Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 2

 

Bab II

Batara Guru Mengunjungi Pérétiwi

 

TUJUH hari sudah Batara Guru berada di bumi. Hari-harinya suram mendekap kesunyian. Lelaki itu telah menjadi batu dalam kepungan kesadaran-kesadarannya sebagai manusia yang diturunkan untuk menyemarakkan bumi. Dalam masa itu, tak sedikitpun makanan yang menggeliat dalam kerongkongannya, apalagi makanan yang dapat memuaskan kejenuhannya sebagai sang penanti waktu yang akan terus berlalu menghembuskan selaksa kehendak To Palanroé. Tak henti-hentinya lelaki tegar itu memanen kesedihan dari ladang-ladang penantiannya.

Hingga….

Pada dini hari yang benar-benar hening, Batara Guru berpaling, menyingkap kain biru bertatahkan bulan yang menyelimutinya hingga kaki. Bambu betung tempatnya berbaring terbelah dua. Tatapannya menohok tajam ke langit. Di kejauhan, bintang-bintang berkedip gelisah. Bayangan Boting Langiq seketika mengguncangkan batinnya. Begitu cepat kesedihan datang mendekapnya. Batara Guru mengatupkan pelupuk matanya perlahan, menarik nafas panjang berusaha menenangkan perasaan, hingga tepi langit di timur menggurat garis lembayung.

Tatkala fajar benar-benar datang, Manurungngé terbangun. Embun-embun yang turun tergesa-gesa menutupi permukaan bumi begitu kental mengantar pagi. Di dedaunan, embun-embun itu berkaca-kaca memantulkan sinar matahari yang seperti malas membuka matanya.

Perlahan Batara Guru bangkit dari bambu betung tempatnya berbaring. Sinar pagi terasa aneh menusuk-nusuk wajahnya. Suasana pagi yang begitu ramai oleh kesiur angin dan suara nyanyian burung-burung membuat hati Batara Guru menjadi sedikit senang.

Ingin menikmati suasana pagi, ia pun berjalan-jalan ke hutan, di pinggir telaga. Beningnya air telaga membuat kerongkongannya menjadi kering. Merasa haus, Manurungngé meraup air dengan tangannya dan minumnya. Ia juga membasuh wajahnya yang masih kusut dan bercermin di air telaga yang kemilau. Terbayang di bening telaga raut wajahnya yang teduh, bersinar seperti cahaya.

Merasa segar, ia pun bermaksud kembali ke tempatnya semula. Namun baru saja hendak meninggalkan tempat, ia merasakan ada keanehan. Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya dan memandang jauh ke tengah telaga. Di kejauhan dilihatnya penguasa telaga muncul berpakaian warna kuning dan terus bergerak ke arahnya.

Belum sempat Batara Guru mengeluarkan kata-kata, penguasa telaga itu telah mendahuluinya dan langsung mengajaknya pergi:

“Apa kabar wahai Puang La Togeq Langiq. Kemarilah, naik ke atas punggungku. Akan kuturunkan engkau ke Uriq Liu, agar dapat melihat-lihat negeri Toddang Toja dan berjumpa dengan sepupu sekalimu.”

Tanpa ragu-ragu Manurungngé langsung naik di punggung penguasa telaga. Perawakannya yang tinggi dan besar, bagi penguasa telaga, tidaklah begitu menyulitkan dirinya untuk menopang Batara Guru. Tak terasa olehnya ia turun ke bawah. Begitu cepat, keduanya telah sampai di Uriq Liu, berjalan-jalan di Toddang Toja. Kebetulan sekali di istana Toddang Toja sedang berkumpul bangsawan berdarah murni di Lapiq Tana, raja yang memerintah negeri-negeri indah, semua anak raja di Pérétiwi.

Saat itu, orang-orang Toddang Toja juga sedang berkumpul di gelanggang dekat istana Sao Selliq yang berhias emas. Orang-orang itu saling menyabung ayam andalan mereka. Bagaikan halilintar suara teriakan para pemain judi tersebut. Batara Guru hanya terdiam menyaksikan mereka tampil dengan ayam andalan mereka di gelanggang kemilau.