La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (12) Bab 1
Kemudian satu per satu anak-anak Patotoqé dan Datu Palingéq disebutkan dan dipertimbangkan sebaik-baiknya. Silang pendapat terkadang terjadi. Berbagai kemungkinan memang pun tak luput dari pengamatan.
Ketika Patotoqé menyebut nama Batara Unruq Aji Mangkauq untuk dijelmakan sebagai tunas di Alé Lino dengan alasan ia belum begitu mengenal rindu ke Boting Langiq dan belum lekat betul pada ibundanya, sehingga ia tidak akan selalu rindu untuk naik langit, membuat Datu Palingéq begitu bersedih. Seketika itu juga di sudut matanya muncul genangan yang kemudian mengalir membentuk sungai-sungai kecil di permukaan wajahnya. Isaknya terdengar nyaring, menggema, berlompatan di antara kebisuan orang-orang yang hadir. Perasaan sedih menggelayut jelas di wajahnya.
Dirasakannya begitu berat harus berpisah dengan anak-anaknya, terlebih yang bungsu. Anak yang masih perlu banyak bimbingan dan kasih sayang. Sesekali ia membuang ingusnya yang jernih. Ia tak habis pikir, mengapa Aji Patotoq sampai menghendaki anak bungsunya yang masih anak-anak menjelma di dunia. Apalagi ia belum mengerti apa-apa, belum mampu memberi pertimbangan dan mengumpulkan pengikutnya. Terlebih ia belum pandai pula menyembah ke Boting Langiq. Padahal suaminya bermaksud menempatkan turunan di kolong langit dengan harapan dapat mematangkan kayu sengkonang atas nama dewata.
Lama La Patigana termenung mendengar kata-kata istrinya, Datu Palingéq. Hampir sepenanak nasi To Palanroé duduk terdiam. Pikirannya melayang, bermain kian kemari. Perasaannya pun semakin tak karuan. Patotoqé kemudian menoleh ke arah istrinya, menebar pandanganya ke semua yang hadir. Bibirnya sedikit gemetar memilah dan menahan kata-kata yang harus ia keluarkan, agar tidak meluncur begitu saja.
“Sebenarnya... sangat sulit sekali mengambil keputusan ini, sebab ia telah kupersiapkan untuk menjadi raja di Rualletté. Ia memang sangat dibutuhkan, sebab dialah yang selalu membimbing sesamanya anak dewata di langit. Namun, biarlah kita turunkan saja anak sulung kita, Batara Guru, ke permukaan bumi. Semoga ia dapat membimbing penghuni bumi menyembah ke Boting Langiq dan menengadahkan tangan ke Pérétiwi.”
Mendengar hal tersebut, Datu Palingéq terkejut. Begitu pun dengan beberapa tamu yang hadir. To Palanroé menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya lagi berusaha meyakinkan:
“Selain Batara Guru anak sulungku, yang tentunya lebih bisa dewasa dibanding dengan yang lain, Batara Guru juga memiliki sifat yang arif. Ia dapat berpikir tenang, meski terkadang juga agak emosional. Wawasannya luas dan dapat bergaul dengan siapa saja. Karena itulah, di Boting Langiq ini, ia selalu membimbing sesamanya anak dewata.”
Meski juga berat, namun entah ia merasa bahwa keputusan tersebut cukup tepat. Apalagi Batara Guru memang memiliki kepribadian yang paripurna dibanding semua saudara-saudaranya.
“Jika demikian keinginan Datu Patotoq, meski berat, aku setuju. Sebab itulah satu-satunya jalan terbaik yang harus kita lakukan,” ujar Datu Palingéq sambil terus menatap wajah suaminya. Hanya sebentar, tatapannya kemudian pindah ke Guru ri Selleq dan istrinya, serta menebar ke semua yang hadir dalam pertemuan agung tersebut. Mereka mengangguk-angguk dan nampak setuju dengan keputusan tersebut.
“Apa masih ada pendapat lain?” tanya Datu Patotoq sembari menghamburkan pandangannya.
“Jika demikian,” sambungnya saat tak ada lagi yang bersuara, “kita semua setuju jika Batara Guru yang ditetapkan sebagai pelanjut generasi di bumi. Sekarang tinggal menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya?”
“Dari mana kita harus mencari pendamping untuk anak kita di dunia agar ia tidak kesepian?” tanya Datu Palingéq.