Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (16) Bab 1


 Melihat kepiluan yang kian mengental dalam diri Batara Guru, membuat Dettia Unruq Punna Batara tak dapat menahan perasaanya. Ia beranjak duduk di samping La Togeq Langiq dan mengulas-ulas pinggang saudaranya. Sembari menangis ia berkata dengan suara parau dan tersendat-sendat menahan kepiluan:

“Hentikanlah air matamu. Kerinduan ke Boting Langiq janganlah membuat kakanda kehilangan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Tenangkanlah hatimu menelusuri nasib. Apa lagi yang hendak kita lakukan, kalau memang demikian keputusan ayahanda.”

“Benar apa yang katakan adinda Dettia Unruq,” ujar Aji Palallo yang diangguki Sangiang Kapang Aji Pattongeng. “Turutlah kakanda apa yang diperintahkan oleh ayahanda. Janganlah menampik kehendaknya. Apakah salahnya ketetapan To Palanroé yang menghendaki  engkau turun ke dunia membangun negeri di bumi, mengatur daerah di permukaan Pérétiwi, mematangkan kayu sengkonang atas namanya. Bukankah engkau tak sendiri, sebab Puang di Toddang Toja juga akan memunculkan anaknya menjelma di atas dunia. Dialah temanmu untuk saling menghibur dan meramaikan dunia dengan anak-anak kalian.”

Mendengar ucapan saudara-saudaranya, Batara Guru hanya terdiam. Ia tak begitu kuat berucap, sehingga tak sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Sementara di luar, sinar matahari yang terpancar di Boting Langiq perlahan condong ke barat.

“Bangkitlah engkau, Taletting Tana di Pérétiwi! Sampaikan kepada Batara Guru untuk segera bersiap-siap turun ke bumi,” perintah Patotoqé.

Buru-buru Taletting Tana bangkit, masuk ke dalam bilik tempat Batara Guru mengeringkan diri. Setelah menyembah, ia langsung duduk di samping peterana yang diduduki Batara Guru dan menyampaikan pesan Patotoqé.

Bagai petir yang menyambar ucapan Talletting Tana membuat semua kesadaran Batara Guru luluh. Dengan berat ia berusaha bangkit dan berjalan ke depan, ke ruang utama, diikuti semua saudaranya.

Bersimpuh La Togeq Langiq di hadapan Patotoqé dan Datu Palingéq. Setelah duduk, Datu Patotoq Sangkuru Wira segera menyodorkan sirih yang telah ditumbuk kepada Batara Guru. Ada haru yang memancar dari sorot mata penguasa Boting Langiq itu. Demikian pula dengan Palingéq. Karena tak dapat menahan haru, perempuan penguasa langit itu segera beranjak dari tempat duduknya dan langsung merangkulkan legannya pada leher anak kesayangannya.

“Janganlah bersedih anakku. Terimalah takdirmu untuk dijadikan tunas di muka bumi, sebab hanya engkaulah yang pantas untuk mengemban tugas ini,” ujar Patotoqé berusaha memberikan semangat kepada anaknya.

Semakin sedih hati Batara Guru mendengar perkataan ayahandanya, terlebih oleh rangkulan ibundanya. Sedikit pun ia tak mampu berucap. Bibirnya kaku. Kata-kata yang pantas untuk dikeluarkannya tiba-tiba saja begitu asing dan tak mau menyapa. Hanya air mata La Togeq Langiq yang membanjiri pipinya. Raut wajahnya yang penuh kewibawaan telah ditaburi guratan-guratan duka yang mendalam. Tatapannya yang biasa tajam, telah bersemai air mata yang sepertinya tak ingin berhenti mengalir membentuk peta-peta buram.

Perlahan Patotoqé menunduk dan mengusap-usap kepala putra mahkota kesayangannya. Ia lantas membuka ikatan keris agung taruhan jiwanya dan melilitkannya ke pinggang langsing, anak sibirang tulangnya. Ditanggalkannya pula ikat kepala kemilau yang menghiasi kepalanya dan meletakkannya di atas kepala tunas yang akan diturunkan ke bumi. Selain itu, Patotoqé juga membuka gelang berhiaskan bulan dan cincin berkilau yang ada di tangan kanannya, lalu memasangnya di jari Batara Guru.