Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (10) Bab 1


 “Masuklah kemari Sinauq Toja, Guru ri Selleq, To Akkarodda. Duduklah kalian di peterana guntur. Alangkah bahagianya hati kami menyaksikan kedatangan kalian yang diiringi semua raja di Pérétiwi.”

Sinauq Toja kemudian naik dan duduk di atas peterana berhias bersanding dengan To Palanroé, saudaranya. Demikian pula dengan Guru ri Selleq menghampiri Datu Palingéq dan To Akkarodda saling bertindihan paha dengan saudaranya, Sangka Maléwa, di atas peterana petir.

Setelah semuanya saling melepas kerinduan, To Palanroé mulai angkat bicara. Demikian pula dengan Datu Palingéq.

“Saudara-saudaraku. Sebelumnya kami memohon maaf, sebab telah membuang waktu kalian yang berharga dengan meminta untuk datang ke tempat ini. Adapun maksud kalian kupanggil naik ke langit, sebab aku berniat menempatkan keturunan di bumi, mematangkan kayu sengkonang atas nama dewata. Sepertinya tidak baik jika membiarkan dunia tetap kosong, tak berpenghuni kolong langit. Kita bukanlah dewata, kalau tak ada orang menghuni dunia, menyeru kepada Batara, menadahkan kedua tangan ke Pérétiwi.”

To Palanroé sejenak menarik nafas mengatur kata-kata yang akan dikeluarkannya kemudian. Namun sebelum To Palanroé meneruskan kalimatnya, serentak Sinauq Toja berkata:

“Lantas, apa lagi gerangan yang menghalangi untuk menjelmakan keturunan di muka bumi? Apakah ada yang berani membantahmu?”

To Palanroé kembali menarik nafas. Setelah mendengar ucapan saudaranya, ia kemudian melanjutkan:

“Masalahnya adalah... aku ingin sebelum mengambil keputusan, sebaiknya mendengar dulu pendapat kalian. Aku mau keputusan ini bersumber dari kata sepakat kita bersaudara, bersepupu sekali, sekemanakan…. Setelah itu, barulah kita sama-sama menempatkan keturunan di bumi, mematangkan kayu sengkonang atas nama kita.”

“Bagiku sangatlah baik menempatkan keturunan di kolong langit, menjelmakan anak dewata. Namun mengapa hanya anak kakanda yang diturunkan, sedang keturunan kami, mengapa tidak kakanda pertimbangkan juga?” tegas Sinauq Toja yang diangguki oleh mereka yang hadir di ruangan agung tersebut.

Mendengar hal tersebut, betapa senang hati Patotoqé. Keinginannya menurunkan tunas di kolong langit, tak sedikit pun mendapat hambatan dari orang-orang yang hadir.

“Jika demikian, maksud untuk menjelmakan tunas dewata di Alé Lino telah menjadi kesepakatan kita bersama. Sekarang tinggal menentukan siapa yang akan diturunkan dan menjadi pelanjut generasi dewata di muka bumi,” tegas Patotoqé yang diiyakan istrinya dan diangguki oleh semua yang hadir.

Suasana kemudian hening. Masing-masing sibuk bermain dengan pikirannya tentang siapa yang pantas untuk diturunkan ke bumi. Hanya sepenanak nasi, kebisuan itu pun pecah ketika Sinauq Toja mulai berbicara:

“Sebelum memilih siapa yang akan diturunkan, bolehkah kami tahu, berapa jumlah keturunan kakanda?”

“Sembilan orang keturunan kami, adinda?” jawab Patotoqé dan istrinya, Mutia Unruq[1], hampir bersamaan. “Yang sulung bernama La Togeq Langiq, Batara Guru. Adiknya bernama La Mégga Aji Aji Palallo. Anak ketiga bernama Balalanriuq Aji Palureng. Anak keempat bernama Dettia Tana Aji Tellino. Selanjutnya adik Dettia Tana bernama Sangiang Kapang Aji Pattongeng. Di bawah Aji Pattongeng bernama I La Sangiang Aji Tekkapang. Adik I La Sangiang bernama Dettia Unruq Datu Melebbiq yang menjadi raja di Batara. Adik Dettia Unruq Datu Melebbiq, bernama Aji Pawéwang. Adapun anak bungsuku, bernama Batara Unruq Aji Mangkauq,” lanjut Patotoqé.


[1] Nama lain Datu Palingéq. Nama lain yang digunakan dalam Kitab Galigo di antaranya adalah Palingéqé, Batari Dewi.