La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 3
Bukan hanya istana, negeri di Wawo Unruq pun diterbangkan oleh kilat, guntur bersama semua pen-duduk dan rumahnya. Diturunkan pula gelanggang kilat Ellung Pareppaq, tempat Batara Guru bersantai, pohon asam yang teratur, serta woddi yang berjejer. Lengkaplah semua pusaka Batara Guru dari Boting Langiq yang dijelmakan di dunia.
Tiada henti-hentinya bunyi guntur menggelegar, petir kilat menyambar menebas angkasa, maka tibalah berdiri istana petir keemasan Batara Guru di tengah hutan belantara, pusat bumi yang bernama Alé Luwu; sebuah nama suci yang diberikan Datu Patotoq. Tatkala semua pusaka Manurungngé telah menjelma, barulah api dewata yang berkobar-kobar dipadamkan, dan badai yang menderu dihentikan.
***
Ketika fajar merekah keesokan harinya, Manurungngé pelan-pelan bangkit dari bambu betung tempatnya berbaring. Disingkapkannya kain penutup kepalanya, lalu memandang ke langit. Suasana pagi benar-benar cerah. Kesiur angin dan kicau burung sungguh menyegarkan pagi.
Tidak begitu lama menatap langit, tatkala berpaling, Batara Guru terkejut. Dilihatnya istana petir keemasan dari Wawo Unruq, gelanggang kilat halilintar tempatnya bersantai telah berdiri megah tak jauh dari tempatnya diturunkan. Bahkan semua pendamping dan hamba dewata yang bak mega beriring sebagai pelengkap istana, juga dijelmakan.
Alangkah gembiranya Batara Guru melihat pusakanya dari Boting Langiq telah diturunkan. Bergegas ia menuju ke istana manurungnya. Begitu ringan langkahnya diiringi La Oro Kelling menuju istana yang berdiri anggun di kampung halamannya yang baru, di Alé Luwu.
Melihat keadaan Batara Guru, semua anak dewata yang diturunkan pun bertangisan. Bagaikan bah air mata Wélong Mpabareq, mengalir bercucuran, melihat anak dewata asuhannya berjalan tanpa mengendarai usungan halilintar, tak dinaungi payung kilat, tak disemarakkan oleh orang Abang Létté, tak diiringi bangsawan tinggi dari Widéq Unruq, dan tak didahului pula oleh penjaga negeri dari Rualletté. Hanya La Oro yang mengiringinya.
“Pergilah kalian menyambut kedatangan Batara Guru dan mengiringi naik ke istananya,” perintah Wélong Mpabareq kepada anak dewata yang diturunkan sebagai pengisi istana.
Dalam sekejap saja, serentak semua anak dewata berangkat, mengelu-elukan Batara Guru, dan mengiringinya memasuki pekarangan istana. Saat kakinya menginjak tangga guntur dan tangannya berpegangan pada susunan kemilau, bertih keemasan pun ditabur dari atas tangga, bagai rinai hujan yang berjatuhan dari langit. Kuur semangat kekahyangan membahana ke seantero Alé Luwu.
“Kuur duhai jiwa yang suci. Terbanglah kemari mendekap anak dewata yang terasing di bumi ini. Datanglah semangat jiwa kedatuanmu, duhai Batara Guru. Naiklah kemari ke istanamu, dan duduklah di atas peterana berhias emas, di tengah-tengah balairungmu,” seru Wélong Mpabareq.
Dengan tenang Batara Guru mulai melangkahi ambang guntur dan menyusuri lantai papan badai kemilau. Wélong Mpabareq sendiri yang menayang lengan Manurungngé sembari menayang alat pemanggil roh kekahyangannya. Putra mahkota Boting Langiq itu terus berjalan diapit oleh saudara sesusuannya dari Wawo Langiq, diramaikan inang pengasuh dari Widéq Unruq. Berjalan di depannya pembawa kipas, dari Léténg Nriuq.
“Silahkan duduk, Tuanku, di atas singgasana nan permai berhias emas,” berkata Wé Lélé Ellung dan Apung Telaga.