Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (15) Bab 1


 Suasana haru seketika saja merambat begitu cepat dan menjalari setiap orang yang hadir. To Palanroé hanya terdiam. Hatinya juga sangat miris. Terlebih menyaksikan suasana tersebut. Perpisahan dengan anak yang selama ini dibesarkannya dengan penuh kasih sayang adalah sebuah ketersiksaan maha dahsyat yang tentunya akan menggerogoti perasaannya. Ia sadar keputusan untuk menurunkan tunas ke bumi adalah keputusan yang berat. Namun semua itu harus dilakukannya, sebab bumi haruslah diisi dengan keturunan yang baik. Batara Guru akan menjadi mahluk yang sempurna bahkan mengalahkan kesempurnaan dewata. Namun ia juga akan menjadi sangat hina bahkan mengalahkan binatang yang turun bersamanya. 

Tak ingin larut dengan kesedihan yang ia rasakan, To Palanroé cepat-cepat membenahi perasaannya yang kusut. Ia menarik nafas perlahan, meski tersendat-sendat karena terganjal suasana haru di sekitarnya. Bibirnya bergetar berusaha menyusun kalimat yang akan diucapkannya.

“Sabarlah anakku.... Janganlah engkau menentang kemauanku untuk kuturunkan menjadi tunas di bumi. Bukankah selama ini kuturuti segala kemauanmu, tak kutolak angan-anganmu?”

Batara Guru kembali merasakan segala keindahan Boting Langiq buyar, melebur  ke dalam perpisahan. Berbagai kenikmatan di Rualletté dan istana Sao Kuta Pareppaqé meledak dan berhamburan menjadi bayang-bayang. Ditatapnya wajah ayahandanya. Pancaran mata penguasa Boting Langiq itu masih terlihat lembut, meski hatinya gundah, memancarkan sinar kehalusan budinya. Patotoqé hanya mengangguk. Tatapan matanya berwibawa.

Batara Guru perlahan beranjak untuk mandi. Sepanjang jalan ia bersaudara dielu-elukan para pembesar dari Rualletté, bangsawan tinggi dari Limpo Bonga. Di sampingnya anak dewata mengapit dan di depannya berjalan para pemuka masyarakat dari Abang Létté. Dibukalah pintu halilintar, saat Batara Guru ingin masuk. Berjalan tegap ia melangkahi ambang petir, lalu duduk di atas peterana bulan diapit oleh adik-adiknya.

Berbagai peralatan mandi telah disiapkan. Langir untuk membersihkan rambut Batara Guru dan jeruk kemilau yang dapat menghilangkan bau dan daki yang melekat pada badan La Togeq Langiq telah pula diperahkan. Tempayan juga sudah diisi hingga penuh. Air yang berada di dalamnya diam, seolah tafakur.

Batara Guru segera mengganti pakaiannya dengan pakaian mandi. Ia meraih sibur dari petir, lalu perlahan meraup air dari tempayan dan mengguyurkan ke tubuhnya. Begitu pilunya air yang mengaliri setiap lekuk tubuhnya yang kekar. Seperti ada penyesalan yang menggejolak dalam setiap butiran air tersebut. Dan Batara Guru dapat merasakannya.

Setelah semua bagian tubuhnya basah, La Togeq Langiq lantas bangkit meraih mangkuk halilintar besar berkuping berisi langir yang berbusa. Ia lantas berlangir membersihkan rambut dan menghilangkan bau orang Senrijawa dengan perasan jeruk kemilau. Dettia Tana bersama Punna Batara menggosok-gosok kedua lengannya. Usai berlangir, Telaga Unruq mengalirkan air ke kepala dan tubuh anak dewata kesayangannya dengan lembut, penuh kasih sayang.

Usai mandi, Wélong Mpabareq memasangkan baju Batara Guru. Kemudian Batara Guru beranjak ke jarasana kilat mengeringkan tubuh. Berseliweran kipas kilat dari Léténg Nriuq mengipasinya. Ratusan pedupaan mengelilingi. Bersahut-sahutan pula penyuruh semangat kekahyangannya.

Mendapat perlakuan tersebut, meski sudah biasa, namun telah membuatkan jejak luka yang akan terus menjadi kenangan. Dan itu akan kian menderitakannya saat telah berada di bumi nanti. Bayangan perpisahan bertambah garang mengoyak perasaannya. Semakin berat rasanya meninggalkan Boting Langiq. Sepenggal demi sepenggal waktu dirasakannya begitu menyiksa. Karenanya, air mata Batara Guru tak henti-hentinya mengalir membuat peta kegetiran dalam jiwanya, mengenang keadaan negeri di Rualletté, Boting Langiq yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.