Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 4

 

 Bab IV

Munculnya Permaisuri Agung

LIMA bulan berlalu. Terlampaui sudah ribuan detik waktu yang terasa memenjarakan. Gumpalan malam di mata Batara Guru membersitkan makna keterasingan. Detak jantungnya menggelepar menahan kerinduan akan Boting Langiq dan munculnya permaisuri agung dari Pérétiwi. Ber-bagai suka dan duka telah mendera Manurungngé selama berada di bumi. Sebuah kepasrahan adalah jawaban yang tepat untuk mengekalkan segalanya dalam jiwa.

Lalu....

Tepat tengah malam yang bertabur bintang, Batara Guru melihat dirinya naik ke langit. Tangga langit menjuntai membawa tubuhnya menelusuri mayapada. Dalam perjalanan, ia singgah sejenak mandi di sungai Limpo Majang, kemudian terus berjalan menelusuri berbagai negeri. Satu demi satu perkampungan di tengah negeri dewata di Boting Langiq dimasukinya, hingga sampailah ia di Rualletté di pohon asam tanra tellu. Di gelanggang petir, tempatnya dulu selalu bersantai ketika belum meninggalkan Boting Langiq, ia terduduk melepas lelah.

Kebetulan sekali, saat itu juga, ratusan penjaga ayam di Boting Langiq sedang berkumpul di gelanggang. Manurungngé lantas beranjak dan berjalan menuju tempat ayam andalannya dikurung. Dibukanya kurungan ayam itu, lalu menangkap Massalasiqé dan Gonratungngé. Diusap-usapnya kedua ayam andalannya itu dengan lembut. Tak lupa pula ia mengambil Koro yang berbulu emas, serta Dunrung Léworeng yang menetas di permukaan matahari. Kedua ayam andalan Batara Guru itu pun dielus-elusnya penuh kasih sayang.

“Kuperingatkan kepada kalian, jangan sekali-kali ada yang membawa ayam andalanku ini ke arena, sebab tak kuperkenankan sedikitpun ayam perkasa dan berbulu indah ini disabung,” ucapnya Manurungngé dengan suara agak tinggi seraya menghamburkan pandangannya ke para penjaga ayamnya.

Para penjaga ayam di Rualletté yang beratus jumlahnya itu pun hampir serentak sujud menyembah.

“Ampunkan kami, Puang Manurung. Semoga kami tak salah menjawab, sebab bagaikan kulit bawang tenggorokan kami. Sungguh mudah tergelincir dalam kekhilafan. Demikian pulalah yang dikatakan Datu Patotoq, agar kami tak membawa ayam andalan Puang Manurung ke arena, terlebih lagi untuk menyabungnya.”

Bagaikan mencicipi madu rasa hati Batara Guru mendengarkan ucapan para penjaga ayam tersebut. Ia lantas beranjak dan berjalan naik ke istana Sao Kuta Pareppaqé.

Di dalam istana kebetulan sekali kedua orang tuanya sedang duduk di atas permadani. Gembira sekali Mutia Unruq menyaksikan kedatangan anak belahan jiwanya. Agak ragu, Manurungngé masih saja berdiri di tengah istana.

“Kemarilah, anakku, La Togeq. Duduklah di atas permadani, menghirup udara dalam balairung agung ini. Udara yang telah lama tak kau nikmati selama berada di bumi.”

Setelah menyembah, Batara Guru perlahan duduk di tengah kedua orang tuanya. Akan tetapi, tiba-tiba saja ia merasakan hatinya begitu kalut. Sorotan mata dan garis-garis di wajahnya yang menunjukkan kegelisahannya itu tak dapat ia sembunyikan. Ia merasakan dirinya begitu asing berada di tengah-tengah kedua orang tuanya.

Melihat gelagat anaknya yang kurang wajar, Palingéqé segera berpaling. Sungguh lembut perempuan itu melingkarkan lengannya pada leher Batara Guru, membasahinya dengan air mata, putra mahkota yang teramat dicintainya itu.

To Palanroé segera menunduk meraih cerana kilat, mengeluarkan beberapa lembar sirih, lalu menyirih. Disodorkannya pula cerana yang berisi sirih yang telah ditumbuknya tersebut kepada anak kesayangannya.

“Anakku, tenangkanlah hatimu selama tinggal di bumi. Bukankah semua pusaka warisanmu telah diturunkan? Dan besok akan kusempurnakan lagi kemanusiaanmu. Datanglah di tepi pantai menjem-put kirimanmu. Pendamping hidup yang bakal memberikanmu keturunan yang akan meramaikan bumi.”