La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (8) Bab 1

Melihat kedatangan tamu yang tak dikenali, I La Sualang, Peddengngengngé, Pérésolaé, To Alebboreng, Pulakalié, I La Bécociq, dan para penjaga pagar guruh istana petir kediaman Patotoqé lainnya, serentak bangkit dan bersama-sama menghambat perjalanan rombongan tersebut. Mereka tidak memperkenankan penguasa Pérétiwi bersama rombongannya memasuki pagar petir istana.
Selain itu, menyerbu pula semua burung hantu, burung kokociq, setan, ular berbisa, lipan raksasa, ular sawah, dan semua penjaga istana kediaman Patotoqé. Semuanya bangkit dan bersama menghadang rombongan tersebut. Semua menjadi gaduh melihat kedatangan rombongan yang bukan penghuni langit.
Melihat perlakukan tersebut, wajah Sinauq Toja bagaikan awan memar di tepi langit yang berarak. Ia pun tampil ke depan sembari menunjuki Peddengngengngé. Dihempaskannya ludah dari mulutnya dengan beringas. Bunyi gemeratak giginya terdengar jelas. Ia merasa sangat jengkel, lalu berkata dengan suara nyaring namun tersendat-sendat karena menahan amarah:
“Lancang benar kalian berbuat demikian. Sungguh tidak sopan pula engkau bertutur di hadapan kami I La Sualang dengan kata-kata yang tak pantas. Mengapa engkau tidak memperkenankan aku dan rombonganku memasuki pagar halilintar? Orang yang jelas-jelas satu keturunan dengan Patotoqé: seorang tinggal di Boting Langiq berkuasa di Rualletté dan seorang lagi turun ke Pérétiwi untuk menjadi raja di Toddang Toja. Bersaudara pula Guru ri Selleq dengan Datu Palingéq. Bersepupu sekali pula keduanya dengan yang kau pertuan penguasa di Boting Langiq, Datu Patotoq. Tapi mengapa kalian masih juga teramat lancang tak memperkenankan kami memasuki pagar petir istana?”
Mendengar ucapan Sinauq Toja, membuat gemetar seluruh tubuh orang Sunra, Peddengngengngé, Pérésola, To Alebboreng, Pulakali dan semua yang menghadang langkah rombongan penguasa Pérétiwi tersebut. Para penjaga pagar istana halilintar Patotoqé terpana bagai tersihir. I La Sualang dan semua penjaga istana serentak perlahan mundur. Meski terputus-putus karena takut, I La Sualang memberanikan diri bersuara:
“Ampuni kami yang telah berbuat kesalahan. Rupanya penguasa di Pérétiwi yang datang dan kami tak mengetahui. Kami telah bersikap lancang tak membiarkan Puang memasuki pagar istana halilintar.”
“Ampuni kami,” ucap mereka serentak seperti suara kor sembari menyembah.
***
Di istana Patotoqé, kebetulan sekali saat itu Wé Ati Langiq membuka jendela kilat dan menjenguk keluar halaman istana. Dari kejauhan terlihat olehnya penguasa Pérétiwi bersama rombongan tak diperkenankan memasuki pagar petir istana.
Melihat gelagat yang kurang baik, ia bergegas bangkit dan masuk ke ruang tengah istana tempat bertahta Patotoqé dan Datu Palingéq. Perempuan itu pun langsung duduk di depan peterana nan indah bertabur hiasan emas berkilauan.
Menyembah lalu berkata Wé Ati Langiq dengan nafas yang masih tersengal:
“Tampaknya Puangku penguasa Pérétiwi telah tiba di depan istana. Namun yang dipertuan di Toddang Toja dan rombongannya mendapat hambatan. Mereka tak diperkenankan memasuki pagar petir istana oleh para penjaga istana.”
Mendengar perkataan Wé Ati Langiq, wajah Patotoqé dan istrinya seketika berseri. Bunga-bunga di taman wajahnya seketika saja bermekaran. Bagaikan orang yang menikmati madu rasa hati keduanya mendengar kedatangan kedua saudaranya.
Penuh wibawa Patotoqé berujar sembari mengangkat telunjuknya dan mengarahkannya kepada bangsawan Abang yang duduk di sekitar peterana agung:
“Bangkitlah kalian, para bangsawan Abang. Pergilah membawa talang emas yang penuh berisi bertih emas! Iringilah penguasa negeri Pérétiwi kemari, naik ke istana ini!”