La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 3
Bab III
Turunnya Pusaka dari Boting Langiq
ANGIN menghampar, menghantar senja-senja dengan siluetnya di tepi cakrawala atau pagi-pagi yang ranum dengan cericit burungnya yang girang, menjadi hiasan hari-hari gundah Batara Guru. Penderitaannya adalah padang-padang gersang yang menunggu setitik air dari langit.
Sembilan hari sudah Batara Guru menghirup aroma bumi. Setiap malam tubuhnya berselimutkan dingin. Dicecah angin yang menggeliat menelusuri lekuk-lekuk bumi. Dan selama itu pula, kerong-kongannya tak sekalipun dilalui makanan. Keadaan-nya sungguh menyedihkan, menyimpan keterasingan yang menghujam jantungnya.
Duhai duka yang menganga, dongeng burung-burung yang mamatuki hari-hari, tersimpan dalam ribuan detak jantung yang terasa kian menyesakkan. Keterasingan menghujam seperti tanpa makna dalam diri. Belitan penantian mengurung diri dalam bingkai-bingkai mimpi… kerinduan….
Suatu malam yang pekat, ia terjaga dari tidurnya. Saat membuka mata, tatapannya langsung menyorot ke langit lepas. Bintang-bintang bertaburan tanpa terhalang sedikitpun oleh awan. Rasa rindunya pada Boting Langiq kembali hadir. Hampir musnah batas ketenangan hatinya jika mengenang saudara-saudaranya. Mengenang semua yang pernah dialaminya di Boting Langiq.
Manurungngé menarik nafas panjang, kemudian berpaling dan kembali menengadah ke langit seraya mulutnya menggerutu. Air mata kerinduannya pada orang tuanya terus saja bercucuran membasahi permukaan wajahnya. Ia lalu bersimpuh menyem-bah ke Boting Langiq. Bibirnya bergetar menahan pedih menggerogoti:
“Duhai Puangku, tiada sedikitpun membantah orang yang engkau turunkan sebagai tunas di bumi ini. Tapi apalah gunanya hamba tinggal di dunia ini kalau hanya untuk merasakan penderitaan; di-rasuk dingin, tak dapat tidur hingga matahari terbit, diembus angin, dihempas badai, disinari matahari, sengsara karena lapar, dan teramat dahaga? Duhai yang berkuasa di langit, berikanlah petunjukmu. Atau angkatlah aku kembali naik ke langit. Tak tahan rasanya hamba berada di dunia ini.”
Pada tengah malam yang bisu itu, kebetulan sekali Datu Palingéq juga terjaga dari tidurnya di Boting Langiq. Begitu jelas mengiang di telinganya jeritan kepedihan anaknya di dunia. Serasa teriris-iris hati Mutia Unruq mendengar suara miris Batara Guru.
Dengan hati yang kian berdebar, ia menyingkap kelambu keemasan bersinarkan kilat. Hati-hati perempuan itu bangkit dan ke luar dari bilik. Dibukanya pintu bilik guruh perlahan, dan langsung berjalan ke tengah balairung. Diperintah-kannya untuk segera menyalakan kilat. Dengan mata sembab, ia duduk pada peterana halilintar. Air mata kerinduannya tak mampu lagi ia bendung. Sesekali ia menghempaskan ingusnya yang jernih.
“Berangkatlah kalian membangunkan Puang To Palanroé.” Perintahnya bagai angin menerobos kencang ke telinga para bangsawan dari Abang yang dijadikan biti perwara di Boting Langiq.
Serta merta para anak raja dari Abang berangkat menuju tempat peraduan Patotoqé. Bergetaranlah rajutan bilik keemasan, bersentuhan buli-buli keemasan yang kemilau akibat sentuhan mereka.
Di luar bilik Patotoqé, orang suruhan Datu Palingéq itu sujud menyembah. Setelah berhasil mengumpulkan segala keberanian yang mereka miliki, salah seorang yang dipercaya di antara mereka kemudian berkata, agak ragu-ragu: