La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 3
Hari terus berlalu, hingga lima belas malam sudah lamanya Manurungngé berada di bumi dalam keadaan sengsara. Selama itu pula tak ada makanan yang melalui kerongkongannya. Namun menjelang dinihari, ketika ia tertidur nyenyak, hingga tak merasakan kilat menebas-nebas langit yang diiringi guntur dan tiga kali pula halilintar menyambar, turunlah La Oro membawa kampak emas. Malam itu, langit bagaikan hendak runtuh, Pérétiwi seperti akan pecah berantakan. Nantilah sesudah La Oro sampai di dunia kibasan kilat berhenti.
Keesokan harinya, tatkala matahari baru saja terbit dan menebarkan cahayanya dari ufuk timur, Batara Guru mulai menggeliat akibat sinar yang menerpa tubuhnya yang terbaring di dalam bambu betung. Sinar matahari yang masih muda itu juga menghangatkan daun-daun yang masih basah oleh rintik dan kabut yang menyapanya semalam.
Perlahan Manurungngé bangun dari tidurnya. Disingkapnya kain bertahtakan bulan yang menutupi kepalanya. Tersentak kesadaran Batara Guru saat dilihatnya La Oro Kelling telah berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring dengan masing-masing membawa sebuah kampak keemasan.
Bergegas Batara Guru bangkit dan mendekati mereka. Setelah berbincang sejenak, Batara Guru dan La Oro Kelling pun pergi membuka lahan untuk berkebun. Hanya sebatang kayu saja yang ditebang Manurungngé, maka pohon-pohon yang lain pun turut tumbang saling menindih hingga ke tepi pantai. Begitu luasnya lahan yang telah dibuka oleh Batara Guru, hingga daerah tersebut menjadi terang sampai di laut sebelah barat.
Merasa letih, Manurungngé sejenak istirahat. Saat itu, sinar matahari kian bertambah panas. Keringat bercucuran dari tubuhnya. Demikian pula ketujuh Oro Kelling yang menemaninya.
Sungguhpun demikian, di hari yang benar-benar cerah dengan matahari yang bertengger tepat di atas kepala itu, hujan rintik-rintik tiba-tiba saja turun, disulut pula api dewata yang menebas-nebas langit. Hampir bersamaan dengan itu, tujuh kali halilintar bersahutan. Seperti hendak terbongkar rasanya Pérétiwi, langit seolah akan runtuh, dan dunia bagaikan hendak melayang.
Sejak itu, sembilan hari sembilan malam lamanya kilat tak henti-hentinya sabung-menyabung, badai tiada pula hentinya menggerayangi permukaan bumi. Dan setelah kejadian itu berlalu, tanpa mereka sadari kebun mereka telah bersih.
Tujuh hari tujuh malam setelah datangnya kilat yang saling menyabung tak henti-hentinya, Batara Guru dan La Oro tidak pernah lagi mengunjungi lahan yang telah dibukanya. Hingga keesokan harinya, tatkala matahari baru saja mulai bersinar Batara Guru terbangun dari tidurnya. Perlahan ia beranjak dari bambu betung tempatnya berbaring dan mengibakan selimutnya.
Bersama La Oro, Manurungngé bangkit dan bermaksud melihat-lihat kebunnya. Beriringan dengan La Oro Kelling, ia mengelilingi kebun yang telah bersih tersebut. Sedikit heran, Manurungngé menoleh dan tersenyum kepada La Oro seraya berucap:
“Telah bersih rupanya kebun kita. Ubi, keladi dan tebu kita telah tumbuh. Buah pisang kita mulai pula berisi. Dan paria itu juga telah menjalar merambati dahan-dahan pohon.”
“Benar Puang. Rupanya Datu Patotoq telah memberkati kita,” kata La Oro membenarkan.
“Lihat, telah berpucuk kancéq itu,” ujar Batara Guru sambil menunjuk ke arah kancéq yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
***
Tiga bulan sudah lamanya berlalu. Ketika malam telah begitu tua, Manurungngé yang nyenyak sekali tertidur, tak merasakan petir saling beradu, halilintar bersahut-sahutan, awan mendung berarak, kilat mencecah langit, dan badai menderu.
Pada malam yang pekat itulah, diturunkan istana petir keemasan pusaka Batara Guru dari Wawo Unruq. Dijelmakan pula Wé Saung Nriuq, Wé Lélé Ellung, dam Wélong Mpabareq. Saudara sesusuannya yang anggun, inang pengasuh yang jumlahnya ratusan, serta ribuan juak seangkatannya juga diturunkan.