La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 2
“Kecil-kecil tampaknya orang di sini, keriting semua rambutnya,” gumam Batara Guru. Tatapannya tak berkedip sedikit pun. Ia memperhatikan satu demi satu orang yang sedang berkumpul tersebut. Sorot matanya yang tajam berlompatan kian kemari, menari bersama kesiur angin dan teriakan para penjudi.
Cukup lama Manurungngé hanya berdiri menyaksikan keramaian di dekat istana. Hampir hilang batas ketenangan hatinya membayangkan dirinya sewaktu masih berada di Boting Langiq, di gelanggang sabungan halilintar di Rualletté, tempatnya bermain di Boting Langiq. Ada rasa rindu yang mengganjal batinnya. Ia sangat ingin kembali menikmati suasana tersebut. Angannya pun makin melambung menembus tujuh lapis langit dan bermain di Rualletté.
Hanya berselang beberapa lama, Linrung Talaga kebetulan sekali membuka jendela seraya menjenguk ke luar. Seketika ia terkesiap tatkala melihat sepupu sekalinya sedang berdiri sejajar dengan pagar istana. Penguasa Uriq Liu itu buru-buru masuk dan menghadap ayahanda dan ibundanya.
Sembari menyembah Linrung Talaga berkata:
“Di luar istana, aku melihat seraut wajah yang sama dengan rupa sepupu sekaliku yang ditempatkan menjadi tunas di bumi. Mungkin ia ingin berkunjung ke istana Sao Selliq melihat-lihat calon pendampingnya di Kawaq.”
Gembira sekali Sinauq Toja dan Guru ri Selleq mendengar berita tersebut. Keduanya segera memerintahkan kepada Linrung Talaga untuk menjemput Batara Guru dan memintanya untuk naik ke istana.
Bergegas Linrung Talaga turun dan berjalan menuju tempat Batara Guru berdiri. Tak menyangka sepupu sekalinya datang, Batara Guru sedikit tergeragap. Ia kemudian tersenyum ke arah Linrung Talaga yang datang bersama ribuan orang yang mendampinginya.
“Apa kabar kakanda? Bagaimana keadaan di bumi? Air pasang apa yang tiba-tiba saja bergolak dan menghempaskan kakanda kemari?” tanya Linrung Talaga sembari merangkul Batara Guru.
“Kabar baik adinda. Penguasa telagalah yang membawaku kemari, melihat-lihat Toddang Toja dan bertemu dengan penghuni istana Sao Selliq.” Batara Guru membalas pelukan sepupunya dengan perasaan senang.
Keduanya saling bertautan jari, berangkat menuju istana Sao Selliq, menginjakkan kaki pada tangga berukir, berpegangan pada susuran tangga kemilau. Di atas istana, Batara Guru dan Linrung Talaga perlahan melangkahi ambang pintu keemasan, menyusuri lantai papan gemerlap, dan terus masuk melewati sekat tengah ruang utama istana.
Melihat kemenakannya datang, gembira sekali perasaan Sinauq Toja bagai meminum madu rasanya. Sambil menengadah ia berkata, “Duduklah engkau, La Togeq Langiq, di atas permadani berwarna-warni!”
Sujud menyembah Manurungngé di hadapan kedua penguasa Pérétiwi. Sinauq Toja segera menunduk, meraih cerana emas dan membukanya, lalu menyodorkan kepada kemenakannya sirih yang telah ditumbuknya. Tak lupa ia mengambil sebagian lalu menyirih.
“Gelombang apakah gerangan yang membuatmu turun ke Toddang Toja? Tak kuasakah engkau menahan keinginan untuk bersanding di pelaminan dengan sepupu sekalimu?” tanya Sinauq Toja sambil tertawa.
Mendengar ucapan bibinya membuat perasaan Batara Guru menjadi gelisah. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Jiwanya seketika saja seperti melayang, membumbung dan kembali ke bumi. Ia tak menyangka bibinya akan berkata demikian. Sejenak ia tertunduk. Tatapannya seakan ingin menembus lantai istana.
Ia kembali menyembah, dan dengan terbata-bata berusaha menjawab pertanyaan Sinauq Toja yang sebenarnya tak begitu butuh lagi jawaban: