La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (14) Bab 1
“Lalu bagaimana dengan pendampingnya? Keturunan siapa yang akan diturunkan ke dunia sebagai pasangan Wé Pada Uleng?” tanya Patotoqé seraya mengarahkan pandangannya ke arah Sangka Maléwa.
Sangka Maléwa sekilas menangkap tatapan Patotoqé. Dengan cepat ia menunduk, lalu perlahan mengangkat wajahnya sambil berkata dengan tersendat-sendat agak ragu:
“Bagaimana kalau keturunanku saja yang kutempatkan sebagai tunas di Alé Lino. Biarlah anakku yang sulung pula yang kujelmakan. Ia bernama La Urung Mpessi yang telah kupersiapkan menjadi raja di Ruang Kuttu.”
“Baiklah. Di bumi, pasangan ini nantinya akan kutempatkan di Tompoq Tikkaq, membangun peradaban manusia.”
Karena untuk lebih menyemarakkan dunia, para raja yang hadir pun mengusulkan agar juga dapat menjelmakan keturunan mereka yang masing-masing berpasangan dari Boting Langiq dan Pérétiwi. Patotoqé pun tidak keberatan. Satu per satu para raja di Boting Langiq dan Pérétiwi menyebutkan keturunannya yang akan dipersiapkan untuk turun meramaikan dunia.
***
Setelah berbagai hal disepakati, utamanya mengenai keturunan masing-masing yang akan dijelmakan sebagai tunas di bumi, berbagai persiapan pun mulai dilakukan. Dengan berat hati, To Palanroé meminta agar Batara Guru, La Togeq Langiq, segera masuk untuk mandi berlangir, serta memakai wangi-wangian orang Senrijawa. Tidak menunggu lama, Batara Guru segera diperintahkan untuk bersiap-siap turun ke bumi.
To Palanroé dengan cepat berpaling dan pandangannya jatuh di wajah Sangka Batara. Dengan tenang dan penuh wibawa ia berkata:
“Berangkatlah segera Sangka Batara bersama Tenrioddang. Ajaklah cepat kemanakanmu, La Togeq Langiq, untuk mandi. Persiapkan segala keperluannya, sebab matahari sudah tinggi. Sebentar lagi ia akan diturunkan ke bumi.”
Tergesa-gesa Sangka Batara dan To Tenrioddang menuju samping peterana halilintar yang diduduki Batara Guru dan saudara-saudaranya.
Mendengar permintaan ayahandanya, Batara Guru yang sejak namanya dipilih untuk diturunkan ke bumi hanya terdiam, seketika merasakan Boting Langiq benar-benar runtuh. Rasa sedih kian merambati setiap relung kesadarannya. Matanya sembab. Genangan air di sudut matanya kian bertambah. Perpisahan dengan orang tua, adik-adik, dan suasana Boting Langiq, tiba-tiba saja terbayang dan mencabik-cabik ketegarannya. Ia sungguh merasa tak akan kuasa melawan kerinduan yang menggerogoti hatinya, jika perpisahan itu benar-benar terjadi.
Melihat La Togeq Langiq diterjang badai kepiluan, semua saudara-saudaranya pun dihasut kesedihan yang mendalam. Mereka turut prihatin merenungi nasib yang akan menimpa kakaknya. Meski demikian, mereka tak sanggup menentang kehendak To Palanroé.
Dengan tubuh yang lunglai Batara Guru berusaha berdiri dibimbing oleh adik-adiknya, diapit oleh pembesar dari Abang Létté, diramaikan penyeru semangat dari Lateng Nriuq, dan dipandu inang pengasuh dari Wawo Unruq.
“Janganlah ananda berkecil hati. Sudah demikianlah kehendak To Palanroé. Kita hanya dapat mengikuti apa keinginannya,” bujuk para pembesar dari Abang berusaha menenangkan gejolak hati Batara Guru.
Batara Guru hanya terdiam. Ia tak mampu menjawab sepatah kata pun. Kepalanya hanya tertunduk seraya meneteskan air mata yang sedari tadi menggedor-gedor ingin tumpah. Melihat kesedihan itu, para bangsawan dari Abang yang dijadikan dayang-dayang di Boting Langiq, pengasuh La Togeq Langiq yang ribuan jumlahnya, dan saudara sesusuan yang sederajat, pun turut menangis. Demikian pula dengan Welong Mpabareq. Perempuan separuh baya itu tak dapat menahan air mata kesedihan yang mengaliri lekuk pipinya memandang anak dewata yang selama ini diasuhnya.