Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (13) Bab 1

 

 Mendapat pertanyaan demikian, Datu Patotoq terdiam sejenak. Seperti berpikir keras, raut wajahnya sesekali menegang. Pelan-pelan kepalanya tertunduk, lalu kembali diangkat. Sambil mengusap wajahnya, ia berucap:

“Bagaimana kalau keturunan dari Toddang Toja saja yang menjadi pendamping Batara Guru.”

“Kami rasa keputusan itu sangat tepat. Alangkah baiknya membangun generasi di dunia tengah berdasarkan perkawinan dunia atas, Boting Langiq dengan dunia bawah, Pérétiwi. Bukankah dengan demikian, penghuni bumi dapat menjadi penghuni yang paripurna, sebab mereka lahir dari cinta agung dua dunia,” ujar To Akkarodda dengan mimik yang sangat serius sembari melayangkan pandangannya.

“Setuju....!” Hampir semua orang yang hadir mengamini pertimbangan tersebut.

To Akkarodda kemudian menatap Datu Patotoq dan istrinya, lalu berpindah ke Sinauq Toja dan Guru ri Selleq. Kedua penguasa Boting Langiq dan Pérétiwi itu hanya mengangguk. Dan beberapa saat kemudian, hampir bersamaan mereka menarik garis senyum di wajah masing-masing.

“Kalau begitu, kita harus mengetahui dulu berapa jumlah anak adinda?” ujar Datu Palingéq seperti tak sabar.

“Anak kami berjumlah sembilan, kakanda,” jawab Sinauq Toja. “Yang sulung bernama Wé Nyiliq Timoq. Dialah yang kupersiapkan menjadi raja di Toddang Toja. Adiknya bernama Linrung Talaga yang menjadi raja di Uriq Liu. Anak ketiga bernama Sangiang Mpareq menjadi raja di ujung Pérétiwi. Adapun adik raja Samudera, Sangiang Mpareq, yang berambut panjang bernama La Wéro Ileq. Ia menjadi raja di Toddang Soloq. Adik La Wéro Ileq namanya Dettia Langiq, menjadi raja di Uluwongeng. Anak keenam kami bernama I La Samudda. Ia raja di Marawennang. Adik I La Samudda bernama La Wéro Unruq menjadi raja di pinggir langit. Adapun yang bernama I La Sanedda, ia kami jadikan pengawas di Uluwongeng. Sementara anak kami yang bungsu menjadi raja di Lapiq Tana yang bertugas menaikkan pasang, dan mengadu ombak,” jelas Sinauq Toja kembali yang diiyakan oleh suaminya.

“Jika demikian, siapa gerangan yang adinda akan turunkan ke bumi untuk menemani Batara Guru?”

Mendengar pertanyaan tersebut, sejenak Sinauq Toja dan Guru ri Selleq terdiam. Keduanya saling memandang. Seperti terjadi diskusi batin di antara kedua penguasa Pérétiwi itu.

”Kami akan menurunkan pula anak kami yang sulung, Wé Nyiliq Timoq” jawab Sinauq Toja, memecah kesunyian.

“Jika demikian, kita telah mendapatkan pasangan bagi Batara Guru yang nantinya akan menyemarakkan Alé Lino. Keduanya nanti akan aku turunkan di Alé Luwu sebagai pusat tanah di Alé Lino. Alé Luwu akan menjadi salah satu pusat penyebaran umat manusia.”

“Kakanda, bagaimana kalau kita turunkan lagi satu pasangan dari anak saudara sepupu kita. Dengan demikian anak-anak mereka nantinya bisa saling mengasihi, sehingga keturunan dewata yang sama-sama maddaratakku, berdarah putih, di muka bumi dapat terjaga,” usul Sinauq Toja.

“Menurutku itu usulan yang bagus. Bagaimana menurut kalian,” tanya Patotoqé seraya mengarahkan pandangannya ke arah hadirin yang hanya mengangguk-angguk.

“To Akkarodda, siapakah keturunanmu yang akan kau tempatkan di Alé Lino?” tanya Datu Palingéq segera, seolah tak ingin membuang-buang waktu.

“Jika memang begitu keputusan Datu Patotoq, biarlah akan kumunculkan pula di Alé Lino anak sulungku. Namanya Wé Pada Uleng, perempuan yang pemarah yang setiap hari merasa tersinggung,” jawab To Akkarodda agak tergeragap, meski wajah nampak senang.