Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (5) Bab 3

 

 Manurungngé terus berjalan menuju singgasana yang berada tepat di hadapannya. Penuh wibawa, Batara Guru mengenyakkan pantatnya, diperebut-kan oleh kipas petir dari Limpo Bonga. Saat itu pula bersahutan penyeru semangat jiwa kekahyangan-nya. Wé Lélé Ellung segera menyiapkan sirih, Apung Talaga mengerat gambir dan Wé Saung Nriuq menyuguhkan sirih lipatan orang Senrijawa dan menaruhnya di atas puan halilintar. Ketiga istrinya yang diturunkan dari Boting Langiq itu pun menjamunya dengan segala kerinduan.

Belum hilang betul kepenatan yang menyelubungi tubuh Manurungngé, para juak telah datang mengangkat makanan kahyangan. Beraneka ragam santapan orang Rualletté satu demi satu disajikan. Berseliwerang para pembawa makanan.

Setelah semuanya telah rampung, Batara Guru dipersilakan beranjak untuk bersantap. Beberapa saat kemudian, semuanya juga mulai larut dengan makanan yang berada di hadapannya.

Beberapa kali menyuap, Batara Guru mengakhiri makan siangnya. Ia duduk sejenak di bangku petir, disuguhi sirih.

Tepat tengah hari, saat bayangan tidak di barat dan tidak di timur, mata Manurungngé sudah mulai terasa penat. Ingin rasanya segera pergi berbaring di bilik. Berpaling sejenak ke arah Wé Saung Nriuq seraya bertanya:

“Panjang benar rupanya siang ini, Wé Saung Nriuq. Mengapa malam begitu lama menurunkan tudung hitamnya…?”

Belum selesai benar ucapan Manurungngé, tiba-tiba matahari bagai disentak ke barat, menyisakan memar di tepi langit barat dan kemudian terbenam. Gelap datang dan menyelubungi istana. Lampu yang besar dinyalakan. Pelita juga tak ketinggalan menghiasi kegelapan di beberapa sudut istana.

Karena malam semakin larut, Batara Guru beranjak menuju pembaringan. Dihempaskannya tubuhnya yang penat di atas pembaringan bertahtakan bulan dan bersuji taburan bunga. Pulas sekali tidurnya Batara Guru, hingga tepat tengah malam, ia terjaga dari tidurnya. La Togeq Langiq kemudian beranjak dan memerintahkan kepada Wé Saung Nriuq untuk segera menyulut kilat dan menyalakan lampu di bagian dalam.

Sembari mengucek-ngucek matanya, Batara Guru bergumam:

“Rupanya malam di sini panjang betul, Wé Saung Nriuq. Mengapa matahari belum juga menampakkan wajahnya?”

Sekejap saja, matahari pun menampakkan wajahnya. Saat itu juga, siang datang dengan tiba-tiba, menyeringai dengan sinarnya yang panas. Mayapada seketika benderang.