung membuka amplop yang berada di tanganku. Sebuah foto kutarik dari dalam amplop.

“Coba lihat, siapa yang ada dalam foto itu.”
Aku tersentak. Foto itu mirip perempuan yang ada dalam pigura yang tergantung di ruang keluarga; foto ibu.

Kupalingkan wajahku ke arah mama. Kulihat matanya masih sembab.
“Anak kecil yang digendong itu adalah kamu. Bacalah surat itu!”pinta mama sembari berusaha menarik garis senyum di sudut bibirnya.

Sedikit gemetar bercampur perasaan yang tidak menentu, tanganku mencoba membuka perlahan surat yang berada di bawa foto:

“Soraya anakku, saat surat ini berada di tanganmu, ibu telah berada di dalam liang lahat. Itulah perjanjianku dengan mamamu. Aku mengerti betapa berdosanya ibu kepadamu karena tak pernah mengurusmu. Sungguh ibu tak sedikitpun menginginkan hal itu. Tapi ibu tak tahu lagi apa yang harus ibu lakukan untuk masa depanmu. Soraya, sungguh ibu sangat menyayangi dan mencintaimu. Beruntung Tuhan mempertemukan ibu dengan mamamu. Dia sangat baik kepada ibu dan lebih-lebih kepadamu. Ibu harap kamu menjadi anak yang baik….”

“Ibuuuu....” jeritku dalam hati. Tak sempat lagi kuteruskan membaca surat yang masih berada di tanganku. Surat yang mulai basah oleh air mataku yang terus menetes.

“Aku sangat sayang sama ibu. Walau selama kesadaranku aku tak pernah menerima kasih sayangmu, tapi aku yakin ibu begitu mencintaiku.” Batinku terkoyak.

Perasaan kehilangan untuk kedua kalinya begitu terasa. Dunia seakan runtuh. Aku memeluk mama sejadi-jadinya.

“Sabar ya, Nak. Jangan bersedih lagi. Ikhlaskan kepergian ibumu agar ia bisa tenang di sisi Tuhan.” Suara mama berusaha menenangkanku.

“Ya, Tuhan. Mengapa kau ambil ibuku di saat aku belum bisa berbakti padanya.”
Aku tak tahu harus marah pada siapa. Tak mungkin aku marah pada Tuhan yang telah mengambil ibu. Kesedihan merambati kesunyian batinku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kupandangi wajah mama. Perempuan yang penuh kesabaran ini berusaha tersenyum.

“Doakan ibumu, ya. Semoga Tuhan menerima ibu di sisiNya.”
Aku mengangguk perlahan. Kucoba mengikhlaskan segalanya.

“Ibu, doaku akan selalu menyertaimu dalam setiap tarikan nafasku. Aku tak akan pernah melupakanmu.”

Sebuah foto perempuan tersenyum dalam pigura.

makassar, februari  2017