Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 2


 “Kalau Puang berdua mengizinkan... hamba ingin nanti setelah hamba berada di bumi, munculkanlah sepupu sekaliku untuk menemani kesepianku. Bersama berbagi dan menumbuhkan tunas-tunas baru yang akan menjadi pengganti kami, dan mematangkan kayu sengkonang atas nama dewata.”

Sejenak Batara Guru menoleh dan membiarkan pandangannya mengembara mencari sosok sepupu sekalinya, Wé Nyiliq Timoq. Beberapa lama berputar-putar, ia tak juga menemukan sosok perempuan yang akan menjadi pendampingnya kelak. Hatinya tiba-tiba tidak tenang. Duduknya pun menjadi gelisah. Keinginan hendak kembali ke dunia begitu saja datang menerjang, menarik-narik tubuhnya dan berusaha melemparkannya ke dunia saat itu juga.

“Baiklah. Kami akan segera memunculkan Wé Nyiliq Timoq untuk mendampingimu di Kawaq,” ujar Sinauq Toja sedikit tersenyum.

Bagi Batara Guru senyum itu membuat wajahnya semakin bersemu merah. Rasa malu benar-benar menyelimutinya. Ia bertambah gelisah.

Melihat gelagat tersebut, Linrung Talaga segera mendekat, lalu berkata setengah berbisik:

“Duduklah dulu dengan tenang, kakanda. Jauhkan gelisah dari dirimu. Bermalamlah di Toddang Toja. Besok ketika matahari telah menampakkan wajahnya, barulah engkau naik ke dunia. Tak inginkah engkau menikmati bermacam makanan orang Toddang Toja, makan yang tidak dipanggang di atas api.”

Kuur semangatmu, adinda. Sebaiknya biarkanlah aku kembali ke bumi. Apapun yang terjadi pada diriku di atas sana, telah kupasrahkan semuanya pada ketentuan To Palanroé,” jawab Batara Guru seraya menatap wajah sepupu sekalinya.

“Iya. Tinggallah dulu ananda. Maafkan jika ucapanku tadi membuat hatimu tak tenang,” pinta Sinauq Toja yang diangguki suaminya.

Namun demikian, Batara Guru tetap saja bersikukuh untuk pergi. Tak dapat menghalangi keinginan putra mahkota Boting Langiq itu, mereka pun akhirnya mengizinkannya pergi.

“Kukuhkanlah semangat kekahyanganmu. Kembalilah ke pusat bumi sebagai tunas dewata. Nanti setelah engkau tenang berada di dunia, barulah aku jelmakan sepupu sekalimu,” ujar Sinauq Toja sambil merangkul Batara Guru. Demikian pula dengan Guru ri Selleq dan Linrung Talaga.

Usai meminta diri, Batara Guru perlahan meninggalkan ruang utama istana menuju tangga. Tak terasa lagi tubuh Batara Guru telah kembali ke dunia dan tiba di hutan tempat semula ia terdampar. Karena merasa lelah, ia lantas berbaring di bambu betung sambil menutup kepalanya, membungkus kakinya dengan kain biru langit berhiaskan bulan.

Berkali-kali ia berusaha memejamkan mata dan melelapkan pikirannya, namun ia tak dapat juga tertidur. Penyakit susah tidur tiba-tiba saja menyerangnya. Ia merasakan panasnya membakar pelupuk mata dan kepalanya. Padahal ia berharap kiranya tidur itu dapat menyelamatkannya dari siksaan batin akan kerinduannya ke Boting Langiq.

Berbagai hal dilakukannya untuk segera mengakhiri kesadarannya, termasuk membuang segala macam pikiran yang mengacaukan dari kepalanya. Tapi sia-sia. Ia malah makin tersiksa. Meski begitu, Batara Guru tak mau mengalah. Ia terus berusaha membungkus kenangan dan menyimpannya dalam gelap. Dan berhasil. Hanya sesaat, Batara Guru pun tak sadarkan diri, larut dalam mimpi, melemparkan kesadarannya ke tepi bayang-bayang. Pulas sekali Manurungngé tafakur dalam tidurnya.