La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 3
“Ampun Puangku. Kutadahkan kedua tapak tanganku. Tenggorokan ini hanyalah setipis kulit bawang. Semoga tak terkutuk telah membangunkan Puang Datu Patotoq, sebab di luar Puang Datu Palingéq telah menunggu.”
Di dalam bilik, kebetulan sekali Patotoqé juga terjaga dari tidurnya. Terkejut mendengar ucapan bangsawan orang Abang, ia pun bergegas bangkit dari pembaringan. Disingkapnya kelambu keemasan yang mengitari pembaringannya. Ia duduk sejenak menenangkan perasaan, sebelum melangkah membuka kunci kamar.
Di luar kamar, masih dilihatnya beberapa orang Abang duduk bersimpuh. Ia pun cepat-cepat melangkah dan langsung duduk di atas peterana halilintar berhias emas, duduk di samping istrinya.
“Ada apa adinda Palingéqé? Mengapa engkau nampak begitu bersedih? Gerangan apa yang telah mengganggu ketenangan hatimu, hingga kau harus terbangun dari tidur?” Sungguh lembut Datu Patotoq membelai perempuan pendamping setianya. Diusapnya wajah Datu Palingéq yang dialiri air mata. Ada rasa iba yang mendalam menggerayangi jiwanya.
Terdiam sejenak Palingéqé, wajahnya menunduk, lalu terangkat kembali menatap wajah suaminya. Resah kian membuncah di dadanya. Sorot matanya sayu mengiba-iba. Bibirnya gemetar:
“Mengapa engkau tidak pula menurunkan aku ke bumi, agar dapat sehidup semati anak sulungku? Tidakkah Puang mendengar rintihan anak kita. Tak sanggup aku mendengarnya mengeluh, tak dapat tidur, dirasuk dingin, diterpa angin, diaduk badai, disinari matahari. Tubuhnya lunglai karena lapar.”
La Patigana dengan cepat berpaling kepada perempuan belaiannya:
“Jangan cemas adinda. Biarkanlah dulu Batara Guru merasakan penderitaan tinggal di bumi. Nanti ketika ia telah mengerti makna kehidupan, barulah kita turunkan segenap pusakanya, istana keemasan tempat tinggalnya. Kita turunkan pula untuknya Wé Lélé Ellung, Wé Saung Nriuq, Apung Talaga sebagai pendamping hidup yang dapat menghiburnya. Selain itu, Wélong Mpabareq –inang pengasuh yang memeliharanya—, saudara sesusuannya, para juak sebayanya yang beribu jumlahnya, juga akan kita jelmakan di bumi. Jika terlalu cepat kita turunkan pusakanya, nanti ia tidak tahu diri dan tak mampu memahami makna hidup di dunia. Aku takut, dia tidak akan sadar bahwa kitalah yang telah menurunkannya ke bumi, sehingga ia harus bersujud ke Boting Langiq. Dan bisa saja kesombongan itu akan mengungkungnya, hingga ia akan mengatakan bahwa dewata jua yang melahirkanku. Ayahandakulah yang menurunkan orang dari Rualletté. Jika demikian, maka malapetaka akan datang. Anak kita akan tenggelam. Ia akan berumur pendek di dunia. Karena itu, biarkanlah dahulu kita turunkan tujuh Oro Kelling yang akan membantunya dan mengajarkannya bertanam jagung, gandum dan berbagai tanaman lainnya. Kita turunkan pula tujuh buah kampak untuk dipakainya merambah hutan. Dengan demikian Batara Guru akan belajar bertahan hidup dan bisa lebih cepat memaknai kehidupan di dunia. Setelah ia benar-benar matang, barulah kita turunkan warisan lengkapnya dari Boting Langiq.”
Mutia Unruq hanya terdiam mendengar penjelasan suaminya. Begitu malas ia membuka mulutnya. Penjelasan itu dianggapnya hanya akan memperpanjang penderitaan anaknya.
“Yang aku inginkan sekarang adalah segera turunkan pusaka lengkap Batara Guru. Aku tak tahan lagi mendengar ratapannya. Sangat pilu rasa hatiku mendengar anakku mengeluh,” sergahnya.
***