La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (9) Bab 1
Hanya dalam sekejap, serentak ribuan bangsawan orang Abang yang bertindak sebagai dayang-dayang di istana Sao Kuta Pareppaqé, membawa talam emas yang penuh berisi bertih.
Sujud menyembah seraya berkata salah seorang bangsawan dari Abang saat tiba di hadapan rombongan Guru ri Selleq:
“Kutadahkan kedua telapak tanganku. Semoga tak terkutuk hamba menyampaikan perkataan penguasa Boting Langiq, sebab hanya setipis kulit bawang tenggorokanku. Patotoqé dan permaisurinya menghendaki agar Puangku segera naik ke istana Sao Kuta Pareppaqé. Keduanya sangat merindukan kehadiran penguasa di Pérétiwi.”
Dingin saja Sinauq Toja mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut salah seorang dayang-dayang istana Sao Kuta Pareppaqé itu. Begitu malas ia membuka mulut. Namun akhirnya meluncur juga kata-kata dari mulutnya, meski sedikit sinis dengan nada yang masih menyimpan kedongkolan:
“Puuiih.... Perbuatan apa gerangan yang dilakukan oleh orang-orang Sunra dan para penjaga pintu ini padaku? Padahal seharusnya sedari tadi aku beristirahat di istana Sao Kuta Pareppaqé.”
Mendengar perkataan demikian, para bangsawan orang Abang dengan wajah garang segera berpaling ke arah para penjaga pagar petir istana. Salah seorang di antara mereka pun serentak menghardik:
“Heee.... Angkuh benar engkau, I La Sualang. Dan kalian penjaga pagar istana, lancang betul mulut kalian telah menghalangi dan tak perkenankan rombongan penguasa Pérétiwi ini memasuki pagar petir istana! Bersediakah kalian dihukum di bawah pohon asam atas kesalahan kalian?”
“Maafkan atas perbuatan lancang kami. Kami bersedia mendapat hukuman atas semua itu,” sahut mereka hampir bersamaan.
Bagai terkena sihir, orang-orang Sunra, Paddengngengngé, Pérésolaé dan para penjaga pintu petir istana itu terpaku. I La Sualang perlahan mundur ke pagar sambil berjongkok. Saat itu pula Sinauq Toja dan Guru ri Selleq serta rombongannya memasuki pagar istana. Mereka ditaburi bertih emas penyeru semangat orang kahyangan. Satu demi satu, mereka menginjakkan kaki di tangga sembari berpegang pada susuran kilat, melangkahi ambang petir, lalu menelusuri lantai papan halilintar.
Dalam perjalanan mereka melewati para bangsawan orang Abang yang sedang duduk bersimpuh di sepanjang ruang istana. Mereka duduk berhimpitan.
Setelah menyusuri dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta Pareppaqé, tibalah mereka di ambang kilat, batas untuk memasuki ruang utama istana. Dengan hati-hati, Sinauq Toja dan Guru ri Selleq membuka pintu halilintar, pintu utama memasuki ruang agung tempat Datu Patotoq dan istrinya bertahta.
Saat itulah, keduanya melihat sepupu sekali dan kemanakan mereka duduk berjejer. Barulah mereka menyadari ternyata kehadiran mereka telah ditunggu-tunggu. Ketika keduanya sedang berdiri terpaku, tiba-tiba bagai halilintar terdengar suara teriakan Sinrang Mpatara beserta rombongan. Suara teriakan dan tawa mereka yang berderai, benar-benar memekakkan telinga. Teriakan dan derai tawa itu disambut tawa pula oleh semua yang hadir di tempat tersebut tidak terkecuali Patotoqé dan Datu Palingéq.
Dalam ruang tersebut telah hadir pula Sennéq Batara beserta rombongan. Di bagian utara peterana agung istana yang diduduki To Palanroé, nampak Sangka Maléwa dari Ruang Kuttu, saudara To Akkarodda, sedang duduk bersila.
Kedatangan Guru ri Selleq, Sinauq Toja dan para penguasa di Pérétiwi disambut penuh kegembiraan oleh Patotoqé dan istrinya.
Sembari memandang ke arah mereka, Patotoqé mempersilakan mereka masuk. Suaranya berat berwibawa, meski api kegembiraan meluap-luap dalam dadanya..... bersambung